Thursday, March 29, 2012

Mahasiswa Makassar Menghadapi Tantangan Zaman

*repost dari note saya di facebook, tiga bulan yang lalu

Siapa yang tidak pernah mendengar nama Makassar? Familiar di telinga mungkin iya, tapi kenal belum tentu. Sebagian masyarakat di Indonesia masih menggunakan nama lama Makassar yaitu "Ujung Pandang" untuk menyebut nama ibukota Provinsi Sulawesi Selatan ini. Makassar juga merupakan nama untuk salah satu suku asli dari empat etnis yang berdiam di provinsi penghasil coklat terbesar di Indonesia itu (yang kemudian membuat negara kita menjadi produsen coklat rangking 3 di dunia). Di zaman pemerintahan Ratu Victoria dan Raja Edward di Inggris dulu nama "Macassar" sempat populer sebagai nama hair conditioner berupa minyak kelapa atau palem yang dicampur dengan aroma-aroma tertentu. Cerita punya cerita, ternyata memang Macassar oil tersebut berasal dari Sulawesi Selatan.




Sekarang, nama Makassar kembali menghiasi media-media cetak maupun elektronik di Indonesia. Pemberitaan Makassar kali ini tidak ada kaitannya dengan kebesaran masa lampau, inovasi-inovasi, atau prestasi yang dicapai oleh salah satu putra daerahnya di ajang-ajang tertentu. Makassar hangat diberitakan karena tingkah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negrinya yang secara brutal melakukan aksi-aksi anarkisme di area kampus. Tawuran, pelukaan dengan senjata, aksi perusakan serta pembakaran terhadap fasilitas umum menciptakan lingkaran cerita negatif yang tak kunjung habis. Mahasiswa seakan-akan telah menanggalkan embel-embel mereka selaku civitas akademika dan merubah kampus menjadi arena pertarungan terbuka. Entah mengapa, mahasiswa yang terlibat aksi tersebut di Makassar bangga atas "perjuangan" yang mereka lakukan.

Ketika penulis menanyakan langsung kepada mahasiswa-mahasiswa yang terlibat di dalam aksi kekerasan, hampir seluruh jawaban bernada sama. Solidaritas. Ya, definisi mereka terhadap solidaritas berpadan dengan istilah "satu rasa". Apabila ada kawannya yang diserang, sontak mereka akan segera menyerang balik. Apabila ada juniornya yang dilukai, sontak mereka akan melukai balik. Begitu seterusnya, menurut mereka harga diri atas status kebersamaan itulah yang mereka jaga. Jika tidak begitu, maka sistem yang sudah dibangun selama bertahun-tahun sejak zaman senior-senior mereka dulu dapat hilang begitu saja. Padahal keberadaan sistem itulah yang menjamin eksisnya tradisi senioritas di kampus.  

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengadili mahasiswa-mahasiswa Makassar yang gemar tawuran. Bagi penulis, kesalahan tidak sepenuhnya ada pada mereka. Akan tetapi, ada sebuah faktor yang selalu luput dari perspektif pers ketika memberitakan kebrutalan mahasiswa-mahasiswa ini di media nasional. Penggambaran terhadap mahasiswa Makassar di mata mereka yang tidak pernah mengenal atau menginjakkan kaki ke Tanah Daeng bagaikan kanvas yang dituangi tinta hitam dengan merata. Generalisasi seperti inilah yang menciptakan prejudice atau stereotipe buruk. Pada kenyataannya, ada banyak mahasiswa asli Makassar yang tidak setuju terhadap aksi-aksi tersebut. Ada banyak suara-suara yang menentang tindak-tindak kekerasan di dalam kehidupan kampus. Sayangnya, sekali ada pemberitaan tentang Makassar, pasti tidak jauh-jauh dari aksi memalukan mahasiswanya yang membakar ban di jalan raya atau menyerang polisi. Ambil contoh prestasi unit kesenian tari dari Universitas Hasanuddin yang meraih juara IV pada Perlombaan Tarian Tradisional Tingkat Internasional di Istanbul, Turki kemarin. Kemenangan tersebut kurang disoroti oleh media, padahal jika prestasi tersebut diraih oleh universitas-universitas lain di pulau Jawa niscaya kisahnya telah diliput dimana-mana.

