Friday, October 24, 2014

"De Nederlanden"

Selama ini banyak orang (termasuk saya) yang salah kaprah saat menyebut nama Belanda sebagai sebuah negara. Banyak yang menyebut Belanda dengan nama Holanda atau Holland, seakan-akan seluruh kata itu bersinonim. Jawabannya: salah total. Belanda sebagai negara tidak ada kaitannya dengan nama Holland. Holland hanya lah nama sebuah provinsi di negara ini. Kebetulan, karena zaman dulu banyak warga Holland yang berprofesi sebagai pedagang, maka nama ini kemudian ikut pula tersebar seiring dengan kepergian mereka bertualang keliling dunia maritim. Orang Belanda yang tidak berasal dari Provinsi Holland bisa tersinggung lho jika kita menyebut negara mereka dengan nama ini, teman-teman. Ibarat kata ada orang yang menyebut Indonesia hanya dengan "Jawa Barat" atau "Gorontalo". Pastinya kurang sreg kan? Nah, Provinsi Holland kini terbagi menjadi dua wilayah administratif yaitu Noord Holland dan Zuid Holland. Kota Leiden yang saat ini saya tinggali berada di wilayah yurisdiksi Zuid-Holland. 

Dalam Bahasa Inggris, Belanda disebut sebagai The Netherlands. Bentuknya jamak, itulah mengapa ia dikepit oleh artikel (the) dan huruf "s". Orang Prancis menyebut Belanda dengan nama "Les Pays Bas", sebagaimana orang Spanyol menyebutnya sebagai "Los Paises Bajos". Arti harfiah dari kedua nama tersebut ialah the low countries, atau negara-negara yang letaknya lebih rendah dari pada laut. Dalam Bahasa Belanda, mereka menyebut negara sendiri dengan nama "Nederland", bentuknya singular. Adapun "Nederlands" yang ditulis dengan menggunakan "s" pada akhir kata artinya ialah Bahasa Belanda, bukan negara maupun orang Belanda. Kata "Nederlands" berfungsi plek sama seperti kata English untuk menyebut Bahasa Inggris. Hari ini, Belanda tidak pernah menyebut negara mereka dengan bentuk jamak. Nah, yang jadi pertanyaan lalu bagaimana kok kemudian Inggris, Prancis dan Spanyol sekonyong-konyong menyebut negara ini dengan bentuk jamak?
Peta Belanda Abad Pertengahan yang dipajang di kantor water-control tua kota Leiden
Ini ada hubungannya dengan sebuah peristiwa politik penting pada tahun 1830 yang dikenang sebagai Belgische Revolutie. Dulu, wilayah Belgia utara yang meliputi kota-kota terkenal seperti Antwerp, Ghent, Brugge dan Bruxelles adalah bahagian dari Provinsi Flanders milik Persekutuan Kerajaan Belanda. Revolusi yang meletus pada tahun 1830 mengakhiri kekuasaan Belanda atas Flanders. Disintegrasi wilayah Belgia dari Persekutuan Kerajaan Belanda dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti bahasa (penduduk Belgia saat itu kebanyakan berbahasa Prancis) dan juga agama (mayoritas Belgia adalah Katolik sedangkan mayoritas Belanda adalah Calvinis Protestan). Sejak kehilangan Belgia (dan kemudian Grand Duchy Luxemburg yang menjadi negara sendiri pada tahun 1839) maka Belanda yang bentuk negaranya ialah Perserikatan Kerajaan tak pernah lagi menyebut diri sendiri sebagai "De Nederlanden" atau Nederland dalam bentuk jamak. Provinsi-provinsi Belanda yang tersisa pasca tahun 1830 dianggap sebagai satu-kesatuan yang bulat, baik dari segi sosial, ekonomi maupun budaya. Untuk memastikan keutuhan sebagai sebuah bangsa tersebut maka nama Nederland lah yang kemudian dipakai. Uniknya, di paspor Belanda nama yang tertera ialah "Koninkrijk der Nederlanden". Wah, sepertinya keluarga Oranje-Nassau yang berkuasa di Kerajaan Belanda saat ini belum bisa move on dari kenyataan pahit kehilangan Belgia ya, hehehe. Tidak hanya itu, bentuk jamak yang dipakai oleh Inggris, Prancis dan Spanyol terhadap Belanda juga sejatinya menyimpan serpihan kenangan dari masa lalu saat Belanda masih berbentuk Verenigde Koninkrijk (Perserikatan Kerajaan) yang luasnya meliputi Belgia dan Luxemburg saat ini. Kalau becandaan dosen Bahasa Belanda saya sih itu karena mereka malas ngupdate buku sejarah :D

Bersama teman-teman beasiswa Encompass berkunjung ke Brugge, salah satu kota terkaya dan tercantik dalam sejarah Belgia klasik (yang dulunya bagian dari Belanda).

Dari sebuah nama, kita bisa menemukan banyak sekali cerita!

