Alkisah, cerita asli Sleeping Beauty tidak seperti yang didongengkan kepada kita selama
ini. Putri Aurora yang malang dan
dikutuk untuk mengalami tidur panjang bagaikan
maut itu sebenarnya ialah korban atas kesalahan masa lalu sang ayah.
Maleficent, seorang peri hutan yang tadinya baik hati berubah menjadi jahat
demi melampiaskan kekesalannya atas pengkhianatan cinta yang dilakukan oleh
sang raja. Akan tetapi di akhir cerita, Maleficent yang terus mengamati Aurora
tumbuh berkembang menjadi seorang gadis yang penuh cinta justru
memutuskan untuk menarik kembali kutukannya. Tidak hanya itu, ia juga menyelamatkan Aurora dari
kejahatan ayahnya sendiri.
Demikianlah kira-kira rangkuman atas film
“Maleficent” yang dirilis oleh Disney beberapa minggu lalu. Angelina Jolie yang
memerankan Maleficent di film ini berhasil membawakan karakter peri hutan yang
amat berkuasa namun rapuh dari segi perasaan. Maleficent ditipu oleh seorang
pemuda desa yang berambisi untuk menjadi raja. Sayap Maleficent yang indah
menjadi korban atas niat jahat lelaki yang ia cintai itu. Sayap Maleficent ini di mata saya sejatinya merupakan simbolisasi dari
trofi atau piala kemenangan sebagai bukti kejantanan laki-laki dalam
menaklukkan energi alam yang dianggap liar dan tak beradab. Bukan cerita
baru, wanita dijajah pria itu sudah hadir di tengah-tengah dunia sejak dulu
kala.
Sentra utama dongeng yang ditampilkan dalam wajah
baru ini sebenarnya ada pada sisi si karakter utama: Maleficent. Maleficent,
tidak seperti yang diyakini oleh banyak orang selama ini, tidak berniat untuk
mencelakai Aurora hanya karena dirinya tidak diundang ke jamuan makan pembaptisan
sang putri. Maleficent di sini merupakan
simbolisasi dari perempuan yang terluka, dipaksa untuk tunduk pada dunia
patriarki yang tidak mengharapkan figur perempuan untuk tampil di tatanan
sosial masyarakat. Perempuan harus didomestikasi, dalam film ini
disimbolkan melalui “pengebirian” sayap indah Maleficent.
Ada kisah menarik tentang sosok perempuan yang “dikebiri”
sayapnya oleh Orde Baru dan diantagoniskan, persis seperti Maleficent ini.
Namanya Salawati Daud. Jika anda tanya siapa dia hari ini, hampir seluruh suara
akan langsung mengarah kepada satu kata “PKI!” atau “Gerwani!”. Ya, Salawati
Daud memang merupakan seorang aktifis PKI di era 50-an. Ia bahkan turut serta
dalam embrio yang kelak akan melahirkan perkumpulan Gerwani bersama Umi Sardjono. Pasca peristiwa
G.30/S meletus, Salawati Daud yang saat itu menjadi anggota DPR digelandang
oleh tentara keluar gedung parlemen untuk kemudian dijebloskan ke Penjara Bukit
Duri. Sejak saat itu nama Salawati Daud bagaikan sebuah nista. Ia dihapus dari dokumen-dokumen sejarah dan
dilupakan perannya sebagai tokoh awal pemberdayaan wanita di republik ini.
Salawati Daud ialah seorang perempuan Bugis dari
Sulawesi Selatan. Kebudayaan Bugisnya mengajarkan Salawati untuk menjadi
seorang perempuan yang tangguh, mitra setara lelaki yang sepadan, bukan sekedar
pelengkap hidup semata. Sudah mengalir di dalam kultur Sulawesi Selatannya
bahwa perempuan seperti halnya laki-laki bebas untuk mengekspresikan opini di
hadapan publik. Sejak tahun 1930 ia aktif menentang kekuasaan kolonial
Belanda di tanah air. Ia yang juga anggota Perserikatan Celebes bersama dengan
Nadjamoeddin Daeng Malewa, Lindoe Marsajit, Th. Lengkong dan Nyonya Lumenta
mendirikan Perhimpunan Perguruan Rakyat Selebes (PPRS) dengan tujuan memajukan
pendidikan bagi masyarakat pribumi. Tercatat,
Salawati juga merupakan seorang pionir perlawanan perempuan di bidang pers, ia
mendirikan majalah Wanita pada tahun 1945 serta menjadi direksi majalah Bersatu yang saat itu adalah bacaan
laris.
