Friday, August 29, 2014

Kejutan Tengah Tahun: Makassar International Writers Festival 2014 dan Leiden Universiteit’s Colonial and Global History.



Judulnya kali ini tidak hanya cukup panjang namun juga amat deskriptif. April hingga Juli harus saya akui sebagai bulan-bulan terpadat dari tahun ini sekaligus bulan-bulan yang amat penuh dengan kejutan!

Awalnya begini. Bulan Januari tahun ini saya dan Ran melaunching novel kami yang berjudul The Extraordinary Cases of Detective Buran. Novel tersebut sebenarnya tercipta dari keisengan kami semata dan hanya untuk konsumsi pribadi. Akan tetapi setelah dipikir-pikir, saya berinisiatif untuk membagi isi cerita petualangan dunia karakter fiksi yang kami ciptakan itu ke orang-orang banyak. Apalah hakikat sebuah tulisan jika tidak untuk dibagi dan dibaca oleh banyak orang, bukan? Saya pun memaksa Ran agar ia mau segera merampungkan cerita yang ia buat. Benar, memaksanya. Soalnya waktu itu posisinya saya akan berangkat untuk KKN ke Pulau Selayar yang akses internetnya serba terbatas. Saat itu saya berupaya meyakinkan Ran agar novel kami di self publish pada sebuah penerbitan dunia maya bernama nulisbuku.com. Akan tetapi karena suatu dan lain hal, rencana kami terbengkalai. Fokus saya pun terpecah; menyelesaikan skripsi dan persiapan team La Galigo Music Project pentas ke Belanda.

Singkat cerita, naskah yang sudah jadi itu tersimpan rapi di dalam peti es ketidakpastian selama beberapa dekade hingga akhirnya program La Galigo Goes to The Netherlands selesai dengan manis. Saat pulang ke Makassar, kak Sawing dari Kedai Buku Jenny menawarkan agar novel tersebut diterbitkan secara indie oleh Kedai Buku Jenny. Terus terang itu adalah sebuah tawaran yang unik dan sesuai dengan visi kami. Kami ingin agar buku ini dapat dinikmati oleh publik sekaligus sebagai stimulator perkembangan industri kreatif, utamanya di kota asal kami tercinta. Tidak ada yang lebih oke selain diterbitkan oleh sebuah gerakan indie asli kota tersebut, bukan? Dalam hitungan minggu setelah kontrak ditandatangani, novel kami pun terbit. Launching pertama di Kedai Buku Jenny pula (cek TKP http://kedaibukujenny.blogspot.com/2014/02/dua-kawan-dua-petualangan.html).

Beberapa bulan setelah novel kami rilis, The Extraordinary Cases of Detective Buran telah menemukan dirinya berada di berbagai pelosok tanah air melalui pemesanan online hingga Belanda (pesanan kak Daus dan kak Dodo di Leiden, kak Sunarti Tutu di The Hague serta Bu Betty yang menyumbangkan 1 eksemplar ke perpustakaan KITLV). Di tengah euforia tersebut, kami mendengar kabar akan adanya seleksi untuk Penulis Kawasan Timur Indonesia di Makassar International Writers Festival. Dengan penuh keisengan maksimal dan semangat nothing to lose, Ran pun mendaftarkan novel ini. Kehendak Tuhan, setelah sekian lama kami mendapatkan kabar bahwa karya kami diterima dan kami pun menjadi salah 2 dari 6 orang penulis undangan! Siapa yang tidak senang jika dapat duduk bersanding bersama nama-nama papan atas yang telah malang-melintang di dunia literatur Indonesia? 

