Thursday, November 28, 2013

Catching Fire, Imaji Hindia dan Orientalisme

Ketika menonton Hunger Games: Catching Fire, apa yang terlintas di benak teman-teman sekalian? Kejahatan Presiden Snow; tantangan berbahaya yang harus dihadapi oleh Katnis Everdeen dan Peeta Mellark; negara Panem yang diambang keruntuhan; atau bahaya demi bahaya yang mengancam di tengah persaingan buta untuk menyelamatkan nyawa sendiri di Quarter Quell? Well, kalau saya yang ditanya akan pertanyaan serupa, refleks saya jawab: film yang penuh dengan simbologi orientalisme!
Nah lho, kok ada orientalisme segala? Begini ceritanya.

Orang Barat di Abad Pertengahan -ketika mereka baru saja terbebas dari kegelapan selama seribu tahun dan sedang marak-maraknya menjadi “humanis”- memandang Hindia (baca: Nusantara, Kepulauan Indonesia sebelum menjadi NKRI) sebagai tempat yang menyenangkan, sarangnya petualangan besar, sekaligus... menyeramkan. McGrane dalam Beyond Anthropology, Society and the Other berkata bahwa masyarakat yang hidup di era Renaissance melihat orang yang bukan Eropa dalam konteks saleh dan dosa berdasarkan konsep keKristenan. Menurut mereka, masyarakat dan kebudayaan di luar Eropa (yang belum menerima keimanan Kristiani) berada di dalam kuasa setan. Akan tetapi, perspektif ini tidak bertahan lama. Booming “Ketimuran” segera muncul di benua tersebut, tepatnya selama abad-abad eksplorasi. Ketika orang-orang Eropa telah berani mengembangkan layar menyusuri lautan untuk mencari jalan langsung menuju Kepulauan Rempah-Rempah yang legendaris itu (jalan laut menjadi pilihan mereka demi mendapatkan rempah-rempah setelah Perang Salib dimulai. Permusuhan dengan dunia Islam menjadikan Jalur Sutra daratan bukan lagi pilihan utama dalam perdagangan global), maka ide-ide tentang kawasan Timur yang eksotis dan misterius pun turut terbawa oleh angin laut ke jalan-jalan sempit dan berlumpur Eropa.

