Friday, October 7, 2011

di Ruang Biru

Saya mungkin "awak" yang nakal. Suka ketawa dan bernyanyi keras-keras di dalam sekretariat Badan Pers dan Penerbitan Mahasiswa ini. Saya memilih bergosip atau bermalas-malasan di ruangan kecil berdinding biru ini daripada mengajak teman-teman untuk berdiskusi. Jika disuruh untuk menulis pun masih banyak cacat saya yang perlu diperbaiki. Saya sadar, saya tidak akan pernah mendapatkan nominasi sebagai "Awak Mahkamah" terbaik jika ada award khusus seperti itu. Tapi saya sayang dengan ruang ini. Saya juga sayang dengan orang-orang yang berada di ruangan ini. Mereka adalah keluarga saya di Jogjakarta. Dari kesalahan-kesalahan konyol yang terjadi di dalam ruangan biru ini, saya banyak belajar. Saya mengevaluasi diri dan berpikir sambil belajar bicara dengan hati nurani: ruang biru ini adalah ruangan yang bebas akan pencitraan. Kami apa adanya di tengah kurungan tembok-temboknya.






Salah satu awak, rekan saya di redaksi pernah bercicicuit lewat twitter: "rutinitas mahasiswa beridealisme: pake almamater, diskusi, demo dan tak lupa naik gunung. itu jaman belanda jg udah eksis. kreatif dong!". Saya hanya tersenyum membacanya. Bagi mahasiswa seperti yang disebutkan oleh rekan saya di atas, mungkin secara kasad mata Mahkamah hanyalah sekumpulan ahli dagelan yang membaiat dirinya sebagai pers mahasiswa. Saya lalu tertawa. Jelas apa yang saya asumsikan mereka lihat dari luar tidak sama dengan apa yang saya lihat dari dalam ruang biru ini. 


Saya cinta Mahkamah. Seperti kulit jeruk, jangan lihat ruang biru ini dari kulit luarnya saja. Kupas dan lihat isinya. Bahkan hening ruangan biru ini pun sesungguhnya mengajarkan sesuatu yang lebih tajam ketimbang kata-kata di tengah diskusi bohong-bohongan.