Monday, February 29, 2016

Di Kunstavond: bertradisi dalam kesederhanaan, berpanggung tanpa jarak

Ada alasan mengapa acara malam seni dan kebudayaan yang ditampilkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Leiden ini diberi nama "Kunstavond". Ada pula alasan di balik konsep "nirjarak antara panggung dan pemirsa" yang coba diusung oleh panitia. Sederhana itu berarti mendekatkan, mengakrabkan, itulah yang menjadi mindset dari acara baru ini.
Ceritanya pada hari Sabtu, 27 Februari 2016 kemarin PPI Leiden "membidani" kembali kelahiran sebuah acara seni mahasiswa Indonesia yang sempat hilang selama bertahun-tahun lamanya. Acara seni ini dikenal dengan nama "Kunstavond" alias malam kesenian. Dulu, tradisi ini diawali oleh Indonesisch Verbond van Studereenden (Persatuan Pelajar Indonesia) yang diliput di koran De Telegraaf tertanggal 20 Maret 1921. Bukan main-main, acaranya diadakan di gedung schouwburg (teater) yang letaknya di tepi kanal Oude Rijn sekarang. Tema yang diangkat saat itu ialah kebudayaan Jawa. Dilaporkan bahwa acaranya sungguh meriah karena adanya pertunjukan musik gamelan dan bahkan pertunjukan wayang!
Salah satu Kunstavond terheboh lainnya tercatat di koran De Tijd tanggal 30 Mei 1930. Saat itu Kunstavond diselenggarakan oleh perhimpunan pemuda Indonesia di auditorium kota Leiden, alias di gedung Gemeente yang kita kenal sekarang ini. Di dalam liputan tersebut diceritakan bahwa tujuan diadakannya Kunstavond ialah untuk menggalang dana demi membantu rekanan mahasiswa asal Bulgaria yang ditimpa musibah dan juga bagi para penderita bencana kelaparan di Flores, Madura, dan Jawa Tengah. Mulia sekali ya, zaman itu mahasiswa Indonesia sudah menunjukkan rasa solidaritas baik kepada mahasiswa mancanegara maupun kepada kaumnya sendiri! Rektor-Mafnifikus Universitas Leiden (Prof. Wijk) dan jejeran profesor lainnya bahkan ikut hadir di Balaikota untuk menyaksikan pagelaran musik, tari dan nyanyian mahasiswa Indonesia malam itu.
Tiga orang berjasa di balik Kunstavond PPI Leiden 2016: Ghamal, Rani dan Nazar

MC perdana bersama sesama rekan penyiar di Radio PPI Belanda :3 #TerjebakML

Kunstavond dimeriahkan tidak hanya oleh mahasiswa saja, melainkan juga diramaikan oleh komunitas-komunitas kesenian serta warga masyarakat Leiden non-pelajar yang telah lama tinggal di kota ini. Bertajuk "Batavia 1920: Gayanye Anak Leiden", Kunstavond mengangkat konsep panggung hiburan kampung yang dipenuhi oleh interaksi antara penyaji acara dan penonton. Ada pertunjukan Tari Pasambahan dan Tari Piring oleh komunitas Archipelago yang diketuai oleh Tante Esmeralda. Ada persembahan musik dari anak mahasiswa PhD. Ada pertunjukan musik, vocal group dan lenong dari mahasiswa Leiden. Bahkan adapula band gabungan antara para sesepuh warga Leiden dengan salah satu personelnya seorang mahasiswi asal Malaysia. Yang membuat suasana hidup tentu saja celetukan-celetukan yang muncul langsung dari penonton setiap kali sebuah penampilan berlangsung.
Para Pahlawan Kunstavond! Nggak ada mereka, nggak jadi nih acaranya :)
Biarlah acara ini nampak sederhana saja, tak perlu mendatangkan bintang tamu dari Indonesia. Justru inilah dia yang kami cari: sebuah pertunjukan seni yang dari kita, oleh kita dan untuk kita. Senang sekali bisa mengukir sejarah bersama mereka pada malam hari itu. Kita teruskan tradisi yang telah dititipkan. Kita hidupkan Leiden dengan seni dan sukacita.
Terima kasih semua untuk Kunstavond-nya :)

Sunday, February 7, 2016

Time Travel - Sasrokartono

Di suatu musim dingin pada bulan Februari, saya bersepeda dari Lipsius bersama adik saya menuju ke jalan Breestraat di jantung kota Leiden. Tidak berapa lama kami berhenti di depan sebuah bangunan. Saat tengah mengunci sepeda, adik saya bertanya:

"Mas, katanya mau ke situs bekas rumah tempat tinggal kakaknya Kartini di Leiden, kenapa malah ke toko baju?" 

Saya mafhum dengan protesnya karena memang kami berhenti di depan toko baju Globe Reisburo Brooks. Tapi tidak salah lagi, memang benar ini alamatnya. Breestraat 95, Leiden. Ini adalah rumah hunian Sasrokartono, seorang pangeran muda Jawa putra Bupati Jepara yang juga merupakan kakak kandung Raden Adjeng Kartini. 
Breestraat 95, Leiden

Saya tak menjawab pertanyaan adik saya itu, saya hanya memberinya isyarat untuk mengikuti saya masuk ke dalam toko. Ternyata bagian dalam toko itu cukup luas. Bangunan yang dibangun sekitar tahun 1700-an ini ditinggali oleh Sasrokartono selama masa studinya di Leiden sejak tahun 1901. Sebelumnya ia pernah selama 4 tahun belajar di Politeknik Delft, namun ternyata jiwanya lebih tertarik kepada hal-hal yang berbau sastra dan kebudayaan ketimbang teknik. 

