Saturday, November 21, 2015

Roro Kidul dan Snow Queen: Peyorasi Matriarkal dalam Narasi Rakyat

Ada dua tokoh alpha female dalam dunia dongeng Nusantara dan Eropa yang ditampilkan sedemikian rupa sehingga memicu terperciknya narasi rakyat yang cukup menyeramkan tentang mereka.

Kedua sosok ini memiliki karakteristik yang kurang lebih sama: mereka digambarkan sebagai tokoh perempuan yang memiliki kuasa atas sebuah takhta; kuat dan mandiri; terasosiasi pada elemen alam tertentu (dalam konteks cerita saya ini ialah laut dan salju); memiliki abdi-abdi malang yang bekerja di bawah kontrol mereka; serta yang paling penting mereka berhati dingin. Perempuan-perempuan ini dalam bayangan saya sejatinya merupakan olah citra dari imaji primordial manusia yang hidup di bawah kepimpinan matriarkal, namun pada saat yang sama juga menyimbolkan ketakutan kaum patriarki atas bangkitnya perempuan dari dominasi mereka. Mereka disegani tapi juga dibenci.

Kemunculan kedua sosok ini direkam pertama kali di abad ke-18 untuk cerita rakyat yang berasal dari Indonesia dan abad ke-19 untuk dongeng yang berasal dari Eropaa. Di kurun-kurun waktu tersebut, Nusantara mulai "dimasukkan" ke dalam hegemoni kolonialisme dan imperialisme Eropa. Saat itu sebenarnya merupakan abad yang cukup abu-abu alias tidak hitam dan putih: Eropa asing tidak selamanya dipandang sebagai musuh yang harus dibasmi namun terkadang berperan sebagai sekutu aktif yang bantuannya amat diperlukan untuk melanggengkan kuasa seorang penguasa pribumi, serta sebaliknya sesama penguasa pribumi pun terlibat intrik-intrik kekuasaan dimana rezim baru muncul dari rezim lama yang dianggap sudah karatan untuk dapat memimpin. Agama menghiasi ranah politik dimana ulama-ulama pribumi hasil latih-didik ulama generasi impor memberikan restu kepada pangeran-pangeran muda untuk berperang atau memberontak.

Di Eropa, abad ke-19 adalah abad yang cukup menyenangkan. Eksplorasi negara-negara Eropa barat ke Asia, Afrika dan Amerika membuat segala macam kekayaan dunia mengalir ke kanal-kanal dan rumah-rumah mereka. Sains berkembang pesat, ini juga terima kasih kepada dunia Timur yang membukakan jalan mereka ke Taman Firdaus berupa spesimen-spesimen binatang unik, tanaman-tanaman obat, serta agama dan budaya timur yang eksotis. Masuknya Timur ke Barat menstimulus pula lahirnya "permainan" baru semacam pemanggilan arwah (ghost conjuring) serta meningkatnya okultisme. Victorian Age, demikian mereka menyebutnya, saat dimana teknologi berkembang pesat melalui penemuan mesin uap dan Revolusi Industri di Inggris ditambah dengan kebangkitan kembali arsitektur Gothik. Namun di saat yang sama kemiskinan meningkat tajam serta anak kecil dan perempuan diperlakukan jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Karya agung Charles Dickens 'Oliver Twist' lahir untuk mengkritisi fenomena ini. Dari latar belakang kedua abad itulah kedua tokoh kita ini lahir.

Sosok pertama yang kita bahas adalah Roro Kidul. Ada beberapa versi mengenai asal mula tokoh ini. Adapula sebagian orang yang memisahkan karakter yang bernama Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Roro Kidul sebagai dua persona yang berbeda. Yang disebut pertama ialah ratunya sedangkan yang disebut kedua ialah jin yang menjadi patihnya. Saya tidak akan membahas itu di sini karena fokus dari tulisan ini adalah narasi rakyat yang berkembang terhadap tokoh perempuan gaib dari laut selatan Jawa. Oke, sebutlah dia Roro Kidul. Roro Kidul yang dikenal oleh narasi rakyat hari ini adalah sesosok perempuan dengan untaian benang melati di rambutnya serta digambarkan amat seduktif terhadap kaum pria (terima kasih kepada almarhumah Suzanna untuk citra ini). Ia gemar memakai pakaian berwarna hijau sehingga konon apabila ada seseorang yang mengenakan warna kesukaannya itu di Pantai Parangtritis maka ia akan terseret ombak dan "diambil" oleh sang penguasa kraton bawah laut untuk menjadi abdinya. Imaji terakhir tentang sosok Roro Kidul ialah ia sering dihubungkan dengan mistisme seks dan kekuasaan: raja-raja Mataram haruslah menjadi suaminya secara turun-temurun dan sebuah kamar di Hotel Samudera Beach 308 disediakan bagi mereka yang ingin memperoleh akses kejayaan dan kekayaan secara instan alias melalui pesugihan.

