Berkunjung ke Vienna sepertinya tidak lengkap jika belum mampir ke Berggasse 19, rumah yang dulunya juga merupakan kantor tempat Sigmund Freud pernah membuka praktek psiko-analisisnya. Lokasi rumah ini tidak begitu jauh dari Universitas Vienna dan Rathaus, dengan kata lain berada tepat di pusat ibukota Austria. Rumah yang dulunya menjadi saksi dimana seorang pria keturunan Yahudi dari keluarga kelas menengah merawat dan menetaskan teori-teori yang kelak menjadi pokok-pokok dasar ilmu psikologi ini sekarang telah berubah menjadi sebuah museum dengan kapasitas kunjung yang cukup terbatas. Di suatu musim panas, saya berziarah ke rumah Freud dan menemukan obsesi terpendamnya mereproduksi dongeng-dongeng dari masa lalu demi membongkar teka-teki mengenai alam pikiran manusia.
Rumah sekaligus kantor Freud di Vienna |
Di dinding ruang praktek Freud yang kecil terdapat banyak sekali lukisan. Sebagian di antaranya yang saya ingat adalah gambar-gambar hieroglif dan patung-patung Mesir, adegan-adegan dalam mitologi Yunani serta lukisan-lukisan yang berhubungan dengan cerita-cerita dari peradaban Cina kuno. Lukisan-lukisan yang beraneka ragam ini mempunyai tema yang sama: mitologi dari masa lalu. Freud menghiasi dinding ruang kerjanya dengan dongeng-dongeng paling awal mengenai penciptaan manusia dan bagaimana dunia bisa berjalan tanpa melalui bantuan penjelasan oleh sains. Well, dongeng mungkin adalah sains itu sendiri: di masa ketika matahari masih ditarik oleh tujuh ekor kuda putih dan Anubis menimbang jantung manusia di alam akhirat tidak ada penjelasan lain yang lebih bisa diterima oleh akal untuk menjabarkan mengapa matahari bergerak dari timur ke barat dan kemana perginya manusia yang telah tiada.
Sebelumnya saya tidak pernah tahu mengenai sisi lain dari Freud yang ternyata dipenuhi oleh hasrat keingintahuan akan okultisme yang cukup mendalam ini. Artefak-artefak kuno dari Mesir, Yunani dan Mesopotamia kuno yang terpajang di dalam rak kaca di ruang kerjanya sudah cukup untuk meyakinkan saya akan minatnya yang besar terhadap sejarah, agama dan misteri masa lalu. Di salah satu penjelasan di dalam museum itu disebutkan bahwa Freud juga menggunakan mitologi Mesir kuno untuk menjelaskan asal mula bangsa dan agama Yahudi. Melalui esainya yang berjudul Moses and Monotheism, Freud menggunakan pisau bedahnya sendiri untuk membongkar asal-usul Yudaisme dengan beberapa poin yang cukup kontroversial seperti mengatakan bahwa Musa sesungguhnya bukanlah orang Yahudi dan ia mati dibunuh oleh orang-orang Yahudi pengikutnya pada sebuah pemberontakan. Kelak orang-orang Yahudi tersebut menyesal dan kemudian mengharapkan Musa untuk dapat hidup kembali dan memimpin mereka menuju kejayaan. Itulah, menurut Freud di esai tersebut, mula terciptanya mitos mesiah alias Juru Selamat dalam tradisi Yahudi yang kemudian diwarisi oleh kekristenan.