Saya dengan bangganya mengenakan pakaian adat dari Sulawesi Selatan dikawinan keluarga kami di Jawa. Sementara itu, di kampung halaman sana, rekan-rekan yang mengaku mahasiswa membuat malu tanah leluhurnya sendiri dengan aksi anarkisme berkedok "aspirasi rakyat"


Ketika daerah-daerah lain di Indonesia sibuk berbenah dari tragedi bencana alam atau disibukkan dengan proyek-proyek pembangunan, di Makassar isu anarkisme mahasiswa masih riuh. Tahun lalu, beberapa perusahaan besar di Indonesia sempat "memberikan teguran" kepada mahasiswa-mahasiswa Makassar agar segera menghentikan kebiasaan mereka tersebut dengan mengeluarkan larangan menerima lulusan dari sebuah universitas negri yang gemar tawuran. Rupanya teguran seperti itu pun tidak mempan. Kebijakan rektorat yang akan memecat mahasiswa yang ikut tawuran pun juga tidak berhasil. Aparat penegak hukum pun dibuat kelimpungan oleh mereka.

Dulu, pemuda-pemuda Bugis-Makassar pernah mencapai puncak kebudayaan maritim melalui evolusi perahu tradisional ciptaan mereka. Perahu pinisi  pada masa lalu memamerkan kejayaannya di pantai-pantai Semenanjung Malaya, Australia Utara, Madagaskar, pesisir Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Indonesia bagian timur. Kecakapan dan pengenalan pemuda Bugis-Makassar terhadap perahu diperkirakan terjadi sebelum abad ke-10 dengan terdapatnya relief perahu layar padewakkang danlepa-lepa serta rumah panggung Bugis-Makassar di Candi Borobudur. Di periode pembebasan Irian Barat tahun 60-an, Presiden Soekarno sering berkonsultasi dengan pimpinan pelayaran Bugis di pelabuhan Sunda Kelapa, Muara Baru, dan Tanjung Priok. Beliau mengetahui potensi “armada perahu semut” padewakkang yang bentuknya kecil namun kokoh ini sehingga tahun-tahun itu perajin dari Bulukumba membuat puluhan perahu untuk pendaratan pasukan di Irian Barat.

Tidak inginkah kita mengharumkan nama Makassar seperti di masa lalu? Sudah saatnya bagi mahasiswa Makassar untuk berubah. Tradisi tawuran yang sifatnya primordial itu kini tidak dapat lagi diterima oleh masyarakat luas. Pemerintah di daerah maupun pembuat kebijakan di kampus perlu memikirkan bagaimana caranya mahasiswa dapat disibukkan dengan aktifitas-aktifitas yang mengundang prestasi. Peningkatan mutu ini penting, mengingat persaingan di daerah lain di Indonesia pun semakin lama semakin ketat. Keberanian, semangat untuk tampil, serta energi besar yang menjadi ciri karakter mahasiswa-mahasiswa Makassar hendaknya diarahkan melalui peningkatan kesadaran terhadap kearifan lokal atau organisasi-organisasi kepemudaan. Voluntarisme dapat menjadi pilihan yang tepat bagi mereka yang ingin menunjukkan karya nyata di tengah masyarakat. Menulis, bermusik, atau mengembangkan bakat olahraga secara profesional pun dapat dijadikan alternatif. Ada banyak pilihan untuk menghadapi tantangan zaman, namun semua itu tidak mungkin terwujud tanpa adanya dorongan dari masyarakat, termasuk dari kaum muda lainnya di persada nusantara.

Melalui tulisan ini, penulis berharap agar saudara-saudara mahasiswa di Makassar dapat mengulangi kejayaan masa lalu nenek moyangnya dengan prestasi-prestasi besar. Tugas kita sebagai mahasiswa amatlah simpel: mengisi kemerdekaan yang dulu telah diperjuangkan oleh bapak-bapak bangsa. Penulis juga berharap kepada rekan-rekan mahasiswa lainnya di Indonesia sedia untuk selalu berbagi inspirasi. Kiranya dengan motivasi dari mahasiswa-mahasiswa lainnya, mahasiswa Makassar dapat mengaktifkan peran mereka dengan efektif di tengah komunitas. Masalah yang dihadapi pemuda manapun di Indonesia hari ini adalah masalah kita bersama.

Paentengi sirri'nu! 




Jumat, 18 November 2011
Yogyakarta

Monday, March 26, 2012

Copyrighted Culture?

We can't hide from the fact that culture still plays important role nowadays. Anywhere you go in Indonesia, you'll see workmen or school kids wearing batik. You'll hear traditional music being played on the local radio, from daylight to the dead of night. Since culture is fun and becoming part of Indonesian daily life, the issue of "claimed culture" is a bit sensitive.