6 Penulis Undangan Kawasan Indonesia Timur 2014: (dari kiri ke kanan) Pringadi Abdi, Saddam Husein, Louie Buana, Ran Jiecess, Amaya Kim, Ama Achmad
Ada Pak Peter Carey penulis buku tentang Pangeran Diponegoro, kak Ridwan Alimuddin yang pakar di bidang jelajah tulis-menulis maritim tradisional, kak Krishna Pabhicara yang novel dan puisi-puisinya termashyur, stand up comedian Andi Gunawan, kak Luna Vidya dan kak Lily Yulianti Farid yang namanya beken di dunia jurnalistik serta literatur Indonesia Timur, seniman Landung Simatupang, sutradara Riri Riza dan masih banyak lagi. Momen di saat saya dan Ran diundang ke atas panggung untuk membacakan beberapa paragraf dari The Extraordinary Cases of Detective Buran di hadapan seluruh mata yang hadir di Fort Rotterdam malam itu menurut saya adalah one of the bestest moment in my life. Yang penasaran gimana serunya acara kemarin, bisa tengok ke sini --> http://www.alineatv.com/2014/06/miwf2014-suara-suara-dari-indonesia-timur/

Lalu, bagaimana kisahnya sehingga saya yang seharusnya melanjutkan kuliah di Erasmus School of Law Rotterdam tiba-tiba end up di Faculty of Humanities-nya Universiteit Leiden untuk belajar Sejarah? Nah. Setelah diterima oleh Erasmus, saya iseng-iseng membuka website Leiden University. Pengalaman La Galigo Music Project di kota ini kemarin amat tak terlupakan. Saya ingin kembali ke sana lagi! Kalau bisa untuk belajar Sejarah atau Antropologi, dua bidang ilmu yang saya amat impi-impikan sayangnya belum terwujud. Di saat yang sama saya juga tidak ingin membuang 4 tahun pengalaman merengkuh gelar Sarjana Hukum dengan percuma begitu saja. Iklim multidispliner Indonesia yang masih miskin dan sempit menurut saya perlu dientaskan. Sekat-sekat perlu hilang demi kemanfaatan bangsa kita sendiri. Siapa bilang sih kalau Sejarah itu membosankan atau tidak sepenting Hukum? Sebuah program beasiswa bernama Encompass yang saya lihat di situs Leiden University (dimana program ini mewadahi segala bidang ilmu sosial untuk belajar sejarah kolonial) pun menjadi pilihan yang menggiurkan.
8 dari 11 orang Encompass scholars terpilih untuk angkatan 2014 berpose bersama dengan 2 orang alumni dan Marijke van Wissen, asisten koordinator program
Singkat cerita, di tengah gempuran hujan abu Jogja, saya mengirimkan berkas via email ke koordinator Encompass di Indonesia yaitu Bapak Bambang Purwanto dari UGM. Bulan April 2014 saya dihubungi untuk proses wawancara. Terus terang saat itu saya amat minder karena saingan saya yang lain berlatarbelakang ilmu Sejarah dan Sosiologi. Proses menanti pengumuman Encompass terus terang terasa menyakitkan karena saya sempat jatuh sakit (saudara Ryjan saksinya) saking gugupnya. Saya adalah mahasiswa SH pertama yang mendaftar ke program ini, dan alhamdulillah juga yang pertama kali melolosinya. Rasanya sungguh ingin terbang ke langit, mengetuk pintu-pintu surga dan menciumi malaikat-malaikat cherubim (karubiyyun) satu per satu! Setelah meminta izin kepada Dekan dan boss saya di kampus, tawaran untuk S2 di Erasmus saya undur ke tahun 2015 agar dapat fokus dengan program Cosmopolis (Encompass) di Universiteit Leiden selama setahun. Subhanallah, benar kata peribahasa itu: sekali mendayung dua-tiga pulau bisa terlampaui!

 Apa kira-kira hikmah menarik dari kejutan-kejutan di tengah tahun 2014 ini?

