Suatu hari di apartemen Riverpark, kota kecil
Athens, Ohio saat daun-daun mulai berguguran dan diri ini tengah
kangen-kangennya dengan makanan Indonesia, saya dijamu oleh dua orang malaikat
penolong bernama Nelly Martin dan Mila. Kak Nelly berasal dari Jakarta
sedangkan kak Mila yang pernah mengikuti studi ke Australia sebelumnya berasal
dari Gorontalo. Sebagai sesama perantau Indonesia di Amerika Serikat, saat itu
status saya adalah seorang siswa pertukaran pelajar di Athens High School
sementara kedua kakak yang saya kagumi tersebut sedang melanjutkan studi
sebagai mahasiswa di Ohio University. Di sela-sela menyantap ayam kecap yang
dimasak oleh keduanya, mengalirlah cerita-cerita masa lalu dari pengalaman
hidup mereka yang memang jauh lebih banyak daripada saya. Anak SMA yang saat
itu baru berumur 16 tahun ini pun duduk manis dengan mata berbinar, mulut sibuk
mengunyah dan telinga siap mendengar bait-bait kenangan yang mereka lantunkan
kembali.
Kak Nelly yang saat itu berstatus sebagai seorang
pengantin baru mengisahkan bagaimana pertemuannya dengan sang suami yang adalah
teman SMA-nya juga. Sambil sekali-sekali tersipu malu sendiri, ia bercerita
bagaimana dirinya yang dulu bersuara lantang ini dapat menjalin kisah cinta
dengan seorang anak remaja mesjid yang juga berbagi tanggal lahir yang sama
dengannya. Kami tertawa-tawa siang itu, tidak hanya karena kisahnya yang unik
namun juga karena gaya kak Nelly mendeskripsikan kejadian demi kejadian dengan
serunya. Berbulan-bulan kemudian di saat kota Athens semakin ramai dengan
kedatangan kakak-kakak pelajar Indonesia lainnya, kak Nelly yang selalu jadi
pusat perhatian ini dijuluki sebagai tukang lenong, bukan sebagai ejekan namun
sebagai apresiasi karena keunikannya dalam ber-storytelling.
Enam tahun kemudian, di bulan Mei saya berjalan
keluar dari toko buku Gramedia Ambarrukmo Plaza seraya menggenggam sebuah buku.
Buku itu berjudul 1826, pengarangnya bernama Nelly Martin. Saat membuka halaman
demi halaman dan tenggelam di antara baris kata-katanya, saya pun tersenyum.
Kisah yang serupa tapi tak sama dari seorang Nelly kini terhadir kembali di
dunia Kelly.
Review 1826:
1826 berkisah tentang pengalaman seorang gadis muda
bernama Kelly yang mengejar cita-citanya untuk bersekolah di Amerika Serikat. Kelly
yang penuh ambisi demi mempersiapkan segala sesuatunya untuk belajar ke luar
negeri terpaksa harus mendapat pukulan keras dengan kehilangan sang ayah yang
amat ia cintai empat hari setelah keberangkatannya. Ia berjuang melawan
kesedihan tersebut di tengah lingkungan, cuaca dan budaya baru yang acapkali menimbulkan
salah pengertian. Di tengah-tengah kesibukan studi serta kehidupan pertemanannya
di Ohio University, tiba-tiba seseorang dari masa lalu Kelly hadir kembali. Kelly
dipaksa untuk berhadapan dengan berbagai macam pertimbangan dan pria-pria
lainnya yang menunjukkan ketertarikan sebelum akhirnya memutuskan kepada siapa
hatinya akan berlabuh.
Buku ini ditulis menggunakan sudut pandang orang
pertama. Perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran yang dirasakan oleh Kelly terpapar
jelas bagi pembaca. Dunia yang dilihat pun adalah dunia lewat mata Kelly yang
digambarkan secara deskriptif; detail terkait ruangan kantor, kampus,
teman-teman serta kota Athens yang ia tinggali terasa begitu hidup.Keunikan
dari novel ini di tengah kumpulan novel-novel lain yang bercerita tentang
kehidupan pelajar Indonesia di luar negeri maupun dilema kisah cinta yang
bersemi di negara dengan empat musim terletak pada kekuatan penarasian Kelly. Nelly
Martin berani keluar dari bayang-bayang Andre Hirata yang mengobral mimpi
sebagai senjata sakti pelajar kampung dari Belitong untuk berkeliling dunia
atau karya semi relijius Man Jadda Wa Jadda-nya Ahmad Fuadi. Meskipun berkisah
mengenai pengalaman hidup dan belajar di negeri Paman Sam, Nelly tidak
menonjolkan sisi tersebut sebagai fokus utama penceritaannya, ia malahbermain-main
dengan kegalauan hati tokoh Kelly dalam menentukan pasangan dan sekali-sekali
membuat pembaca iri oleh suguhan deskripsi Ohio University. Kisah cinta yang
dijalin juga terbilang unik karena tidak biasa, tidak klise atau mendayu-dayu
namun apa adanya. Sekilas gaya Nelly bertutur mirip para penulis muda teenlit
yang berapi-api, namun dengan aksen yang lebih dewasa. Novel ini pada saat yang
bersamaan juga menekankan arti penting spiritualitas sebagai motor penggerak
kehidupan manusia. Misteri hidup-mati, jodoh, dan rezeki yang menjadi sentra
karya ini mengajarkan kita hikmah dalam setiap keterbatasan kemampuan dan takdir-takdir
mengejutkan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Beberapa hal yang kurang sreg bagi pembaca atas
novel ini terletak pada repetisi momentum maupun kalimat yang terkadang
menggantung. Meskipun tidak mengganggu isi novel, namun dari segi kebahasaan
mengurangi sedikit unsur estetikanya. Terlepas dari semua
itu, novel ini layak dibaca.
Kak Nelly, selamat atas kelahiran 1826 :)
No comments:
Post a Comment