Mental baja Salawati yang senantiasa menuntut keadilan bergejolak ketika pasukan NICA memasuki tanah air pasca kemerdekaan. Ia mengobarkan semangat gerilya dengan berkeliling daerah di Sulawesi Selatan serta memimpin sendiri perlawanan ke sebuah tangsi polisi di Masamba (saat ini ibukota Kabupaten Luwu Utara). Salah satu prestasi terbesar Salawati ialah saat ia ditunjuk sebagai Walikota pertama kota Makassar di tahun 1949. Dengan demikian, Salawati merupakan walikota perempuan pertama di Indonesia. Salawati Daud juga seorang tokoh mediator yang berusaha meredam ambisi Kahar Muzakkar saat hendak menggulingkan pemerintah Indonesia dengan gerakan DI/TII-nya. Suaminya yang seorang pejabat pemerintah di Maros amatlah mendukung aktifitas-aktifitas sang istri.
Mental baja Salawati yang senantiasa menuntut keadilan bergejolak ketika pasukan NICA memasuki tanah air pasca kemerdekaan. Ia mengobarkan semangat gerilya dengan berkeliling daerah di Sulawesi Selatan serta memimpin sendiri perlawanan ke sebuah tangsi polisi di Masamba (saat ini ibukota Kabupaten Luwu Utara). Salah satu prestasi terbesar Salawati ialah saat ia ditunjuk sebagai Walikota pertama kota Makassar di tahun 1949. Dengan demikian, Salawati merupakan walikota perempuan pertama di Indonesia. Salawati Daud juga seorang tokoh mediator yang berusaha meredam ambisi Kahar Muzakkar saat hendak menggulingkan pemerintah Indonesia dengan gerakan DI/TII-nya. Suaminya yang seorang pejabat pemerintah di Maros amatlah mendukung aktifitas-aktifitas sang istri.
Pada tahun 1955, ia melanjutkan perjuangannya
menyuarakan hak-hak sipil wanita ke Senayan dengan menjadi anggota DPR. Sayangnya, berbeda dengan Opu Daeng Risaju,
Andi Depu dan Emmy Saelan yang menerima penghargaan dari rakyat Sulawesi
Selatan sebagai pejuang-pejuang wanita, nama Salawati Daud tenggelam dalam
dongeng-dongeng yang dihembuskan oleh pemerintah akan kejahatan ideologi
komunisme di masa Orde Lama. Persis seperti Maleficent. Kita hanya
mengenangnya dari logo Palu dan Arit yang dicitrakan jahat seperti iblis. Ia dikebiri oleh dunia lelaki Orde Baru, tidak hanya didomestikasi namun juga didemonisasi.
Satu hal lagi pelajaran moral yang saya dapat dari film Maleficent adalah:
kebenaran, sebagaimana pula kejahatan, memiliki dua sisi. Terkadang kita
terlalu awam untuk lekas menjatuhkan putusan “ini benar” atau “ini salah”. Ada
banyak kisah yang melatari kenyataan mengapa sebuah peristiwa dapat terjadi.
Kisah-kisah dan dongeng-dongengan lama mungkin perlu kita tilik ulang kembali.
Siapa tahu ada Maleficent-Maleficent dan Salawati-Salawati lainnya yang
terselip kepahitan zaman di antara belenggu-belenggu perjuangan. Malang, sebagai manusia kita cenderung bermain
Tuhan. Kita tak dapat menerima ketakbersalahan seseorang, namun anehnya
mengumbar-umbar ketarbersalahan diri kita sendiri meski telah terbukti kalah.
Selamat berakhir pekan, selamat menunaikan ibadah
puasa. Jangan lupa menggunakan hak pilih anda dengan bijaksana di TPS terdekat
tanggal 9 Juli 2014.
Yogyakarta,
5 Juli 2014
1 comment:
Blogger yang baik,
Terima kasih atas artikel ini. Saya terharu karena artikel ini mengungkapkan masalah adanya ketdak adilan. konkritnya dalam menilai seorang insan Salawati Daud.
Seorang Salawati yang telah berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya, telah berani mempertaruhkan nyawa untuk itu, yang sangat mencintai bangsa, rakyat dan kaumnya perempuan Indonesia. Apakah orang seperti ini boleh dilupakan, dihapuskan dari sejarah Nusantara?
Memang, di negeri tercinta ini KEADILAN dan KEJUJURAN masih perlu terus diperjuangkan!
Post a Comment