Not so long ago, we could recall clearly how Malaysia was blamed due to it's commercial tourism video. It shows some traditional elements that belong to Indonesia. Wayang, batik, Reog Ponorogo, Rasa Sayange song, and the latest one is rendang. The public reaction toward this particular act is predictable, outraged by the idea of stealing identity of another nation, Indonesian bloggers fills the internet with hatred testimony to Malaysians. But spreading negative comments or blaming Malaysia won't solve any of this cultural problems. So, what's the solution?

Some people believe that the using of Intellectual Property Law across the border of two nations could prevent such things. By "copyrighting", "patenting", or even "trademarking" tangible or intangible heritage such as traditional architecture, ancient manuscripts, local foods, and traditional clothes ones can save it's culture. Is it true? I personally think that it is very naive. The term of intellectual property links to personal posession, an exclusive right to respect someone's work. We can't just merely copyrighted culture, because no one really know since when the Javanese built joglo or whose the one who started batik.

"Copyright deals with the rights of authors in traditional cultural works like literary and artistic works. Examples of the rights that authors gain are the right to reproduce the work and the right to perform the work in public." (A Philospohy of Intellectual Property by Peter Drahos, 2005).



Based on that explanation, it is crystal clear how copyright can't be the relevant tools to protect traditional knowledge. Copyright was meant for modern-English-type literary and artistic work which the authors were known. There is an idea to simplify a product of culture which the author is unknown to refer to its group of origin. Sounds like a solution, eh? No, in fact you can't apply it to a country like Indonesia. I give you a clear example;

UNESCO tried to simplify La Galigo as the intangible heritage of Bugis people in South Sulawesi. La Galigo is the largest epic in the world, been created approximately around 14th century, but no one know who was the person which flicked the fire on the first place. Then, the people of Luwu (a regency in South Sulawesi) opposes the idea of putting the whole Bugis landscape as the origin land of La Galigo, since the epic itself refers Luwu as the background where all the story begins. Please underline the fact that the whole Bugis region considers Luwu as their mother kingdom. However, the language and culture of people in Luwu differs with the rest of Bugis world. The original text of La Galigo contains a lot of archaic words that are unknown on standard Bugis language nowadays. It strengthen the Luwu's claim that UNESCO is wrong, "you can't just simply give the La Galigo claim to Bugis people while in fact it's coming from our place."

In addition, the principal of "Public Domain" that attached on cultural products prevents us to copyright it. Culture isn't meant to be copyrighted, as some scholars states.

However, some basic elements of copyright could be used. The concept of performing rights could prevent one culture being hijacked by others. Giving title or credits to the original group (which the author is unknown) could at least anticipate the problem. How about patent? Two years ago there was an opinion to patent the Phinisi, a traditional wood-made ship from Bulukumba. That's also crazy. Patent for culture is the biggest joke in this century. Those who throws the idea of patenting Phinisi do not understand that patent deals with invention (read: new stuff being invented) and the protection can't last forever.

"Patent statutes protect inventions. Protection is conditional upon satisfying various criteria of which novelty and inventiveness are two important examples. Patent rights are of limited duration". (A Philosophy of Intellectual Property by Peter Drahos, 2005).



So, what's the solution? The conception of Intellectual Property rights are so western. Indonesia need to create it's own legal instrument inspired by those basic ideas to protect its traditionalism. We can adopt "copyrighted culture" in our own way. The principle of geographical indications on Intellectual Property protection could be elaborated, for instance.

"Geographical indication is a term that is often used broadly to embrace all forms of protection for indications of geographical origin.." (The Law of Geographical Indications by Bernard O'Connor, 2006).

Eventhough no one really know who's the author of a traditional literary or artistic work, by indicating its origin uses Geographical Indications, ones can save a specific culture for being hijacked. Bilateral agreement between two nations about geographical indications could settle this cultural-dispute. The European Community - Australian Wine Agreement on 1994 shows how geographical indications solve the problem. It is proven improved European Community market access conditions for Australian wine products, in the other hand Australia benefits from the restriction on the use of geographical indications and expressions apply to the "description and presentation of wine".