Entah mengapa saat berada di dalam Breestraat 95, di antara rak-rak baju wanita yang sedang korting 70% saya merasakan adanya pertalian yang kuat dengan dirinya. 

Kami tidak berlama-lama di dalam gedung itu karena adik saya mulai merasa kelaparan. 

"Mas, Topvis yuk mas! Mesen mixschotel yang 2 kg seafood itu!" bujuknya sambil manyun. Saya hanya menurut sambil terus membawa perasaan aneh tadi. 

***

Malamnya saat berada di atas kasur dan sudah berkemul selimut, saya merasa ada seseorang yang menarik-narik ujung kain yang menyelimuti saya itu. Saat saya bangkit untuk duduk, di samping kasur telah berdiri sesosok pria berjas hitam, mengenakan blangkon dan jarik. Saya terkejut, panik tapi tidak dapat teriak. Wajahnya tidak terlihat dengan jelas namun saya tahu betul siapa dia. Rumahnya baru saja saya kunjungi siang tadi. 

***

Setahun kemudian, di musim gugur pada bulan Oktober, saya berada di Jenewa. Jenewa, kota perdamaian dunia. Bersama dengan rombongan kawan-kawan dari program European and International Human Rights Law kami berkunjung ke markas Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai bagian dari program studi kami. Setelah bertemu dengan beberapa orang penting dari Komisi Perlindungan Hak Asasi Manusia, kami diizinkan untuk touring keliling bangunan megah yang konon dibangun demi melindungi kepentingan seluruh umat manusia itu.

Saat berjalan menuju ke sayap lama bangunan Paleis de Nations yang dulunya merupakan gedung Liga Bangsa-Bangsa (organisasi embrio PBB sebelum Perang Dunia II), saya merasakan sensasi yang sama saat berada di Breestraat 95. Ada jejak Sosrokartono di sini. Saya ikut berjalan mengikuti tour guide kami menuju ke Bangsal Agung Liga Bangsa-Bangsa. Bangsal berukuran raksasa dengan warna hijau zaitun itu dipenuhi oleh lukisan di dinding hingga ke langit-langitnya. Dibiayai oleh Kerajaan Spanyol yang saat itu masih merupakan salah satu superpower di dunia, pelukis asal Barcelona José Maria Sert mengabadikan kemajuan teknologi, perkembangan sosial, peperangan, persatuan dan harapan akan perdamaian dunia melalui lukisannya yang berwarna keemasan dan abu-abu.
Council Chamber, Paleis de Nations Geneve
Saat tengah menikmati simbologi yang dititipkan oleh Jose Maria di dalam karyanya, tiba-tiba saya merasa ada seseorang yang menepuk-nepuk punggung saya. Ketika saya menoleh, ah, di situ berdiri sosok yang sama yang menghampiri saya pada suatu malam di bulan Februari. Sasrokartono menggerutu, katanya saya tidak sopan karena datang tanpa sowan. Saya hanya bisa pasrah meminta maaf pada pria yang dijuluki "Javanese prince" di Leiden oleh kawan-kawannya itu. Ia perlahan menghilang ke bahagian bawah bangsal, menuju ke sebuah meja dengan mesin tik.

***


Sasrokartono yang prodigi itu ternyata pernah menjabat sebagai kepala bahagian penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1920-an. Ia tidak menyelesaikan pendidikan Masternya di Leiden karena "clash of idealism" dengan supervisor skripsinya saat itu, Snouck Hurgronje. Sasrokartono yang menguasai 26 bahasa daerah dan dunia kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1925 dan menjadi seorang mistik yang terkenal. Bakat spiritualnya memang tinggi, ia tak hanya dapat menyembuhkan orang sakit dengan media air putih namun juga berhasil memotret kawah gunung Kawi pertama kali dari udara, tanpa menggunakan pesawat terbang. 


***


Terakhir kali saya "bertemu" dengannya ialah saat saya tengah berjalan kaki di sekitar Academiegebouw pada suatu malam. Saat itu ia juga tengah berjalan-jalan di tepi kanal Rapenburg, tangan kirinya bertumpu pada sebuah tongkat sedangkan tangan kanannya memegang cerutu. Dari jauh rupanya ia sudah melihat saya. Waktu itu hari baru saja masuk maghrib, lampu-lampu jalanan di sepanjang kanal Rapenburg juga baru saja menyala. Ia berjalan ke arah saya lalu bergumam sesuatu yang tak dapat saya tangkap.

Sejak saat itu saya tidak pernah lagi bertemu dengannya. Oh, ternyata kami mempunyai horoskop Jawa yang sama. Ia lahir 10 April 1879 dan jatuh pada zodiak Kasadasa. Saya lahir pada tanggal 16 April dan otomatis punya zodiak yang sama pula. Mungkin itu penyebabnya sehingga kami dapat terhubung. Apa benar iya, saya pun juga tak tahu.