Bertahun-tahun yang
lalu, sewaktu masih duduk di bangku kelas 2 SD Madrasah Ibtidaiyyah An-Nur
Kampung Alor, Dili (Timor-Timur) rasa penasaran telah menggerakkan saya untuk
mengambil sebuah buku tebal dari lemari putih Bapak di ruang TV. Buku itu
berjudul Ihya’ Ulumuddin karangan Imam Al Ghazali. Saat itu saya baru saja
lancar membaca, sudah dapat memahami kalimat-kalimat yang sedikit panjang.
Mungkin karena jenuh dengan buku bergambar dan komik (Doraemon Petualangan di
Dunia Mimpi, Sailor Moon seri yang berwarna dan Dragon Pigmario merupakan
manga-manga pertama saya) Ihya’ Ulumuddin pun menjadi buku pertama yang saya
jadikan latihan “membaca serius”.
Ternyata kegiatan ini
diketahui dan didukung oleh Bapak. Tidak hanya mengizinkan untuk membaca Ihya’
Ulumuddin, ia bahkan menunjukkan sebuah buku tebal berjudul Sejarah Muhammad
karya Muhammad Husain Haikal. Buku biografi tentang Nabi Muhammad ini amat
terkenal karena memposisikan beliau sebagai seorang manusia dengan pandangan
yang obyektif dan jalur pencitraan yang lepas dari nuansa religius. Buku itu
menarik sekali, dan terus terang merupakan perjumpaan pertama saya dengan Nabi
Muhammad melalui jalur tulisan (sebelumnya saya hanya mendengar kisah-kisah
beliau melalui tradisi lisan yang diteruskan oleh guru ngaji serta guru agama
di madrasah ibtidaiyyah). Membaca langsung mengenai Nabi Muhammad dalam
figurnya sebagai seorang lelaki, suami, dan ayah dari anak-anaknya membuat saya
dekat dengan beliau. Bahkan imaji terhadap sosok beliau sebagai manusia biasa
jauh menempel lebih kuat ketimbang imaji manusia suci yang disodor-sodorkan
oleh guru-guru agama.
Anyway, novel pertama yang saya baca ialah Goosebumps
berjudul Mesin Tik Hantu. Meskipun bukan merupakan serial Goosebumps yang
paling oke, novel ini tetap punya kenangan istimewa di dalam kehidupan saya,
karena inilah untuk pertama kalinya saya bisa baca buku ‘keren’. Saat berusia 7
tahun, Goosebumps sedang booming-boomingnya. Booming ini juga menjangkiti kedua
orang kakak saya. Akan tetapi karena dianggap masih terlalu kecil untuk
memahami ceritanya yang ‘remaja’ maka saya hanya diperbolehkan untuk membaca
komik. Goosebumps membantu memperkaya imajinasi saya. Termasuk novel favorite
saya selanjutnya, Harry Potter. Novel Harry Potter pertama yang saya baca ialah
jilid keduanya, Harry Potter and the
Chamber of Secret. Saat itu kami sekeluarga telah hijrah dari Dili ke kota
Lubuk Sikaping, usia saya 10 tahun. Saya pertama kali mengetahui informasi tentang
Harry Potter dari newsletter Gramedia
Junior yang dikirimkan setiap tiga bulan sekali (dan selalu terlambat seminggu
lebih). Keren sekali rasanya ketika membaca resensi Harry Potter. Sayangnya
untuk pergi ke Gramedia di kota Padang berarti saya harus naik mobil selama 4
jam melewati jalanan yang berliku-liku di kanan-kiri jurang dan tak jarang membuat orang mabuk kendaraan. Itulah yang
kemudian membuat saya amat menghargai Harry Potter serta buku-buku lainnya yang
saya beli di Padang. Akses serta derita jarak yang sulit mendorong saya untuk
benar-benar mencintai serta mengkaji buku-buku tersebut.
Membaca naskah La Galigo edisi Middelburg. Tidak hanya buku bacaan, saya pun tergila-gila dengan naskah kuno semenjak Lontara Project berdiri tahun 2011 silam. |
Hari ini saya bersyukur
sekali mendapatkan kemudahan dalam mengakses buku. Entah itu di Makassar
apalagi di Yogyakarta. Buku adalah cinta pertama saya, yang sampai sekarang pun
masih membuat saya mabuk kepayang. Terkadang dalam 1 minggu saya dapat pergi ke
toko buku hingga 2-3 kali. Walau terkadang belum menyelesaikan sebuah buku,
saya sudah gatal saja ingin membeli yang lainnya.
Benar adanya pepatah
yang mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Ada banyak tempat yang saya
datangi hanya melalui buku, dan ada banyak pula tempat yang secara fisik saya
kunjungi juga karena pengetahuan di dalam buku. Saya bangga punya hobi membaca.
Saya bangga menggemari buku.
Makassar,
20 Mei 2014