Culture is included as one of geographical indications' objective. "Traditional knowledge is collective knowledge. Sometimes, due to have parallel development or due to the exchange of knowledge, communities with similar ecosystems or problems have the same or similar traditional knowledge. It is extremely difficult to determine with accuracy  which communities are the rightful owners of a certain knowledge or the relationship between individuals within a community and traditional knowledge. Geographical indications are not intended to reward innovation, but rahter to reward members of an established group or community adhering to traditional practices belonging to the culture of that community or group." (Law of Geographical Indications by Bernard O'Connor, 2006).

Based on the idea of protecting a cultural expression with unknown authorship, geographical indications settle problem without copyright bias. Malaysia or any other country in this world could continue using batik, playing wayang, or reciting La Galigo, but the geographical indications will always refer to Indonesia as it's origin.

Monday, March 5, 2012

Short Vacation Always Has Some Meaningful Experience!

Pada tanggal 8 Februari 2012 lalu saya pulang kampung ke Makassar. Tapi, ini bukan pulang kampung seperti biasanya. Intervalnya tergolong pendek karena pada tanggal 15 Februari saya sudah harus terbang kembali ke Yogyakarta. Pulang kampung yang memegang rekor terpendek selama 3 tahun belakangan ini karena saya hanya 3 hari full berada di rumah. Sisanya dihabiskan dengan perjalanan yang mengasyikkan menuju Pulau Selayar.

Tim KKN UGM yang saya rintis insya Allah akan berangkat ke pulau berjuluk "Tana Doang" ini bulan Juli 2012. Kami akan menghabiskan waktu selama 40 hari di sana, membaktikan ilmu kami langsung kepada masyarakat sekitar yang membutuhkan bantuan. Kenapa Selayar? Saya sendiri sebenarnya belum pernah menginjakkan kaki di pulau itu selama 5 tahun tinggal di Makassar. Salah seorang sahabat baik saya di SMP berasal dari Pulau Selayar. Yang terbayang jika mendengar nama itu adalah hasil laut yang melimpah, kapal nelayan, emping manis, Takabonerate, dan black magic.

Semenjak diterima di Universitas Gadjah Mada dan mendengar program KKN, saya sudah membulatkan diri untuk tidak ber-KKN di Pulau Jawa. Saya ingin KKN, membuktikan ilmu saya dapat diaplikasikan di daerah lain di nusantara, yang setertinggal-tertinggalnya suatu wilayah di Pulau Jawa, di sana masih lebih membutuhkan lagi uluran tangan kami. Awalnya sih sempat berminat untuk KKN di Batam, namun di tengah jalan saya mengurungkan niat tersebut. Saya ingin berguna bagi kampung halaman. Saya ingin membalas tanah nenek moyang saya (meskipun selama 21 tahun hidup di dunia saya sendiri baru tinggal selama 5 tahun di sana). Maka dari itu, Sulawesi Selatan pun saya canangkan sebagai daerah tujuan KKN. Dan Selayar menjadi targetnya, bukan tanpa sebab, tapi setelah menghabiskan waktu selama 2 bulan untuk mencari-cari lokasi yang tepat.

Team KKN UGM ke Selayar diliput oleh Harian Fajar, salah satu media partner kami

Singkat cerita, sejak Oktober 2011 kami telah berupaya untuk menyusun proposal, mengumpulkan anggota, membuat program, mencari dosen pembimbing, serta mengusahakan mitra/sponsor. Libur Februari kemarin menjadi saat-saat yang menentukan dimana kami harus membawakan proposal untuk ijin lokasi langsung ke Sekretaris Daerah Kab. Kepulauan Selayar serta mencari dana melalui sponsorship di kota Makassar. Lalu, apa saja detail kegiatan Team Survey yang beranggotakan 4 orang ini (Ahlul, Calvin, Kamil, dan Eka)? Monggo disimak...

