Friday, August 22, 2014

Leiden Berhati Nyaman

Jadi, ntah dari mana saya harus memulainya. Yang jelas selama beberapa bulan sejak awal tahun 2014 ada terlalu banyak kejutan dalam hidup saya. Kejadian demi kejadian menakjubkan silih berganti saya alami sendiri. Salah satunya seperti saat ini: saya sedang selonjoran di atas kasur sambil mengupdate blog dari apartemen mahasiswa di Smaragdlaan, Leiden, Belanda.

Leiden lagi?

Saya pun tidak menyangka jika akan bersua dengan Leiden secepat ini. Kota yang penuh kenangan oleh perjuangan La Galigo Music Project pada bulan desember lalu. Kota yang membuat saya yakin bahwa tidak ada yang mustahil untuk ditempuh di dunia. Segalanya hanya perkara waktu. Bisa cepat, bisa juga lambat. Kota yang membuat saya masih punya keyakinan terhadap kemanusiaan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Sekarang hari keempat saya di Leiden. Udara Belanda yang seharusnya (masih) riap-riap dengan semangat musim panas ternyata menipu kami semua. Hujan dingin turun tiap hari dengan frekuensi yang berbeda-beda dan durasi yang sempit. Bisa saja lima menit yang lalu langit cerah dan matahari bersinar terang, lalu saat ini mendung menyerang dengan tiupan angin yang menyakitkan. Sungguh, cuaca Leiden saat ini bak seorang remaja pancaroba yang hidupnya penuh drama!

Berhubung jarak dari apartemen Smaragdlaan ke kampus (Gedung Lipsius, Faculty of Humanities Universiteit Leiden) cukup jauh, maka saya dihadiahi sebuah sepeda oleh Dr. Firdaus Hamid, penolong kami nan baik hati pada episode yang lalu. Sepeda tuanya yang dianggurkan selama setengah tahun itu kemudian saya perbaiki. Dengan sepeda itulah petualangan besar saya menapaki kenangan-kenangan lama dan menemukan lorong-lorong baru dimulai.

Setiap hari saya dibuat merinding melintasi Sungai Rijn yang mengalir dari jantungnya di Swiss dan Jerman, menembus gerbang bergaya Romawi kuno di Arsenaalstraat menuju Lipsius yang ternyata letaknya bersebelahan dengan KITLV dan berseberangan dengan Leiden University Library. Setiap hari, selama menjalani kuliah matrikulasi Bahasa Belanda untuk para akademisi Encompass, mata saya menatap Leiden University Library dari jendela. Saya tidak pernah menyangka, sungguh, jika jarak saya dengan NBG 188 (naskah La Galigo terpanjang di dunia) itu hanya selemparan batu setelah pertemuan pertama kami yang menakjubkan di musim dingin 2013.


Ada tempat-tempat dan teman-teman baru yang saya temukan di Leiden Jilid II ini. Peterskerk dan Latin Quarter-nya. English Gate yang ternyata adalah asylum atas leluhur pendiri Amerika Serikat.  Fakultas Indologi di jalan Rapenburg yang dulunya adalah tempat belajar Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Taman Hortus Botanicus yang tak mungkin terwujud tanpa bibit-bibit tanaman tropis yang dibawa VOC. Serta De Academie universitas baru saya ini yang rupa-rupanya menyimpan patung seorang ilmuwan asal Indonesia. Tiap hari Leiden tak kering oleh kejutan. Lorong-lorongnya yang (sepertinya) sudah saya jelajahi oleh kaki dan roda sepeda ternyata bagaikan labirin yang selalu menyiapkan kisah-kisah seru.

Singkat kata, tak henti-hentinya saya bersyukur kepada Tuhan atas nikmat yang telah ia berikan kepada saya. Kemarin sore saat berkunjung ke kamar seorang kawan Encompass dari Thailand dan Cina (namun berkuliah di Tel Aviv dengan jurusan Studi Timur Tengah serta punya nama Arab "Yusuf"!) bersama Neilabh dari India, perbincangan kami mulai mengalir dari Soeharto ke Sriwijaya, ke ISIS, ke konflik Israel-Palestina, ke komunitas Tionghoa Makassar bahkan sampai ke tradisi sufi di Gujarat. Kami menghabiskan waktu berjam-jam hingga malam (yang masih terang-benderang karena musim panas) tanpa merasa letih karena terus bicara. Saat itulah saya merasa bahwa dahaga intelektual yang selama ini bingung kemana rimbanya untuk dipuaskan akhirnya terpenuhi. Di sinilah tempatnya. Leiden adalah tempatnya. Iklim intelektualnya didukung oleh multikulturalisme yang dibawa oleh beragam manusia dari berbagai penjuru dunia. Belum lagi kebaikan hati Marijke dan Esther, program koordinator saya yang amat sangat perhatian dan penuh dukungan. Saya bersyukur karena dipilihkan oleh-Nya untuk belajar di sini, sungguh.

*Meskipun hingga saat ini saya masih bete karena bagasi yang nyasar entah kemana itu hingga sekarang belum dikirim-kirim juga oleh KLM

Hujan dingin boleh kamu turun di Leiden
Menyapu mentari musim panas yang lebat terangnya
Tapi jangan pikir kau kan mampu menyapu
Hasrat akan ilmu yang kubawa dari Indonesia
karena akan kukantongi seluruhnya, kubawa pulang
Dan kubagi-bagikan kepada para pendemo di pinggir jalan

Smaragdlaan,
22 Agustus 2014

No comments: