Ceritanya, alhamdulillah saya diterima untuk melanjutkan sekolah di Erasmus School of Law, Erasmus University. Universitas tertua ketiga di Belanda ini terletak di kota Rotterdam (saya juga baru ngecek kalau ternyata Erasmus University ini bulan November kemarin 'berulang-tahun' yang ke 100, berdiri sejak 1913), dimana dulunya Bapak Proklamator kita, Bung Hatta pernah mengenyam pendidikan Ilmu Ekonomi. Bung Hatta yang setelah belajar di sana, balik ke Indonesia, dan kemudian mencetuskan sistem koperasi. Ya, siapa yang nggak seneng sih. Sekolah hukumnya masuk peringkat 10 menurut Social Science Research Network (SSRN) 2013. Pesaing-pesaing untuk memperebutkan bangku di sekolah ini juga lumayan gila. Bayangkan, tahun 2011 kemarin Erasmus University dibanjiri 20.941 orang pelamar dari seluruh dunia. Bandingkan dengan UGM yang tahun ini membuka diri kepada 45.000 pelamar dan hanya menerima 3.316 orang saja. #promosi #almamater Awesome. Oke, cukup sudah pamernya. Paragraf ini sengaja didedikasikan untuk luapan kegembiraan serta kebanggaan saya pribadi hehehe.
Di Erasmus School of Law nanti saya rencananya akan belajar International and European Public Law. Cukup menyimpang dari jalur saya yang sebenarnya lebih fokus ke Hukum Kekayaan Intelektual (dimana kalau di UGM masuk ke dalam kategori Hukum Bisnis). Lalu apa sebabnya sehingga saya kemudian banting setir ke Hukum Internasional. Jawabannya, selain karena fakta bahwa Erasmus School of Law tidak punya program khusus terkait HAKI, adalah karena saya ingin memanfaatkan kesempatan belajar di Belanda ini untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Saya adalah seorang pelajar yang multidispliner -atau setidaknya saya ingin menjadi seperti itu. Kesukaan saya terhadap ilmu-ilmu bahasa, sejarah, antropologi terkadang dipandang sebelah mata oleh rekan-rekan ilmu hukum lainnya. Apalagi jika sudah nyerempet-nyerempet ke budaya dan adat, obrolan yang mengasyikkan hanya dapat saya temukan pada beberapa orang saja. Tidak semua orang peduli atau merasa penting dengan bahasan yang saya anggap menarik. Dianggap kuno, padahal menurut saya memandang hukum sebagai ilmu yang berdiri sendiri tanpa mencari kaitannya dengan cabang ilmu lain itu lah yang kuno, sudah nggak zamannya lagi. Hukum sebagai alat untuk menjamin keadilan, kepastian dan kemanfaatan di tengah masyarakat, mengabaikan diri dari mempelajari unsur-unsur yang seharusnya ia lindungi bagi saya adalah kesalahan fatal. Mendalami hukum lingkungan berarti harus faham dengan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan, demikian pula jika ingin mendalami hukum bisnis, harus paham betul dengan logika ekonomi serta perkembangan dunia bisnis.
Saya memutuskan untuk mengambil International and European Public Law karena saya memandang diri ini sebagai bagian dari sebuah masyarakat dunia yang melekat dengan akar tradisional. Isu-isu terkait budaya Indonesia tidak bisa cuma dilihat dari tempurung lokal saja, hari ini globalisasi menciptakan banyak jaringan yang menghubungkan seluruh penduduk dunia dalam "rumah yang sama". Demikian juga ketika kita membahas persoalan terkait masyarakat adat, sejauh apakah dunia internasional yang jago merumuskan ini-itu -yang konon demi kesejahteraan golongan ini- paham dengan situasi akar-rumput di negara-negara dunia ketiga? Riset seperti apa yang mereka gunakan untuk membela kepentingan masyarakat yang hidupnya bergantung kepada alam yang terus-menerus dieksploitasi, dan yang beragam ekspresi seninya dirampok habis-habisan melalui komersialisasi, dan yang pada saat itu juga nilai-nilai kearifan lokalnya digerus oleh industrialisasi budaya pop Barat?
Belanda, negeri yang unik. Tidak saja karena ribuan khazanah peradaban Nusantara terawat dengan baik di sana, namun juga karena di mata dunia internasional Belanda menjadi tuan rumah atas ICJ yang terkenal itu. Ribuan kasus masuk ke Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag, didiskusikan, dicari-cari solusinya. Sampai sejauh mana kah perspektif Desa Adat di Bali yang berhadapan dengan hukum nasional serta kepentingan pemodal asing terdengar di sana? Sampai sejauh apakah pemahaman mereka tentang pentingnya "laut ulayat" bagi masyarakat Suku Bajo yang daerah hidupnya dirampok serta trayek pelayarannya disabotase oleh pemerintah Australia? Ya, itu semua memang berada di luar yurisdiksi ICJ, akan tetapi saya ingin menyaksikan secara langsung sejauh apakah concern terkait isu-isu ini disentuh, dibicarakan, serta dibuatkan putusannya.
Saya ingin belajar dan terus berkembang. Karena itu demi memenuhi kualitas diri sekaligus memposisikan diri saya sebagai manusia yang peduli dengan manusia lainnya, saya memutuskan untuk berangkat ke Erasmus School of Law. Seorang pemuda dari kota Benteng Fort Rotterdam yang berkelana mencari ilmu di kota Rotterdam. Doakan, semoga banyak inspirasi yang saya temukan di sana untuk menciptakan petualangan kreatif lainnya di Bumi Nusantara.
Rahayu, kurruq sumangaq!
Yogyakarta,
29 Maret 2014