Monday, December 29, 2014

Hutan dan Telaga

Aku ke Roma, di Italia
memandangi puing-puing peradaban lama serta pusat-pusat perbelanjaan dunia
berdesakan bersama para peziarah Katolik dan buruh-buruh migran Filipina di dalam bus kota
menyisiri jalanan berbatu yang tak rata, bergoyang ke kanan, terdesak ke kiri
menyerahkan nasib ke supir-supir lokal yang tak mengerti bahasa Inggris dengan aksen kami
menerka-nerka apakah pemberhentian terakhir ada di stasiun Termini

Aku ke Vatikan, bukan di Italia, tapi di dalam Roma
berselimutkan dinginnya malam, dengan kaki dan punggung yang lelah
duduk di lapangan batu San Pietro menunggu dengan pasrah
saat bel basilika didentangkan berkali-kali, pertanda Paus akan segera memulai misa
kami berlari terbirit-birit ke depan pintu utama, setelah tiga jam akhirnya pagar dibuka
Jemaat berbagai bangsa berebut duduk di shaf terdepan yang disediakan
di dalam pelukan Sang Ibu Gereja, bendera-bendera negara asal mereka kibar-kibarkan
Penuh khidmat karena semua terjadi begitu tiba-tiba, tapi juga mengundang tawa

Aku pun pergi ke Firenze, sebelum ke Roma, masih di Italia
berkunjung ke rahim Renaissance yang menginspirasi seluruh Eropa
Mekkah-nya seniman-seniman terbaik yang dikenang dalam cerita-cerita
aku berziarah ke makam Galileo, Dante, Michelangelo dan Macchiaveli
menyaksikan di patung-patung, lukisan-lukisan dan gedung-gedung kebesaran keluarga Medici
takluk pula aku dalam haru, sungguh, berkunjung ke kampung Leonardo Da Vinci ini
menapaki setapak dan menyusuri lorong-lorong tempat mereka dulu berjalan kaki
memandangi aliran Arno serta mendaki bukit Poggi

Roma adalah hutan
Firenze adalah telaga
Dan aku masih haus
Aku masih ingin bermain-main di belantara

Menanti misa dimulai di depan Basilika Santo Petrus

Makam Galileo Galilei, Basilica Santa Croce, Florence


Leiden, 29 Desember 2014

Saturday, December 27, 2014

Desember 2013, Batara Guru Turun ke Bumi

Sabtu, 20 Desember 2014

Saat sedang melipat-lipat sweater untuk dibawa ke Itali dalam rangka Christmas Break, saya melirik kalender di atas meja belajar. Sekejap terkesima memandang tanggal itu dan bulan itu. Ah, tepat setahun yang lalu ya? Iya, sudah genap. Saya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Duduk di depan tas yang penuh berisi perlengkapan mandi, handuk, kaos, celana dan segala tetek-bengek lainnya. Persis setahun yang lalu. Saat itu saya juga sedang duduk di atas lantai sambil memandangi tas yang penuh berisi pakaian dan koper yang berisi bermacam perbekalan.

Jumat, 20 Desember 2013, jangan pernah kalian lupakan! Itu saat Batara Guru, yang diperankan oleh Fahmi, turun ke bumi. Ia ditugaskan oleh Datu PatotoE, Sang Raja Penguasa Boting Langiq, untuk mengisi Ale Lino (Dunia Tengah) dengan umat manusia. Ia turun terbungkus bambu betung berwarna hijau, diiringi oleh lengkingan suara sopran mbak Puspa dan gelegar suara tenor saya. Bersama raungan gitar Ucup, hentakan cajon si Gendon, dimulailah pembukaan episode paling awal La Galigo ini. Keluar ia dari bambu betung itu, diriuhkan oleh bass si Jody, alunan flute July serta gesekan biola Mandira dan Himawan. Lalu kemudian Batara Guru mulai membentuk gunung, sungai, pepohonan, serta beragam margasatwa untuk mengisi kosongnya alam raya. Waktu berjalan, hingga kemudian samar-samar terdengar petikan kecapi Ulil saat We Nyiliq Timoq (diperankan oleh Ina) muncul dari Lautan Timur, menunggu dijemput dewata yang kini Manurung (mewujud manusia) untuk dijadikan istri. Lalu, perayaan besar pernikahan pertama di Dunia Tengah pun berlangsung. Turun dewi-dewi kahyangan yang dipandu oleh mbak Candri dan Diva menyampaikan pakkuruq sumangeq untuk Batara Guru dan We Nyiliq Timoq.

Malam itu tidak benar-benar ada suara gong, bunyi gendang, atau gemulai gerakan penanda khasnya kebudayaan Bugis. Batara Guru pun tidak mengenakan pakaian yang semestinya (meskipun entah apa pakaian yang kira-kira ia pakai di zaman itu). Akan tetapi, bukan fisik La Galigo yang kami coba tunjukkan. Kami tak mau menjual harapan palsu. Ruh epos terpanjang di dunia itulah yang coba kami hadirkan, dengan tafsiran kami sendiri. La Galigo yang versi kami. Kami dicemooh karena serba kekurangan. Namun justru kekurangan itulah yang membuat kami bangga. Perjuangan menutupi kekurangan demi kekurangan itu yang membuat kami kuat. Dengan hadir di sini, melihat antusiasme penonton di KBRI yang membludak dan bahkan ikut ke panggung untuk menari di akhir sendratari, airmata haru menggenangi mata kami karena merasa dihargai.

20 Desember 2013, jangan dilupakan! Oleh sebab adanya hari itulah kita semua, rombongan La Galigo Music Project beserta Ran sebagai salah satu pendiri Lontara Project dan Faizt sebagai videografer bisa menginjakkan kaki ke negeri Belanda di musim dingin. Oleh sebab adanya hari itulah kita bertemu hati-hati yang ikhlas lagi baik seperti kak Daus, kak Dodo, kak Narti, mbak Dhani, kak Juli Silalahi, dan lain sebagainya. Oleh sebab adanya hari itulah kita lalui masa-masa persiapan berat yang sekarang hanya bisa kita bayangkan saja karena telah lewat sebagai masa lalu.

Hey, kalian. Selamat tanggal 20 Desember 2014. Konon, esok adalah hari terpendek di belahan bumi utara. Tapi kenangan yang ada bersama kalian tahun lalu di hari ini adalah kenangan yang kuselip rapi di dalam memori jangka panjangku. Tuh, kan. Masih saja dibuatnya aku cekikikan sendiri atau mengelap mata sedih saat mengingatnya.

Salam hangat kawan, dimanapun kalian berada hari ini!
(aku merinding karena tak percaya bahwa aku menulis ini dari Leiden!)