Saya tidak kenal Mandela. Tapi saya tahu siapa dia.
Setiap kali mendengar kata "Afrika Selatan", yang terbayang pasti adalah namanya. Mandela. Jauh sebelum Waka-Waka dan kehebohan Piala Dunia, Mandela telah membuat mata seluruh dunia tertuju ke arahnya. Ya, negara yang dulunya mengagungkan bangsa berkulit putih sebagai bangsa paling mulia di Benua Hitam ini tercabik-cabik oleh rasa malu ketika seorang Mandela berhasil menggerakkan rakyat Afrika Selatan untuk meruntuhkan rezim apartheid. Ia bicara, bukan hitam atau putihnya kulit seseorang yang menentukan kemuliaan. Akan tetapi hati dan aksi yang mencerminkan keutamaan seseorang.
Mandela dibenci. Mandela dicaci. Mandela tidak disenangi. Banyak pula yang iri dengan sosok Mandela. Tapi Mandela keras kepala. Mandela terus maju. Mandela bertahan dengan idealismenya. Hari ini, di Afrika Selatan seorang anak kulit hitam dapat bergandengan tangan dengan seorang anak kulit putih sambil berlarian di taman. Mandela yang selalu tersenyum, dengan batik asli dari Indonesia yang selalu ia kenakan mencintai sesosok ulama Islam asal Tanah Gowa bernama Syekh Yusuf. Ia adalah putra terbaik Afrika Selatan, ujarnya. Tidak hanya itu, Syekh Yusuf juga diakui oleh negaranya sebagai seorang pahlawan nasional.
Mandela, menyingkirkan prahara sosial terkait rasisme.
Mandela, membuat rasa persaudaraan antara Afrika dan Indonesia begitu dekat.
Mandela, beristirahatlah dengan tenang.
Di suatu sore yang tenang, di pinggir sebuah danau di tepi bukit yang hijau... Tuhan menepuk-nepuk punggung Mandela yang memandangi aliran sungai itu seraya berkata kepadanya:
"Saatnya pulang, Mandela, saatnya beristirahat."