Yang tak kalah menarik ialah sosok kedua yang kita bahas hari ini: Snow Queen. Tolong jangan samakan dia dengan Putri Salju alias Snow White yang gemar bernyanyi serta mati karena gigitan apel yang mematikan itu. Snow Queen adalah segala karakter yang menjadi kutub berlawanan Snow White: ia bukan gadis remaja melainkan wanita dewasa; ia tidak lemah melainkan amat sangat berkuasa; ia tak menggantungkan diri terhadap bantuan para kurcaci mungil melainkan memegang pecut di tangannya untuk mengendalikan rusa-rusa terbangnya; ia tidak hidup di dalam pengasingan melainkan tinggal di sebuah istana salju yang berdiri di atas sebuah danau yang disihir hingga membeku; ia tidak membutuhkan bantuan dari seorang pangeran untuk melepaskan kutukannya karena justru ia yang memberikan kutukan kepada orang. Imaji Snow Queen sebagai perempuan jahat yang ditakuti oleh umat manusia diadopsi ulang oleh C.S. Lewis dalam Seri Narnia-nya melalui tokoh antagonis pertama: Jadis The White Witch.
Snow Queen ditakuti oleh orang-orang di belahan dunia utara karena ia datang bersama badai salju yang meresahkan. Badai salju itu bisa mengamuk selama berhari-hari, membuat tanaman dan ternak mati serta membuat manusia tak dapat keluar rumah untuk beraktifitas. Ia juga musuh anak-anak kecil: sebagaimana diceritakan oleh Hans Christian Andersen di dalam dongengnya, Snow Queen menculik anak kecil (laki-laki) yang bermain di luar rumah saat salju mengamuk di malam hari.

Roro Kidul lahir saat Panembahan Senopati membutuhkan dukungan untuk mencipta sebuah dinasti baru di tanah Jawa. Ia yang hanya keturunan petani biasa haruslah menerima "wahyu" sebagaimana lazimnya tokoh-tokoh pendiri kerajaan lain yang ada sebelumnya. Senopati telah mendapatkan lampu hijau dari para ulama, dengan demikian ia membutuhkan restu dari "kekuatan ghaib" yang menguasai tanah Jawa untuk melanggengkan jalannya. Maka kekuatan ghaib itu muncul dalam sosok seorang perempuan berbaju hijau yang istananya berada di dasar samudera. Hubungan Senopati dengan perempuan ini cukup istimewa: ia digambarkan berhasil membuat perempuan ini mengakui kesaktiannya karena tapanya mampu membuat laut bergejolak kepanasan. Roro Kidul kemudian menjadikan Senopati sebagai "suaminya" dan sejak saat itu berjanji pula akan menjadi patron kerajaan Mataram serta menjadi istri bagi raja-raja keturunan Senopati berikutnya (entah makna "istri" di sini hanya bersifat simbolis atau melalui persetubuhan fisik betulan, again i won't go that far). Di sinilah sentra ceritanya. Roro Kidul berstatus sebagai istri. Roh feminin dahsyat yang menguasai seluruh lelembut di pulau terpadat di dunia ini takluk membasuh kaki Senopati (dalam pernikahan adat Jawa seorang perempuan harus membasuh kaki calon suaminya). Roro Kidul tak lagi dilihat sebagai sebuah kuasa matriarki tersendiri, hari ini hingga selamanya ia adalah milik raja-raja Mataram. Roro Kidul terikat dalam sebuah kontrak dimana tiap tahun ia diingatkan untuk terus menjaganya: upacara larung oleh kraton Jogja dan Solo di Pantai Parangkusumo untuk memperbaharui sumpah setianya pada Senopati.

