Friday, April 22, 2011

Meluruskan “Selamat Natal”, “Selamat Paskah” di Indonesia– Pemahaman Mayoritas yang Jadi Dilema


Pada bulan Desember tahun 2007, untuk pertama kalinya dalam hidup saya merayakan Natal. Saat itu sebagai seorang pelajar SMA dari negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam seperti Indonesia, Amerika di mata saya adalah negara yang begitu kompleks masyarakatnya serta menjunjung kebebasan di atas segala-galanya. Negara ini adalah tempat yang mendudukkan saya pada posisi minoritas; seorang remaja muslim berkulit gelap dari sebuah negara Dunia Ketiga di Asia. Natal pun menjadi sebuah hal yang unik ketika saya dihadapkan dan “dipaksa untuk sadar” atas keberadaan hari raya ini sebagai sebuah perayaan nasional yang begitu besar, mengalahkan apresiasi serta antusiasme warga Amerika terhadap perayaan hari besar agama saya, Islam.


Di tempat saya dibesarkan, ada segelintir orang dengan pandangan konservatif yang menegaskan keharaman bagi seorang muslim untuk mengucapkan “Selamat Natal” maupun selamat hari raya lainnya kepada umat Kristen atau pemeluk agama-agama non-Islam pada umumnya. Dikatakan bahwa dengan mengucapkan selamat hari raya kepada mereka yang berbeda keyakinan, secara tidak langsung orang yang mengucapkan selamat tersebut telah mengingkari keesaan Allah dan kebenaran Islam sebagai sebuah agama yang haq. Hal ini kemudian oleh mereka disenadakan dengan ayat dalam surah Al-Kafirun, “untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. Ujung-ujungnya karena adanya kesalahpahaman seperti ini, di negri yang pluralis seperti Indonesia sekalipun perayaan Natal setiap tahun merupakan sebuah jurang pemisah atas kaum yang dominan dan minoritas. Yang lagi ngetrend belakangan ini adalah aksi radikal yang mengatasnamakan suatu agama tertentu dalam setiap teror bom mereka di tempat-tempat ibadah.


Pandangan yang kaku tersebut hidup dan menjadi “kepercayaan” dikalangan masyarakat awam. Saya tidak bohong jika dulu (sebelum tinggal di Amerika dan memahami bagaimana perasaan kaum minoritas di tengah beranekaragamnya golongan di muka bumi) saya termasuk salah satu dari anak kecil yang tumbuh dengan rasa berjengit atas ucapan “Selamat Natal”. Mengapa? Lugasnya karena memang saya tidak merayakan hari raya tersebut. Orang akan menegur jika ada seorang penganut ajaran Nabi Muhammad memberikan selamat hari raya kepada seorang non-Islam. Ironis sekali jika mengaca pada sejarah. Agama Kristen merupakan agama yang dibawakan oleh Yesus dari Nazareth hampir 2.000 tahun yang lalu. Keberadaan orang-orang Kristen bukanlah sesuatu yang asing di tengah masyarakat muslim di seluruh dunia. Yesus sendiri dikenal dalam tradisi Islam sebagai Isa Al-Masih, seorang nabi besar yang mewartakan kedatangan Nabi Muhammad dan memperbaharui legasi Musa alaihissalam. Kisah mengenai kelahiran Yesus (Nativity) yang menjadi topik sentral dalam perayaan Natal bahkan dikisahkan oleh Al-Quran, sabda dari Allah Tuhan Semesta Alam dengan begitu indahnya.


Di salah satu ayat dalam surah Maryam, terdapat kalimat yang berbunyi “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali." Ayat tersebut merupakan rekaman atas peristiwa berbicaranya Isa Al-Masih yang saat itu masih berada di dalam gendongan ibunya kepada orang-orang yang memfitnah Maryam atas tuduhan berzina. Secara spesifik Nabi Isa memohonkan agar kiranya hari kelahiran, hari meninggal, dan hari kebangkitannya kembali dipenuhi oleh salam dan kesejahteraan. Apabila Isa sendiri sebagai salah seorang yang dekat dengan Tuhan memohonkan limpahan kesejahteraan di hari kelahirannya, mengapa kita mengunci bibir dan menolak untuk mengucapkan salam kesejahteraan di hari kelahiran ataupun hari kenaikan Isa Al-Masih? Terlepas dari kontroversi mengenai tanggal perayaan Natal yang sebenarnya maupun anggapan sebagian orang terhadap pengultusan Isa, yang terpenting adalah niat dan tujuan baik demi persatuan kita semua dalam keluarga besar Ibrahim.