Koleksi artefak-artefak kuno Freud |
Ruang kerja Freud |
Salah satu teori Freud yang terkenal mengenai tendensi seksual anak laki-laki terhadap ibunya juga meminjam istilah dari mitologi kuno. Oedipus complex hingga hari ini telah menjadi sebuah terma ilmiah yang dikukuhkan oleh Freud di kamus-kamus istilah modern. Oedipus ia ambil dari nama seorang tokoh laki-laki yang membunuh ayah dan kemudian menikahi ibu kandungnya sendiri dalam dongeng Yunani kuno. Freud dan eksperimennya akan dunia mimpi dan alam bahwa sadar manusia juga banyak dipengaruhi oleh elemen-elemen kisah dari dunia okultisme. Di esainya yang berjudul "Dreams and Occultism" Freud mengatakan bahwa secara umum interpretasi terhadap mimpi dan psiko-analisis dapat membantu untuk memahami okultisme yang selama ini dijauhi oleh sains karena dianggap sebagai omong-kosong semata. Freud membahasakan ulang tidak hanya pandangan namun juga nilai-nilai yang dikandung di dalam dongeng-dongeng tersebut dalam lingkaran akademisi dengan bentuk yang dapat diterima oleh sekumpulan profesor universitas.
Era ketika Freud hidup disebut oleh mereka yang lahir kemudian dengan nama the Age of Reason. Alasannya mengapa, sudah pernah saya jelaskan panjang dan lebar di tulisan mengenai Alice Through the Looking Glass: Perempuan dan Dunia di the Age of Reason. Okultisme yang tumbuh subur di Eropa kala itu merupakan produk dari maraknya keinginan manusia untuk mendapatkan jawaban atas perkara-perkara spiritual yang sebelumnya tak dapat dijelaskan oleh agama. Pasca Perang Dunia I, timbul gairah untuk mempelajari cara berkomunikasi dengan jiwa yang telah mati dari keluarga korban perang. Kematian yang tiba-tiba secara massal tersebut membuat banyak orang tidak dapat menerima kenyataan sehingga terus-menerus mencari cara untuk dapat berhubungan dengan orang yang mereka cintai. Mediumisasi dan berbagai metode yang berhubungan dengan ilmu gaib banyak bermunculan, membentuk semacam pseudo-science yang bersumber dari kepercayaan non-biblikal masyarat Eropa kuno maupun dari tradisi-tradisi timur yang mereka dengar dan kemudian adopsi dari koloni-koloni mereka. Freud hidup di era saat dongeng-dongeng lama sebelum kedatangan Tuhan versi Perjanjian Lama dan Baru kembali dihidupkan. Dongeng memiliki peranan penting dalam imajinasi Freud untuk membentuk teori-teorinya.
Pada akhirnya, untuk menutup kisah mengenai fantasi Freud dan dongeng-dongeng kuno, saya membayangkan Freud seperti seorang kakek-kakek berjanggut putih yang menaiki tram di kota Vienna pada sebuah senja sambil memeluk tas hitam berisi sekumpulan hartanya yang paling berharga: buku-buku dongeng. Bagi kakek-kakek paruh baya itu tiada yang lebih berharga bagi ide-idenya selain kisah-kisah berbumbu keajaiban yang terjadi di masa lalu dan dinarasikan ulang sebagai sebuah oasis inspirasi. Mirip seperti saya saat duduk di bangku kelas enam SD di Bali. Saat itu tas saya juga dipenuhi oleh buku-buku cerita rakyat Nusantara dan seri mitologi Yunani kuno terbitan Gramedia Pustaka Utama. Di sepanjang perjalanan mobil pulang dari sekolah menuju ke rumah, kepala saya saat itu dipenuhi oleh khayalan tentang kekuatan superhuman dan dimensi-dimensi yang mungkin, suatu hari nanti, bisa ditembus oleh manusia dengan kekuatan pikiran dan teknologi. Freud, dinutrisikan oleh dongeng-dongeng lama, juga memiliki jiwa kanak-kanak yang sama. Ia tidak pernah benar-benar melupakan dan meninggalkan dunia imajinasi yang kaya saat beranjak dewasa, ia justru menginvensi dongeng-dongeng baru berlabel sains dari dongeng-dongeng lama tentang perjalanan umat manusia.
The Hague,
8 Agustus 2016