Rabu, Februari 8, 2012
-Alhamdulillah, cuaca cerah. Meskipun sempat empot-empotan sama Merpati gara-gara tiket promo saya dimajukan sehari, saya bersyukur sebab dengan demikian waktu bersantai di rumah bertambah hehe. Selepas dhuhur rekan Ran dan Fit bertandang ke rumah untuk membicarakan Lontara Project. Malam harinya, sekita jam 23.00 WITA saya, bapak, dan Rani menjemput Calvin dan Eka di Bandara Sultan Hasanuddin. Calvin ternganga ketika mengetahui Makassar punya jalan tol! Hahaha, selama ini yang ada di kepalanya Makassar bersinonim dengan wilayah yang tergolong "remote" dan penduduknya barbarik karena suka tawuran. Wuits, jangan salah le! Makassar yang jadi salah satu kota metropolitan di Indonesia ini dijuluki "Ratu Indonesia Timur", bandar raya yang menjadi pusat perdagangan internasional bahkan sebelum bangsa Eropa menjajah Indonesia. Malam itu juga mereka kami jamu dengan "Mie Titi" makanan khas Makassar berupa mie kering yang disiram oleh kuah seafood dan nyuknyang. Yumm!
Menunggu di Wisma Kalla
Kamis, Februari 9, 2012
-Sekitar jam 8 pagi kami sudah rapi berseragam jas almamater. Calvin memberanikan diri untuk membawa mobil bapak keliling kota Makassar dengan saya sebagai navigatornya. Tujuan pertama kami ialah Kantor Gubernur Sulsel. Di sana kami disambut dengan positif, namun kabar mengenai diterima atau tidaknya permohonan bantuan dana kami baru dapat diberitakan beberapa minggu kemudian. Kami lalu tancap gas menuju Wisma Kalla. Sekitar jam makan siang Kamil mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin dari Jakarta, karena jarak dari pusat kota ke bandara lumayan jauh, walhasil Kamil harus naik taksi ke rumah saya dan menunggu kami pulang. Sore itu hujan mengguyur Makassar dengan deras. Saya, Eka, dan Calvin yang sedari siang berkeliling kota satelit Tanjung Bunga untuk mencari Gowa Tourism Makassar tak kunjung mendapatkan tempat yang dituju, sehingga kami pun memutuskan untuk berteduh sebentar di Trans Mall. Setelah hujan reda kami kembali ke daerah Panakkukang (rumah saya) dan bertemu Kamil. Malamnya kami menyambut Kamil dengan hidangan Coto Daeng Bagadang di belakang Mall Panakkukang.

Jumat, Februari 10, 2012
Graha Pena, Kantor Harian Fajar
-Hari Sabtu kami berkeliling beberapa tempat untuk memasukkan proposal, seperti PT. Vale (Inco), Harian Fajar, dan Walhi. Pagi dimulai dengan kunjungan ke Unhas, sebab saya dan Ran telah membuat janji dengan Ibu Nurhayati Rahman di Pusat Studi La Galigo. Calvin dan Kamil berkeliling Unhas sambil menunggu kami selesai berdiskusi, sementara Eka mengikuti saya dan Ran menemui Bu Nurhayati. Apa saja yang kami lakukan di Pusat Studi La Galigo dan Jurusan Sastra Daerah Unhas? Simak tulisannya di http://lontaraproject.com/101-la-galigo/kerja-sunyi-para-pejuang-la-galigo/. Malamnya kami tutup dengan berjalan-jalan di sekitar daerah Pettarani, menyaksikan Phinisi Tower UNM, lalu makan Terang Bulan sambil nonton film di kamar saya.

Sabtu, Februari 11, 2012
-It's Free Time! Hari ini anak-anak Team Survey yang sudah 2 hari full keliling Makassar untuk menyebar-nyebar proposal mendapatkan jatah mereka untuk bersenang-senang. Kami main di Trans Studio seharian. Ada saja kejadian kocak yang terjadi, termasuk ketika kami masuk "Derings", atau ketika Calvin ikut acara Gombal Gila di tengah Trans Studio hanya untuk mempermalukan dirinya sendiri (dan bahkan tidak mendapatkan hadiah yang telah dijanjikan). Malamnya kami tutup dengan siap-siap packing ke Selayar.


Minggu, Februari 11, 2012
-Tepatnya pukul 09.00 WITA dari Terminal Mallengkeri di pinggiran kota Makassar kami naik bus "Sumber Mas Murni" menuju Pulau Selayar. Busnya besar, ber-AC, dan bagus. Hanya saja, mungkin karena sedang musim liburan, bus kami penuh sesak dengan orang-orang yang hendak kembali ke Selayar. Ada yang membawa beras, beragam buah-buahan, dan kerdus-kerdus. Perjalanannya menyenangkan karena pemandangan alam dari Makassar menuju Bira amatlah menawan. Cuacanya pun sempurna. Jalanannya bagus, lurus tidak berbelok-belok. Kami sempat dibuat terkagum-kagum dengan galangan kapal Phinisi yang sedang dibangun di atas perairan Bira. Rupanya bus yang kami tumpangi tergolong lambat, sehingga ketika tiba di tempat penyeberangan ferry di Tanjung Bira kami harus menunggu ferry berikutnya 1 jam kemudian. Tapi masa penantian tersebut terganjar dengan kecantikan Selat Selayar dan indahnya sunset ketika selama 2 jam kami terapung dengan damai di atas lautan! Ada tiga buah pulau yang tak putus menemani kami di tengah Selat Selayar. Di sanalah saya pertama kali menyaksikan "rumpong", kearifan lokal pelaut Mandar yang tersebar di seluruh perairan nusantara. 