Leiden,
24 Oktober 2014
15:12

Monday, October 6, 2014

Leidens Ontzet 2014

Satu lagi hal yang sama-sama mengingatkan saya akan Yogyakarta dari Leiden adalah: selain fakta bahwa keduanya adalah kota pelajar, dua-duanya juga ternyata merupakan kota perjuangan. Di Indonesia, banyak orang yang lupa bahwa Monumen Serangan Umum 1 Maret yang merupakan bukti perjuangan rakyat Yogyakarta dalam menegakkan kedaulatan Republik Indonesia sejatinya adalah salah satu ikon utama kota ini, selain tentu saja Kraton Kasultanan Ngayogyakarta dan Malioboro. Nah, Leiden pun bagi anda yang menyukai sejarah seharusnya tidak hanya dikenal sebagai kota pelajar saja. Peran Leiden dalam perang kemerdekaan melawan penjajahan Spanyol amatlah besar. Leiden turut mengambil andil penting bagi masa depan negara ini, termasuk atas perubahan haluan keagamaan serta sekularisasi kehidupan di Belanda.

Di Leiden, setiap tanggal 3 Oktober orang-orang memperingati hari yang dikenal dengan nama Leidens Ontzet atau Bevrijding. Leidens Ontzet ialah hari kemerdekaan kota Leiden dari penjajahan Spanyol pada tahun 1574, setahun sebelum Universiteit van Leiden didirikan. Leidens Ontzet adalah hari libur lokal (bukan nasional), dimana seluruh instansi pemerintahan dan sekolahan tutup. Sejak tanggal 2 Oktober, seluruh umat manusia yang berada di Leiden sudah tak fokus lagi untuk beraktifitas karena dari depan Leiden Centraal hingga lapangan terbuka Rondvart, jalanan dipenuhi oleh kedai-kedai pasar malam (kermis atau lunapark) berikut beragam wahana permainan (roller coaster, ferris wheel hingga rumah hantu).

Baru kali ini lihat Rapenburg diselimuti kabut bak di film-film horor :D
Pagi tanggal 3 Oktober, Leidens Ontzet dimulai oleh upacara penyerahan ikan haring dari nelayan kepada walikota Leiden, sebuah simbolisasi atas peristiwa yang terjadi di abad ke-16. Konon pasca mundurnya tentara Spanyol, kota Leiden yang selama berbulan-bulan dikepung kekurangan bahan makanan sehingga banyak penduduknya yang mati. Oleh karena itu, ketika pasukan pembebasan yang dipimpin oleh Boisot masuk ke kota, hal yang pertama kali mereka lakukan adalah memberikan ikan haring dan roti putih (wit broodje) kepada Baron van de Werf, walikota Leiden saat itu. Setelah upacara simbolik penyerahan haring, acara dilanjutkan dengan paduan suara di taman van de Werf yang letaknya tepat berada di seberang Fakultas Hukum Universiteit van Leiden. Puncak dari perayaan Leidens Ontzet ialah pawai yang berlangsung dari depan Gemeentehuis (balaikota) di Breestraat hingga ke sekitar Rapenburg saat tengah hari. Nah, malamnya, Leidens Ontzet ditutup oleh kemeriahan kembang api (vuurwerk dalam bahasa lokal) di area pelabuhan yang dekat dengan gerbang kota lama, Zijlsingel. Kemeriahan ini tentu saja ala Belanda, dimana banyak orang yang mabuk-mabukan hingga selonjoran di tengah jalan raya.

Dosen kami, Rene, sedang menjelaskan tentang sejarah Leidens Ontzet di taman Van de Werf
Tahun ini saya amat beruntung karena berkesempatan untuk merayakan 3 Oktober bersama dengan sesama teman-teman program Encompass dan juga dosen Bahasa Belanda saya yang baik hati, Rene Wezel. Di tengah pagi nan masih buta berselimutkan kabut dan udara dingin, Rene membawa kami berkeliling Leiden dan menujukkan tempat-tempat bersejarah yang berkaitan dengan peristiwa Leidens Ontzet. Anda bayangkan, meskipun peristiwa telah terjadi 440 tahun yang lalu, namun bangunan tua yang menjadi saksinya masih tegap berdiri hari ini. Ini kontras sekali dengan apa yang terjadi di kota asal saya, Makassar. Di Makassar, bangunan-bangunan tua malah diluluhlantakkan, diganti oleh mall-mall dan ruko-ruko. Aaah... seandainya di Indonesia kita juga memiliki banyak bangunan tua yang terpelihara dengan baik sebagai saksi atas sejarah perkembangan bangsa kita.

taptoe alias pawai Leidens Ontzet
3 Oktober memiliki kesan yang berarti bagi saya. Tidak hanya bahwa rasa cinta saya terhadap kota ini yang bertambah besar, namun saya juga mendulang banyak sekali inspirasi darinya. Kesan pendidikan dan perjuangan (baik di Yogyakarta maupun di Leiden) seharusnya merupakan sebuah dwitunggal yang tak terpisahkan. Menurut saya pelajar sejatinya adalah seorang pejuang juga. Bukan hanya bagi kepentingan akademis atau pribadinya semata, namun pejuang bagi bangsanya. Pelajar, bagaikan ikan haring dan roti putih, adalah simbol dari kesederhanaan yang pada hakikatnya amatlah kaya. Ia menjadi harapan karena memberi makan bagi yang lapar, dan memuaskan keingintahuan bagi yang terbelenggu kedahagaan. Semoga banyak teman-teman yang dapat mengambil hikmah dari perayaan 3 Oktober kemarin dan mentransformasikannya sebagai semangat untuk menuntut ilmu dan berjuang bagi kemajuan tanah airnya.



Yang penasaran akan detail sejarah Leidens Ontzet, silakan ke website ini -->  http://3october.nl/




Salam hangat dari Leiden yang mendung,
6  Oktober 2014
12:15