Di Amerika, saya belajar bahwa dengan mengesampingkan ego dan fanatisme lah kita dapat bergandengan tangan dan menjembatani perbedaan. Saya terkejut sekaligus terkesima ketika seorang teman di sekolah tiba-tiba datang menghampiri dan mengucapkan”Selamat Natal!” kepada saya dengan entengnya. Ia tidak tahu bahwa saya adalah seorang muslim. Yang Ia tahu hanya bahwa di Amerika Serikat perayaan Natal tidak hanya terkait dengan agama tertentu saja. Natal maupun Easter (hari raya Paskah) di sana merupakan sebuah perayaan bangsa yang disemarakkan oleh semua orang, terlepas dari ras, budaya, maupun agama apa Ia berasal. Amerika sebagai sebuah ‘nation’ merayakan hari besar nasional mereka yang disebut Natal itu. Saya terkejut ketika diajak untuk menghias pohon Natal, memilih kado, dan ketika mereka dengan lugunya menawari saya kotak-kotak kue dan coklat. Tidak pernah terpikir sebelumnya hal yang sifatnya ‘umum’ seperti itu ada, ketika pada saat yang bersamaan otak saya dipenuhi oleh hal-hal ‘khusus’ serupa sakramen atau misa di gereja.


Sebagai seorang manusia yang memiliki akal dan hati nurani, saya tidak akan menolak untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani. Argumentum a contrario-nya adalah saya sebagai seorang muslim tentu senang apabila ada orang yang mengucapkan “Selamat Idul Fitri” atau“Selamat Idul Adha” dari orang lain. Pun sebagai seorang muslim tidak ada larangan untuk menyebarkan salam damai di hari kelahiran Isa Al-Masih yang namanya disanjung-sanjung oleh Quran dan hadis Nabi. Mengapa saya tidak melakukannya kepada orang lain juga, terlebih lagi jika ternyata dengan mengucapkannya saya telah berkontribusi dalam mewujudkan kesepahaman di antara agama-agama Ibrahim?


Hari ini, tanggal 22 April 2011. Saya menyaksikan lewat dunia maya bagaimana generasi muda Indonesia yang berpikiran terbuka dan berjiwa lapang telah mampu menyikapi perbedaan serta berani mengambil pilihan mereka sendiri. Beragam ucapan “Selamat Paskah” berbentuk SMS, kartu atau lewat kalimat-kalimat di facebook dan twitter disampaikan tidak hanya dari seorang penganut Kristen yang satu kepada yang lain. Bahkan mereka yang non-Kristen pun turut mengirimkan salam kesejahteraan tersebut.


Indonesia, negri yang bermoto “Bhinneka Tunggal Ika” (versi lain dari U Pluribus Unum-nya Amerika Serikat) menjamin kebebasan bagi setiap warganya untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Jaminan tersebut tertuang di dalam pasal 29 UUD 1945 (Konstitusi Dasar Indonesia). Jika secara legal negara menghargai setiap kepercayaan yang dianut oleh penduduknya, membiarkan mereka beribadah dan beraktifitas, maka kini giliran masyarakat Indonesia itu sendiri untuk memahami substansi dari pasal 29 serta pengaplikasiannya pada kehidupan sehari-hari. Dua agama Ibrahim yang hidup berdampingan di Indonesia ini harus memberi contoh pada dunia akan arti penting toleransi melalui perbuatan nyata. Momentum kelahiran maupun peristiwa yang dialami sosok yang dianggap penting di tradisi kedua agama ini adalah saat tepat bagi kita untuk belajar.


Kepada teman-temanku di Indonesia, Amerika, dan di seluruh dunia, selamat Hari Raya Paskah 2011!



Muhammad Ahlul Amri Buana

Alumni Program Youth Exchange & Study (YES) di Amerika Serikat (2007-2008)

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Indonesia

Thursday, April 14, 2011

When God Said: "No!"

I got this beautiful yet so inspiring piece of poetry from kak Asmir Agoes on AFS Bina Antarbudaya alumni group. Then I decided to put it on my blog. Enjoy it :)

When I asked God
to take away My habit.
God said, No.
It is not for me to take away,
But for you to give it up.
I asked God
to make my handicapped child whole.
God said, No.
His spirit is whole,
his body is only temporary.
I asked God
to grant me patience.
God said, No.
Patience is a byproduct of tribulations;
It isn't granted,
it is learned.
I asked God
to give me happiness.
God said, No.
I give you blessings;
Happiness is up to you.
I asked God to spare me pain.
God said, No.
Suffering draws brings you closer to me.
I asked God
to make my spirit grow.
God said, No.
You must grow on your own,
but I will prune you
to make you fruitfull.
I asked God
for all things
That I might enjoy life.
God said, No.
I will give you life,
So that you may enjoy all things.
I asked God
to help me LOVE others,
as much as He loves me..
God said...
Ahhhh, Finally you have the idea.
If you love God,
THIS DAY IS YOURS
DON'T THROW IT AWAY
May God Bless You,
'To the world you might be one person,
But to one person you just might be the world'
'May the Lord Bless you and keep you,
May the Lord Make his face shine upon you,
And give you Peace.......
Forever'
Amen.

