memandangi puing-puing peradaban lama serta pusat-pusat perbelanjaan dunia
berdesakan bersama para peziarah Katolik dan buruh-buruh migran Filipina di dalam bus kota
menyisiri jalanan berbatu yang tak rata, bergoyang ke kanan, terdesak ke kiri
menyerahkan nasib ke supir-supir lokal yang tak mengerti bahasa Inggris dengan aksen kami
menerka-nerka apakah pemberhentian terakhir ada di stasiun Termini
Aku ke Vatikan, bukan di Italia, tapi di dalam Roma
berselimutkan dinginnya malam, dengan kaki dan punggung yang lelah
duduk di lapangan batu San Pietro menunggu dengan pasrah
saat bel basilika didentangkan berkali-kali, pertanda Paus akan segera memulai misa
kami berlari terbirit-birit ke depan pintu utama, setelah tiga jam akhirnya pagar dibuka
Jemaat berbagai bangsa berebut duduk di shaf terdepan yang disediakan
di dalam pelukan Sang Ibu Gereja, bendera-bendera negara asal mereka kibar-kibarkan
Penuh khidmat karena semua terjadi begitu tiba-tiba, tapi juga mengundang tawa
Aku pun pergi ke Firenze, sebelum ke Roma, masih di Italia
berkunjung ke rahim Renaissance yang menginspirasi seluruh Eropa
Mekkah-nya seniman-seniman terbaik yang dikenang dalam cerita-cerita
aku berziarah ke makam Galileo, Dante, Michelangelo dan Macchiaveli
menyaksikan di patung-patung, lukisan-lukisan dan gedung-gedung kebesaran keluarga Medici
takluk pula aku dalam haru, sungguh, berkunjung ke kampung Leonardo Da Vinci ini
menapaki setapak dan menyusuri lorong-lorong tempat mereka dulu berjalan kaki
memandangi aliran Arno serta mendaki bukit Poggi
Roma adalah hutan
Firenze adalah telaga
Dan aku masih haus
Aku masih ingin bermain-main di belantara
Menanti misa dimulai di depan Basilika Santo Petrus |
Makam Galileo Galilei, Basilica Santa Croce, Florence |
Leiden, 29 Desember 2014
No comments:
Post a Comment