Jangan pernah meremehkan cita-citamu sendiri! Mungkin kemarin dan hari ini tidak, tapi di masa depan akan ada banyak jalan yang terbuka jika niatmu benar-benar tulus dan tekadmu benar-benar kuat. Hargai setiap pilihan yang ada, dan jangan pernah tinggi hati. Terkadang sesuatu yang besar dan tak masuk akal justru terwujud dari biji kacang polong mini yang dijatuhkan oleh Jack dari saku celana usangnya. Siapa sangka dalam tahun ini saya dapat menerbitkan buku dan belajar Sejarah di Leiden University?

"You have to dream before your dreams can come true."
A.P.J. Abdul Kalam

Friday, August 22, 2014

Leiden Berhati Nyaman

Jadi, ntah dari mana saya harus memulainya. Yang jelas selama beberapa bulan sejak awal tahun 2014 ada terlalu banyak kejutan dalam hidup saya. Kejadian demi kejadian menakjubkan silih berganti saya alami sendiri. Salah satunya seperti saat ini: saya sedang selonjoran di atas kasur sambil mengupdate blog dari apartemen mahasiswa di Smaragdlaan, Leiden, Belanda.

Leiden lagi?

Saya pun tidak menyangka jika akan bersua dengan Leiden secepat ini. Kota yang penuh kenangan oleh perjuangan La Galigo Music Project pada bulan desember lalu. Kota yang membuat saya yakin bahwa tidak ada yang mustahil untuk ditempuh di dunia. Segalanya hanya perkara waktu. Bisa cepat, bisa juga lambat. Kota yang membuat saya masih punya keyakinan terhadap kemanusiaan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Sekarang hari keempat saya di Leiden. Udara Belanda yang seharusnya (masih) riap-riap dengan semangat musim panas ternyata menipu kami semua. Hujan dingin turun tiap hari dengan frekuensi yang berbeda-beda dan durasi yang sempit. Bisa saja lima menit yang lalu langit cerah dan matahari bersinar terang, lalu saat ini mendung menyerang dengan tiupan angin yang menyakitkan. Sungguh, cuaca Leiden saat ini bak seorang remaja pancaroba yang hidupnya penuh drama!

Berhubung jarak dari apartemen Smaragdlaan ke kampus (Gedung Lipsius, Faculty of Humanities Universiteit Leiden) cukup jauh, maka saya dihadiahi sebuah sepeda oleh Dr. Firdaus Hamid, penolong kami nan baik hati pada episode yang lalu. Sepeda tuanya yang dianggurkan selama setengah tahun itu kemudian saya perbaiki. Dengan sepeda itulah petualangan besar saya menapaki kenangan-kenangan lama dan menemukan lorong-lorong baru dimulai.

Setiap hari saya dibuat merinding melintasi Sungai Rijn yang mengalir dari jantungnya di Swiss dan Jerman, menembus gerbang bergaya Romawi kuno di Arsenaalstraat menuju Lipsius yang ternyata letaknya bersebelahan dengan KITLV dan berseberangan dengan Leiden University Library. Setiap hari, selama menjalani kuliah matrikulasi Bahasa Belanda untuk para akademisi Encompass, mata saya menatap Leiden University Library dari jendela. Saya tidak pernah menyangka, sungguh, jika jarak saya dengan NBG 188 (naskah La Galigo terpanjang di dunia) itu hanya selemparan batu setelah pertemuan pertama kami yang menakjubkan di musim dingin 2013.


Ada tempat-tempat dan teman-teman baru yang saya temukan di Leiden Jilid II ini. Peterskerk dan Latin Quarter-nya. English Gate yang ternyata adalah asylum atas leluhur pendiri Amerika Serikat.  Fakultas Indologi di jalan Rapenburg yang dulunya adalah tempat belajar Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Taman Hortus Botanicus yang tak mungkin terwujud tanpa bibit-bibit tanaman tropis yang dibawa VOC. Serta De Academie universitas baru saya ini yang rupa-rupanya menyimpan patung seorang ilmuwan asal Indonesia. Tiap hari Leiden tak kering oleh kejutan. Lorong-lorongnya yang (sepertinya) sudah saya jelajahi oleh kaki dan roda sepeda ternyata bagaikan labirin yang selalu menyiapkan kisah-kisah seru.