Saking populernya Hindia di dalam imajinasi Eropa, seorang pengarang Prancis bernama Honore de Balzac –yang bahkan sekalipun dalam hidupnya belum pernah menginjakkan kaki di atas kapal– membuat  roman menarik mengenai perjalanan khayalnya ke Tanah Jawa. Ia menulis:
Semua kenikmaan itu bertemu: perempuan Jawa, bunga-bunga, burung-burung, wewangian, matahari, udara, puisi yang memasukkan seluruh jiwa ke dalam tiap makna, membuatku berkata sejak kepulanganku dari Hindia. Berbahagialah mereka yang mati di Jawa...
            Berlebihan? Tidak, jika Anda adalah seorang Prancis yang hidup di tahun 1832. Saat itu “Demam Hindia” tengah melanda Benua Biru, pulau Jawa menjadi ikon perpaduan semua kesenangan dan misteri dari Timur. Akan tetapi, tidak selamanya “Demam Hindia” ini berdampak positif terhadap reputasi Nusantara. Sebuah tempat asing yang jauh dengan iklim yang hangat, beragam tumbuhan menyembul dari permukaan tanah serta air yang segar tentunya terlihat menyenangkan jika Anda berasal dari Eropa yang beku dan kaku. Akan tetapi, sebuah tempat asing yang sama, jauh dari rumah yang nyaman tentunya juga membangkitkan rasa was-was, prasangka, dan paranoia. De Molins yang berlayar ke Hindia pada Januari 1858 menggambarkan perasaannya:
Kesan liar pada orang-orang tersebut muncul dari gerakan mereka yang seperti kucing, perilaku yang malu-malu, sorot yang terpancar dari mata yang sehitam batuara, perubahan raut muka, bahasa mereka yang tidak dapat kami cerna, semua membuat saya heran bercampur dengan sedikit rasa ngeri. Saya merasa seperti ditelantarkan di wilayah timur yang misterius ini, di batas akhir peradaban. Di sini tidak ada apa pun dari Eropa maupun dari Prancis... Di sana orang lebih dilindungi oleh norma hukum yang damai dan norma adat-istiadat, sedangkan di sini yang berkuasa adalah naluri alamiah, tipu-muslihat halus, rasa dendam, benci dan cemburu.
            Wow, bayangkan apa yang dicitrakan oleh wartawan Prancis ini tentang orang-orang Hindia dari kontak pertamanya dengan mereka. Tidak, ia bahkan belum berinteraksi dengan pedagang-pedagang Melayu yang berjualan sayuran di atas perahu ini, ia hanya melihat mereka dari kejauhan, dari atas kapal Nicolas saat mereka hendak merapat di Batavia! Melalui pandangan pertama tersebut, ia telah mampu membuat sebuah rangkuman mengenai sifat dan pembawaan manusia Hindia yang kelak akan dibaca oleh ribuan orang Prancis di majalah traveling Le Tour de Monde. Bahan-bahan sejarah bernuansa orientalisme dan poskolonialisme ini jelas berbahaya karena tidak benar-benar menggambarkan situasi masyarakat dan alam Hindia yang sesungguhnya. Sayangnya, cerita-cerita tersebut terlanjur tersebar ke berbagai penjuru Eropa dan Amerika, sehingga stereotype terhadap daerah tropis yang dikepung oleh lautan pun menjelma dalam impian-impian terliar mereka.
Gambaran tentang Jawa, koleksi Tropenmuseum
            Catching Fire adalah salah satu contoh terbaik yang memamerkan imaji Barat terhadap Timur nan misterius dan dangerous. Mengapa lokasi permainan saling-bunuh antara para pemenang Hunger Games dilaksanakan di sebuah hutan hujan tropis? Jawabannya karena imaji akan Timur yang berbahaya itu masih terus terwariskan melalui DNA sastra dan pop-kultur Barat. Ada quote dari karakter bernama Johanna yang kurang lebih menggambarkan ketakutan orang-orang Barat terhadapnya misteri yang tersimpan di balik kerimbunan hutan hujan tropis:
“Mengapa kita tetap bertahan di pantai? Karena berada di tepi pantai jauh lebih aman dari pada berada di tengah hutan.”
            Pernyataan tersebut seakan-akan melegetimasi pandangan nenek moyang kulit putihnya dulu yang pertama kali berlayar mengarungi lautan dan terkejut menyaksikan hutan hujan tropis yang kelebatannya bahkan membuat sinar matahari susah untuk tembus. Musibah demi musibah yang diderita oleh para pemenang Hunger Games dari berbagai generasi ini juga menampilkan secara tepat ketakutan masyarakat Eropa Abad Pertengahan terhadap Timur. Bahaya-bahaya seperti: 

kesulitan air tawar; kabut beracun yang menyebabkan penyakit kulit; serangan monyet raksasa pada malam hari; petir yang menyambar pepohonan besar berulang kali; gelombang laut yang mematikan; serta burung-burung hitam yang membawa suara-suara orang yang mereka kasihi jelas, merupakan perumpamaan atas: ketakutan orang Eropa awal terhadap sumber-sumber air di Hindia yang dianggap tidak bersih; penyakit kulit daerah tropis (gatal-gatal, kudis, kurap, panu); binatang khas setempat (imajinasinya selalu monyet karena di Eropa sana tidak ada monyet. Ingat nggak kalau dalam film King Kong kera raksasa itu juga asalnya dari Sumatera?); badai tropis yang mematikan (El Nino, La Nina, Yolanda, dll.); tsunami; dan suara burung-burung yang seperti suara manusia sebagai metafora gejala depresi sebagai impak dari keterasingan berada di tempat yang tidak menyenangkan.


            Way to go, Hunger Games. Pengarangnya cerdas karena dapat memadukan unsur-unsur yang telah mengendap lama dalam tradisi mereka itu dengan amat halus. Saya penasaran, kira-kira citra Hindia macam apalagi ya yang akan muncul di film-film Hollywood pada masa yang akan datang? Kita sudah kenyang dengan eksotisme Bali melalui “Eat, Pray, Love” serta betapa jagonya Densus 88 dalam menghabisi gembong narkoba yang banyak bersarang di Indonesia lewat “The Raid”. Sejauh ini prestasi Indonesia di Hollywood baru nampak dari sisi eksotis dan barbariknya sahaja. Semoga apapun itu nanti, pencitraannya tidak dipengaruhi oleh unsur-unsur macam orientalisme dan poskolonialisme ya. Film harus diakui adalah salah satu senjata paling efektif untuk merubah perspektif seseorang terhadap sesuatu.