Bagaimana halnya dengan Snow Queen? Posisinya tidak jauh lebih baik. Setidaknya ia tidak harus tunduk kepada patriarki melalui institusi bernama persuami-istrian. Snow Queen tetap single di akhir cerita, tidak ada Snow King yang duduk bersama dengannya di atas takhta. Akan tetapi Perempuan-perempuan mandiri seperti inilah yang kemudian jadi sasaran empuk golongan patriarki Eropa abad itu: mereka disifati dengan hal-hal yang jahat serta (somehow) menjadi musuh agama. Berbeda dengan kaum biarawati yang menyerahkan diri untuk tidak menikah di bawah otoritas agama, Snow Queen adalah roh jahat yang menghantui setiap lorong desa dan meresahkan warga karena kekuatannya mampu merusak tatanan. Saljunya dapat membekukan ladang serta membunuh binatang ternak. Di beberapa adegan dalam cerita Snow Queen, ayat-ayat Alkitab dinyanyikan untuk mengusir atau mengalahkan saljunya. Entah mengapa saat membaca itu saya merasa Snow Queen semakin mirip dengan figur Eve dalam kisah Kejadian yang dipersalahkan karena membujuk Adam memakan Buah Pengetahuan. Ia seduktif, ia menculik anak-anak yang keluar malam saat badai salju, mencium mereka dua kali agar lupa dengan masa lalu, kemudian menawan mereka di istananya yang berdiri di atas danau beku bernama Mirror of Understanding. Ada yang salah di sini: ia dibenci karena ia memiliki dua hal yang seharusnya tidak dimiliki oleh perempuan di masa itu yaitu kekuasaan dan pengetahuan (mirror of understanding).

Kedua dongeng di atas sangat menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Roro Kidul ataupun Snow Queen boleh jadi bagi segelintir orang adalah pahlawan, namun mereka yang mempercayai itu hanya akan dianggap menyimpang dari narasi utama: mengapa mengidolakan Roro Kidul dan Snow Queen yang jahat, bukankah mereka meminta tumbal anak lelaki? Matriarki mengalami perendahan makna (peyorasi) dalam dunia dongeng, sebab tak sewajarnya seoramg perempuan hidup dengan karakter seperti itu.

Jangan lupa, mereka adalah produk pada zamannya. Zaman dimana perempuan tidak boleh jadi lebih pintar atau berkuasa di atas lelaki. Dongeng ini anehnya terus hidup di masyarakat modern bersama dongeng-dongeng patriarki lainnya. Padahal, dongeng adalah alat yang paling bagus untuk memulai proses doktrinasi semenjak dini. Anak-anak kecil yang kita buat takjub mendengarnya secara tidak langsung telah ditanamkan ide-ide mengenai patriarki ini. Bagi dongeng patriarki perempuan tak boleh jadi lebih kuat karena mereka itu lemah dan harus diselamatkan dari naga jahat. Haruskah 100 tahun lagi misalnya, dongeng akan selalu jadi seperti itu?

Ini jadi tugas kita bersama kemudian hari ini: mencipta dongeng-dongeng baru dengan nilai-nilai yang sesuai dengan zamannya.

Leiden, 21 November 2015
1.20 PM

PS: Untuk tulisan saya yang senada lainnya, silakan tilik Maleficent dan Salawati Daud: The Hidden Triumph of Matriarchy?

Friday, November 13, 2015

Membenci IPT 1965

Kita benci pada sesuatu bisa jadi karena dua hal: pengalaman yang tak menyenangkan dan juga ketidaktahuan.

Benci ini mungkin awalnya hanya bertumbuh dari perasaan tidak suka. Seiring dengan berjalannya waktu maka ketidaksukaan ini pun terpupuk bersama rasa kesal. Kesal lalu dengan kreatifnya mengakumulasi ketidaksukaan tersebut menjadi sebuah perasaan baru bernama benci. Dari formula tersebut kesimpulan sederhana saya adalah: perasaan tidak suka yang bercampur kesal akan menciptakan benci.

Saya berikan ilustrasi untuk lebih gampang menggambarkannya:
Saya, membenci pelajaran matematika waktu SD dulu. Awalnya saya hanya tidak suka dengan matematika karena rumit dengan rumus, ruwet oleh angka dan menurut saya tidak seseru pelajaran lain yang saya sukai seperti menggambar atau bernyanyi. Ketidaksukaan ini lalu disusupi oleh rasa kesal karena nilai-nilai yang kurang bagus terus menghantui saya di hampir setiap lembaran PR yang dikoreksi oleh bu guru. Si kesal ini dengan pintarnya menghasut saya untuk kemudian membenci si matematika. Bahkan seguru-gurunya juga kalau perlu (jika si guru ini memang kebetulan orangnya menyebalkan).