Singkat kata, tak henti-hentinya saya bersyukur kepada Tuhan atas nikmat yang telah ia berikan kepada saya. Kemarin sore saat berkunjung ke kamar seorang kawan Encompass dari Thailand dan Cina (namun berkuliah di Tel Aviv dengan jurusan Studi Timur Tengah serta punya nama Arab "Yusuf"!) bersama Neilabh dari India, perbincangan kami mulai mengalir dari Soeharto ke Sriwijaya, ke ISIS, ke konflik Israel-Palestina, ke komunitas Tionghoa Makassar bahkan sampai ke tradisi sufi di Gujarat. Kami menghabiskan waktu berjam-jam hingga malam (yang masih terang-benderang karena musim panas) tanpa merasa letih karena terus bicara. Saat itulah saya merasa bahwa dahaga intelektual yang selama ini bingung kemana rimbanya untuk dipuaskan akhirnya terpenuhi. Di sinilah tempatnya. Leiden adalah tempatnya. Iklim intelektualnya didukung oleh multikulturalisme yang dibawa oleh beragam manusia dari berbagai penjuru dunia. Belum lagi kebaikan hati Marijke dan Esther, program koordinator saya yang amat sangat perhatian dan penuh dukungan. Saya bersyukur karena dipilihkan oleh-Nya untuk belajar di sini, sungguh.

*Meskipun hingga saat ini saya masih bete karena bagasi yang nyasar entah kemana itu hingga sekarang belum dikirim-kirim juga oleh KLM

Hujan dingin boleh kamu turun di Leiden
Menyapu mentari musim panas yang lebat terangnya
Tapi jangan pikir kau kan mampu menyapu
Hasrat akan ilmu yang kubawa dari Indonesia
karena akan kukantongi seluruhnya, kubawa pulang
Dan kubagi-bagikan kepada para pendemo di pinggir jalan

Smaragdlaan,
22 Agustus 2014

Monday, August 11, 2014

Tentang 1826

Suatu hari di apartemen Riverpark, kota kecil Athens, Ohio saat daun-daun mulai berguguran dan diri ini tengah kangen-kangennya dengan makanan Indonesia, saya dijamu oleh dua orang malaikat penolong bernama Nelly Martin dan Mila. Kak Nelly berasal dari Jakarta sedangkan kak Mila yang pernah mengikuti studi ke Australia sebelumnya berasal dari Gorontalo. Sebagai sesama perantau Indonesia di Amerika Serikat, saat itu status saya adalah seorang siswa pertukaran pelajar di Athens High School sementara kedua kakak yang saya kagumi tersebut sedang melanjutkan studi sebagai mahasiswa di Ohio University. Di sela-sela menyantap ayam kecap yang dimasak oleh keduanya, mengalirlah cerita-cerita masa lalu dari pengalaman hidup mereka yang memang jauh lebih banyak daripada saya. Anak SMA yang saat itu baru berumur 16 tahun ini pun duduk manis dengan mata berbinar, mulut sibuk mengunyah dan telinga siap mendengar bait-bait kenangan yang mereka lantunkan kembali.

Kak Nelly yang saat itu berstatus sebagai seorang pengantin baru mengisahkan bagaimana pertemuannya dengan sang suami yang adalah teman SMA-nya juga. Sambil sekali-sekali tersipu malu sendiri, ia bercerita bagaimana dirinya yang dulu bersuara lantang ini dapat menjalin kisah cinta dengan seorang anak remaja mesjid yang juga berbagi tanggal lahir yang sama dengannya. Kami tertawa-tawa siang itu, tidak hanya karena kisahnya yang unik namun juga karena gaya kak Nelly mendeskripsikan kejadian demi kejadian dengan serunya. Berbulan-bulan kemudian di saat kota Athens semakin ramai dengan kedatangan kakak-kakak pelajar Indonesia lainnya, kak Nelly yang selalu jadi pusat perhatian ini dijuluki sebagai tukang lenong, bukan sebagai ejekan namun sebagai apresiasi karena keunikannya dalam ber-storytelling.