Singkat cerita, setelah terapung-apung di atas Selat Selayar selama hampir 2 jam, kami berlabuh di Pamatata, ujung paling utara pulau ini. Perjalanan masih dilanjutkan dengan bus selama kira-kira 1 jam hingga mendarat di terminal kota Benteng. Di sana kami disambut oleh kak Chalis, tetangga keluarga Pak Shalahudin. Pak Shalahudin ini sendiri merupakan informan kami, paman dari salah seorang kawan saya di AFS, Agung dari chapter Bandung. Kami disambut dengan keramahan ala Selayar dan langsung diajak makan malam. Malam itu kami menginap di rumah saudara kak Chalis yang kebetulan kosong. Hmmm... Finally we made it :)
Memandang Sunset di Selat Selayar
Senin, Februari 12, 2012
-Pagi-pagi benar kami sudah siap dengan jas almamater dan bubur manis buatan istri Pak Shalahudin. Dengan diantarkan oleh mobil kak Chalis, kami tiba di kantor Bupati Selayar. Kami langsung bertemu dengan Sekda-nya. Sambutannya positif. Setelah itu kami lanjutkan petualangan dengan menyebarkan proposal ke Dinas Perikanan dan Kelautan Selayar serta Dinas Kesehatan. Alhamdulillahnya lagi, ternyata Wakil Bupati Selayar adalah alumni Fakultas Hukum UGM! Di Pulau Selayar ini nama UGM jauh lebih besar daripada nama universitas-universitas lainnya di Indonesia, karena kebanyakan putra daerahnya menimba ilmu di sana. Luarbiasa, takdir Tuhan! :) 


Setelah seharian berkeliling kantor-kantor, sorenya kami menengok lokasi KKN kami di desa Bontosunggu dan Bontotangnga. Wah, ada banyak PR buat kami! Potensi wilayahnya sebenarnya besar, lokasinya pun indah karena berada di pinggir laut. Hanya saja fasilitas di sana masih kurang memadai (padahal udah ada bandara kecil dengan penerbangan rutin ke Makassar dan Bali tiap harinya lho!). Kami juga menyempatkan diri untuk bermain-main di Pantai Pasir Putih Baloya, Bali-nya Selayar. Tempatnya damai dan indah, sayangnya ada banyak sampah yang terbawa oleh air laut menumpuk di pinggirannya. Sampah-sampah tersebut bukan milik penduduk lokal, namun kebanyakan berasal dari daratan Sulawesi yang terseret ombak hingga ke Selayar (pernyataan ini penulis legitimasi karena di Selat Selayar penulis melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sampah-sampah dari Tanjung Bira melayang-layang terbawa arus laut menuju Pulau Selayar).

Selasa, Februari 14, 2012


Bersama Wabup Selayar, Alumni FH UGM
Lokasi KKN kami
-Tepatnya pasca sholat subuh kami sudah dijemput oleh bus "Sumber Mas Murni" di rumah saudara kak Chalis. Untung pada malam sebelumnya kami sempat berpamitan dengan keluarga Pak Shalahudin dan kak Chalis. Perjalanan kami nikmati semaksimal mungkin meskipun badan ini pegal-pegal. Kami sampai di Makassar sekitar jam 5 sore. Dinner di malam itu spesial, kami memasak Spagetthi untuk merayakan Valentine's Day kecil-kecilan ala makhluk-makhluk jomblo yang kesepian :D

Rabu, Februari 15, 2012
-Berhubung pesawat Kamil ke Jakarta berangkat jam 3 siang, maka pagi-paginya kami sudah muter-muter kota Makassar lagi. Saya mengajak mereka untuk makan di Popsa sekalian mampir ke benteng Fort Rotterdam di depannya. Pada saat yang bersamaan ternyata ada "kampanye terselubung demo", hehehe. Sore harinya, kami pun terbang kembali ke Jogja. Aaah... Liburan yang singkat tapi bermakna. Makassar, Selayar, tunggu kami empat bulan lagi ya! :)