Benci yang kedua lahir dari ketidaktahuan. Manusia mungkin pada dasarnya adalah xenophobe. Kita takut dengan hal-hal yang asing, yang tidak sealiran atau selaras atau sama dengan kita. Agama yang satu membenci agama yang lain hanya karena memiliki pandangan yang berbeda terhadap Tuhan atau ritualnya dianggap "lain". Politikus yang satu membenci politikus yang lain hanya karena ideologi politik atau acapkali kepentingan mereka yang berbeda. Syrian refugee yang masuk ke Eropa Barat dipandang alien oleh rekanannya sesama manusia hanya karena tampilan fisik serta tindak kultur mereka tidak sama dengan para pengungsi lainnya yang sudah nyolong start di sana (ingat dulu pasca WWII Eropa Barat juga dihujani oleh pengungsi dari Eropa Timur yang kemudian beranak-cucu hingga tiga generasi di sana hari ini?). Kita adalah xenophobe, kita membenci sesuatu karena tidak memahami apa yang berbeda dengan apa yang kita miliki, ntah itu dalam basis apa yang kita yakini maupun perbuatan yang lazim kita lakukan sehari-hari.

Oh well.

Ketidaktahuan jugalah yang kemudian membuat kita membenci International People's Tribunal 1965 yang sedang happening banget di Belanda saat ini. Beberapa berita yang tersebar di tanah air menggambarkan ketidaktahuan yang nyata hingga berujung pada kebencian atas pengadilan rakyat yang tidak memiliki daya ikat hukum sama sekali ini. Ada artikel yang muncul dari ucapan Wapres Jusuf Kalla hingga sejarawan Anhar Gonggong bahwa Belanda akan menerima imbas atas kejahatan perang Westerling di Sulawesi Selatan karena berani-beraninya mengadakan pengadilan ini di Den Haag. 
Nieuwe Kerk, Den Haag. Lokasi IPT 1965

Ada pula yang mengatakan bahwa bagaimana mungkin pemerintah Indonesia bisa diadili karena Tribunal ini sendiri sebenarnya tidak resmi. Tuh, kelihatan bukan bahwa ketidaktahuan bisa membuat kita sempoyongan dalam kebencian. Kita benci karena kita tidak tahu. Bagaimana jika pada akhirnya kita tahu bahwa Tribunal ini sebenarnya bukan bentukan pemerintah Belanda melainkan diprakarsai oleh orang-orang Indonesia yang bermukim di luar dan dalam negeri serta aktifis-aktifis HAM dari berbagai kewarganegaraan? Namanya saja jelas-jelas "people's tribunal". Bagaimana jika pada akhirnya mereka harus "mundur isin" karena ternyata Tribunal ini bahkan tidak mendapatkan sorotan yang menghebohkan dari publik Belanda dan kota Den Haag sekedar dipilih dengan alasan pragmatis karena di kota inilah tribunal-tribunal resmi PBB lainnya digelar?

Saya sih tidak mendukung siapa-siapa di sini. Saya hanya tidak suka dengan statement yang diplintar-plintir dan kebencian yang bersumber dari ketidaktahuan. Masih mending jika ingin mencari tahu, namun bagaimana jika tidak mau tahu dan terus-menerus mengeluarkan kebencian? Saya tidak tahu sejauh apa media berperan di sini, karena belakangan sejumlah statement yang dikeluarkan oleh mahasiswa Indonesia di Belanda mampu dimainkan sedemikian rupa untuk mengadu domba antara pemerintah dan warganegaranya sendiri.

Genosida atas nama apapun adalah haram hukumnya, itu stance saya. Agar kita pintar dan menghindari yang namanya benci karena ketidaktahuan maka yuk kita cari tahu. Saya hadir di IPT 1965 bukan karena saya simpatisan golongan X, Y, Z namun semata-mata hanya untuk memenuhi kewajiban moral saya sebagai insan intelektual: mencari tahu agar tidak membenci tanpa alasan. Mari, pintar-pintar kita mengelola rasa benci di hati.

Leiden,
13 November 2015
12.51