Ceritanya begini. Sejak SD saya selalu masuk rangking 10 besar. Di SMP dan SMA saya adalah kesayangan guru-guru (meskipun tidak pernah ada maksud untuk jadi penjilat). Di klub-klub yang saya ikuti, saya dipercaya untuk menduduki jabatan yang penting serta ide-ide saya selalu diperhatikan. Singkat kata, saya adalah pelajar yang aktif dan berprestasi. Saya sering kali dijadikan precedence yang baik oleh guru-guru maupun dosen-dosen kepada adik-adik kelas. Hingga masa kuliah pun, saya selalu berada "di atas angin". Ego saya terlalu kuat untuk bisa dikontrol oleh orang lain. Pada banyak kasus, ego itu amat berguna, apalagi di tengah masyarakat kita yang suka saling tunjuk-menunjuk untuk menemukan sosok pemimpin. Di situlah saya mengambil alih, mengoordinasi dan mengarahkan teman-teman. Akan tetapi, acapkali ego saya ini juga menimbulkan banyak benturan yang tidak menyenangkan, baik dalam hal akademik, pergaulan bahkan hingga profesionalitas. Benturan-benturan tersebut sebenarnya normal dan wajar, karena di setiap organisasi maupun perkumpulan pasti akan ada momen "sensi-sensian" antaranggotanya. Momen-momen seperti itu tidak pernah membuat saya jatuh, malah membakar semangat saya untuk semakin membuktikan diri dengan lebih baik lagi.
Setelah menjalani perkuliahan di Belanda selama setengah tahun, saya mendapatkan sentilan berharga untuk lebih memaknai lagi apa yang saya kejar. Di sini, untuk mendapatkan nilai "bagus" macam 8,5 atau 9,0 itu susahnya sungguh bukan main. Kebanyakan mahasiswa Belanda lokal sudah amat bersyukur jika hanya mendapatkan nilai 6,0 (batas kelulusan). Mereka tidak akan datang ke dosennya dan kemudian protes, meminta transparansi nilai, karena memang menyadari bahwa diluluskan saja sebenarnya telah lebih dari cukup. Di sini kehadiran di kelas tidak menjadi masalah, apalagi keaktifan. Yang paling penting adalah tugas-tugas yang diselesaikan pada waktunya serta nilai ujian akhir. Berhubung saya masih menggunakan mindset ala Indonesia, selama beberapa bulan awal saya menjadi mahasiswa yang tiap hari belajar untuk mengejar nilai. Pokoknya harus dapat nilai yang paling bagus, begitu ambisi saya.
Ketika pada bulan Desember 2014 kemarin dosen Bahasa Belanda saya mengadakan Try Out untuk ujian akhir semester, saya cukup optimis. Saya tidak belajar karena berpikir "Ah, ini kan hanya latihan doang. Bukan ujian sebenarnya." Dosen Bahasa Belanda saya yang baru ini orangnya cukup tricky karena dia amat sangat detail, teliti dan tegas. Kertas latihan sehari-hari kami dipenuhi oleh coretan-coretan berwarna merah dari baris ke baris yang amat menyakiti mata dan menohok hati. Ibarat kata seorang saudagar, selalu saja ada cacat sekecil apapun yang ia temukan di sarung yang kami tenun. Saat hasil Try Out keluar dan ternyata saya adalah salah satu dari dua orang yang mendapatkan nilai "onvoldoende" (insufficient, tidak mencukupi untuk lulus), dunia ini seperti wajan yang terbalik. Saya merasa sedih, sekaligus malu sekali karena diumumkan di depan teman-teman kelas. Hati ini seperti pecah berkeping-keping. Tangannya saya gemetar ketika menerima kertas hasil Try Out dengan label onvoldoende itu. Sebenarnya mata saya sudah merah dan darah sudah naik sampai ke ubun-ubun, namun berhubung saya tidak ingin teman-teman mengasihani saya, maka saya menahan luapan emosi itu dengan tersenyum, tertawa-tiwi dan melontarkan guyon-guyon konyol akan hasil ujian ini.
Malamnya di Smaragdlaan, apartemen saya, saya menangis.
Saya kesal dengan diri saya sendiri. Entah itu karena nilai yang jelek atau karena saya yang terlalu meremehkan kelas ini. Saya malu di hadapan teman-teman saya. Rencana untuk liburan heboh ke Itali di akhir bulan yang seharusnya menjadi penutup indahnya kejutan-kejutan menyenangkan di tahun 2014 pun terancam. Saya akhirnya tetap berangkat ke Itali bersama Tika dan Mbak Widya, akan tetapi di tengah tiga hari yang bermandikan cahaya mentari itu pikiran saya kerap dihantui oleh ujian Bahasa Belanda yang sebenarnya bulan Januari. Saya takut untuk gagal lagi. Kali ini saya sudah tidak berharap muluk-muluk untuk mendapatkan nilai perfect macam 9 atau 10. Yang penting lulus! Saya pun belajar lebih giat. Saya rajin mengajak diskusi Thanat, sobat saya dari Thailand yang nilainya paling bagus di kelas. Saya juga berkonsultasi dengan Azzam yang telah berkenan untuk meluangkan waktunya mengajari saya Bahasa Belanda dasar di tengah-tengah waktu ujiannya. Tiap hari menjelang exam, saya selalu deg-degan dan lemas. Memikirkan bagaimana nasib ini jika hasilnya buruk.
Pada akhirnya saya mendapatkan email ini dari dosen saya itu pasca ujian:
Ah, meskipun email ini bernada sedikit nyelekit untuk seorang anak yang lazimnya selalu dihebat-hebatkan dosen, tapi bagi saya ini sudah lebih dari seribu pujian! Ariel Lopez, salah seorang senior Encompass yang berasal dari Filipina dan jago Bahasa Indonesia berkata kepada saya: kamu harusnya bersyukur! Di sini jangan disamakan dengan di Asia. Saya dulu juga pernah mengalami masa-masa down seperti itu. Tapi jangan sedih, kamu pasti bisa! You just have to swallow your pride, understand that the situation is different here.
Beste Louie,
Ik heb goed nieuws voor je. Je had een voldoende resultaat voor de grammaticatest: een 6.Wel moet ik zeggen: “It was just about”. Eigenlijk had je een 5,5. Maar dat wordt in Nederland automatisch een 6 en dus voldoende.
Yeah, its true. Ini adalah pelajaran berharga buat saya. Setelah selama bertahun-tahun dicekoki dengan "sistem mengejar nilai tinggi" oleh pendidikan Indonesia, saya ditampar dengan kenyataan oleh sistem pendidikan Belanda. Nilai bukanlah segalanya. Yang paling penting adalah kualitas. Pun jangan pernah merasa sombong di dunia akademis karena ilmu terus berkembang. Saya diajari untuk lebih bersyukur dan menerima kenyataan untuk menjadi lebih baik lagi melalui kisah ini.
Leiden,
7 Maret 2015