Enam tahun kemudian, di bulan Mei saya berjalan keluar dari toko buku Gramedia Ambarrukmo Plaza seraya menggenggam sebuah buku. Buku itu berjudul 1826, pengarangnya bernama Nelly Martin. Saat membuka halaman demi halaman dan tenggelam di antara baris kata-katanya, saya pun tersenyum. Kisah yang serupa tapi tak sama dari seorang Nelly kini terhadir kembali di dunia Kelly.

Review 1826:

1826 berkisah tentang pengalaman seorang gadis muda bernama Kelly yang mengejar cita-citanya untuk bersekolah di Amerika Serikat. Kelly yang penuh ambisi demi mempersiapkan segala sesuatunya untuk belajar ke luar negeri terpaksa harus mendapat pukulan keras dengan kehilangan sang ayah yang amat ia cintai empat hari setelah keberangkatannya. Ia berjuang melawan kesedihan tersebut di tengah lingkungan, cuaca dan budaya baru yang acapkali menimbulkan salah pengertian. Di tengah-tengah kesibukan studi serta kehidupan pertemanannya di Ohio University, tiba-tiba seseorang dari masa lalu Kelly hadir kembali. Kelly dipaksa untuk berhadapan dengan berbagai macam pertimbangan dan pria-pria lainnya yang menunjukkan ketertarikan sebelum akhirnya memutuskan kepada siapa hatinya akan berlabuh.

Buku ini ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran yang dirasakan oleh Kelly terpapar jelas bagi pembaca. Dunia yang dilihat pun adalah dunia lewat mata Kelly yang digambarkan secara deskriptif; detail terkait ruangan kantor, kampus, teman-teman serta kota Athens yang ia tinggali terasa begitu hidup.Keunikan dari novel ini di tengah kumpulan novel-novel lain yang bercerita tentang kehidupan pelajar Indonesia di luar negeri maupun dilema kisah cinta yang bersemi di negara dengan empat musim terletak pada kekuatan penarasian Kelly. Nelly Martin berani keluar dari bayang-bayang Andre Hirata yang mengobral mimpi sebagai senjata sakti pelajar kampung dari Belitong untuk berkeliling dunia atau karya semi relijius Man Jadda Wa Jadda-nya Ahmad Fuadi. Meskipun berkisah mengenai pengalaman hidup dan belajar di negeri Paman Sam, Nelly tidak menonjolkan sisi tersebut sebagai fokus utama penceritaannya, ia malahbermain-main dengan kegalauan hati tokoh Kelly dalam menentukan pasangan dan sekali-sekali membuat pembaca iri oleh suguhan deskripsi Ohio University. Kisah cinta yang dijalin juga terbilang unik karena tidak biasa, tidak klise atau mendayu-dayu namun apa adanya. Sekilas gaya Nelly bertutur mirip para penulis muda teenlit yang berapi-api, namun dengan aksen yang lebih dewasa. Novel ini pada saat yang bersamaan juga menekankan arti penting spiritualitas sebagai motor penggerak kehidupan manusia. Misteri hidup-mati, jodoh, dan rezeki yang menjadi sentra karya ini mengajarkan kita hikmah dalam setiap keterbatasan kemampuan dan takdir-takdir mengejutkan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Beberapa hal yang kurang sreg bagi pembaca atas novel ini terletak pada repetisi momentum maupun kalimat yang terkadang menggantung. Meskipun tidak mengganggu isi novel, namun dari segi kebahasaan mengurangi sedikit unsur estetikanya. Terlepas dari semua itu, novel ini layak dibaca.

Kak Nelly, selamat atas kelahiran 1826 :)