Friday, April 1, 2011

Kabar dari YES Abroad Selection 2011 Denver, Colorado


Sebenarnya ketika mendarat di Denver International Airport pada tanggal 18 Maret 2011, kami berempat -delegasi YES Alumni dari Indonesia- masih belum mendapatkan gambaran yang jelas akan peran kami di YES Abroad Selection Event. Nancy Levine, Program Manager untuk kegiatan YES Alumni hanya mengatakan bahwa kami memiliki andil besar pada rangkaian terakhir dari acara yang kami ikuti ini. Beliau mengisyaratkan bahwa nanti di Denver kami harus aktif dalam setiap kegiatannya serta menjadi role model terhadap ke-74 siswa SMA dari berbagai penjuru Amerika Serikat. Kenyataannya, kewajiban kami lebih besar dari yang kami bayangkan sebelumnya.

Beberapa YES Alumni yang menjadi Evalutor: (from left) Louie - Indonesia, Fatihah - Seattle/USA, B - Egypt, Alaine - Seattle/USA, Boom - Thailand


Setelah dibriefing oleh Darrin Smith-Gaddis dan Allen Evans dari kepanitian YES Abroad Selection, barulah kami sadar akan tugas dan peranan kami di camp ini. Para peserta Training for Trainers yang seluruhnya berjumlah duapuluh dua orang alumni program YES dari berbagai angkatan dibagi menjadi dua kubu besar. Kubu yang pertama ialah para evaluator yang memiliki wewenang untuk menjadi pewawancara pada proses interview serta memberikan penilaian eksternal terhadap ke-74 siswa tersebut di dalam menjalankan tugas-tugas mereka. Adapun kubu yang kedua terdiri dari para group leader yang fungsinya sebagai pemandu, pemimpin, pengamat, serta teman sharing siswa-siswa tersebut. Pada kesempatan itu saya dipilih untuk menjadi group leader kelompok lima yang terdiri dari enam orang anak perempuan.

Menjadi group leader bagi enam orang anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah Amerika Serikat bukanlah pekerjaan yang mudah. Saya memposisikan diri tidak sebagai seseorang yang lebih tua (karena memang pada dasarnya di dalam kebudayaan Amerika Serikat hierarki kurang begitu signifikan). Awalnya, saya agak kesulitan memanage diri sebagai seorang leader mengingat keenam anak tersebut dipenuhi oleh semangat besar serta antusiasme persaingan yang tinggi untuk "memperebutkan" limapuluh kursi beasiswa ke negara peserta YES (Indonesia, salah satunya). Tapi akhirnya setelah mempelajari pola hubungan melalui kerjasama yang timbul dalam grup, saya dapat memposisikan diri setara dengan mereka namun pada saat yang bersamaan juga menjadi tutor yang tidak menggurui.


Para finalis seleksi II YES Abroad 2011


Proses interview merupakan pertunjukan utama pada seleksi tahap kedua ini. Disela-selanya, panitia mengadakan workshop yang berkaitan dengan leadership serta sharing budaya antara negara-negara YES dengan para siswa untuk memperdalam pemahaman mereka akan kebiasaan serta cara hidup di negara yang akan mereka tuju. Selain itu diselipkan pula beberapa evaluasi dalam bentuk game atau tugas baik secara individu maupun per kelompok. Sebagai contoh, pada hari pertama ketika group leader bertemu dengan team untuk pertama kali, para siswa ditugasi untuk bekerja sama membuat sebuah menara tinggi berbekal alat-alat sederhana. Bahan-bahannya antara lain terdiri dari sedotan, marshmallow, gelas kertas, selotip, gunting, dan karton. Sebenarnya simpel, hanya saja mereka diwajibkan untuk tidak boleh berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan kepada satu sama lain. Hal-hal yang menarik dan lucu pun terjadi sepanjang aktifitas ini berlangsung. Salah satu team karena saking berambisinya untuk membuat menara tertinggi bahkan sampai menempelkan ujung menara dari sedotan mereka ke lampu gantung di tengah ruangan. Meskipun berhasil menjadi menara tertinggi, ternyata meja yang dinaiki oleh salah satu siswa untuk menempelkan ujung menaranya oleng dan jatuh. Pemenang dari aktifitas tersebut adalah grup yang berhasil menciptakan menara melalui koordinasi yang tepat sehingga dasarnya kuat, stabil, dan tinggi.

Overall, pengalaman selama YES Abroad Selection ternyata tidak hanya berguna bagi para siswa, namun kami selaku YES Alumni dari berbagai negara pun mendapatkan banyak cerita serta inspirasi. Meskipun hanya dua hari kami berkecimpung dengan team masing-masing serta tidak sempat berkenalan dengan setiap siswa, keakraban yang terjalin membuat suasana selama proses seleksi berlangsung begitu informal. Hanya saja perlu saya tambahkan bahwa perubahan-perubahan jadwal di tengah acara yang dilakukan oleh panitia terkesan begitu mendadak. Dalam beberapa hal juga panitia terlihat kurang sigap menghadapi kondisi-kondisi yang tidak diinginkan. Harapan saya adalah semoga tahun depan YES Abroad Selection dapat lebih termanage dengan baik mengingat betapa krusialnya kegiatan seleksi ini demi kelangsungan intercultural learning.


Salam hangat,





Muhammad Ahlul Amri Buana
YES Alumni 2007-2008