Sebagai seorang mahasiswa yang belajar European and International Human Rights Law di sebuah universitas papan atas macam Leiden, sejak hari pertama duduk di ruang kelas, sebuah prinsip dasar bernama ‘universalitas' sudah harus saya untal bulat-bulat ke dalam tenggorokan. Bak makanan pembuka, sebelum dapat melaju ke bahan-bahan kuliah selanjutnya saya sudah harus memahami apa itu universalitas.
Se-fancy kedengarannya, oleh dosen saya universalitas didogmakan sebagai sebuah pernyataan (ingat, bukan pertanyaan) yang pada dasarnya bisa diterima oleh semua orang di segala lokasi geografis, karena dipercaya bahwa umat manusia ini pada dasarnya memiliki kesadaran maupun keinginan yang sama. Kata ini mengandung sebuah gagasan yang sifatnya memonopoli, merangkul semuanya, karena bersumber dari kata ‘universeum’ yang berarti segala sesuatu. Setiap manusia tidak ingin nyawanya dicabut dengan semena-mena ataupun disiksa, contohnya, adalah keinginan yang sifatnya universal. Demikian pula dengan hak untuk dapat menyembah suatu ilah atau sesembahan dengan bebas tanpa paksaan ataupun gangguan dari kaum lainnya. Itu universal sifatnya, jelas semua manusia ingin beragama dan menjalankan agamanya dengan bebas. Meskipun paham dengan makna di balik kata ini, tetap saja bagi saya kata universal itu sendiri mengandung keangkuhan tiada tara karena berani-beraninya menyimpelkan keanekaragaman identitas umat manusia yang terlalu amatlah rumitnya ke dalam sebuah kotak bernama 'pada dasarnya'.
Hak-hak asasi manusia ini dimitoskan (ya, saya harus menggunakan kata mitos karena di banyak artikel ilmiah pun ada beragam pertentangan ide mengenai universalitas hak asasi manusia itu sendiri, akan tetapi para pendukung universalisme hak asasi manusia yang punya golongan massa lebih banyak berhasil mengakarkan ide mereka sedemikian rupa sehingga kata ‘human’ pada human rights itu sendiri pun sudah mengandung elemen universalitas tanpa perlu dijabarkan lebih lanjut; pada akhirnya pendapat ini pun menjadi semacam urban legend yang terus-menerus hidup bersama dengan reproduksi ilmiah mengenai hak manusia) ada di setiap budaya dan kultur: apa yang dikehendaki oleh manusia itu pada dasarnya adalah sama dimanapun ia berada. Oleh banyak akademisi Barat, universalitas ini kerap disabung dengan prinsip lain yang bernama lokalitas (yang terakhir ini konon banyak didukung oleh negara-negara dunia ketiga yang masih sibuk memikirkan besok-makan-apa dan dimana-kita-hendak-berteduh-malam ini jika disandingkan dengan level hidup di negara-negara dunia pertama yang sudah dapat menikmati air-minum-dari ledeng serta lampu kelas yang-dapat mati sendiri-jika-tidak ada-orang di dalam ruangan).
Lokalitas ialah segala sesuatu yang berkebalikan dari universalitas: norma tidak bisa dipukul rata sama semuanya di belahan dunia mana pun; sistem nilai bergantung pada latar agama, budaya, politik, sosial dan eknomi peradaban yang bersangkutan; serta setiap entitas umat manusia ialah unik karena perjalanan sejarah mereka sendiri. Islam contohnya, mengakui eksistensi hukuman mati sebagai salah satu sanksi pidana di dalam kitab sucinya dengan persyaratan tertentu. Di Afrika Selatan, beberapa suku-suku asli masih menerapkan hukuman cambuk di depan umum untuk memberikan efek jera bagi si pelaku sekaligus pengajaran bagi para penontonnya. European Convention on Human Rights sebagai piagam hak asasi manusia tercanggih abad ini jelas mengutuk kedua contoh sanksi tersebut: tidak ada manusia yang boleh dijatuhi hukuman mati maupun disiksa sedemikian rupa oleh negara maupun institusi lainnya. Bagi sistem nilai yang dianut oleh masyarakat Eropa modern, sanksi-sanksi tersebut dianggap barbar, terbelakang, primitif, sudah tidak pada tempatnya serta tidak menyelesaikan masalah. Sebuah hukuman tidak seharusnya melukai hak-hak dasar seorang manusia sebagai seorang ‘manusia’. Dalam hal ini, banyak lingkaran adat maupun komunitas-komunitas tradisional di penjuru bumi yang jelas tidak mampu menangkap pesan ‘universalitas’ hak asasi manusia versi Eropa tadi. Alhasil, universalitas yang dipahami serampangan dapat menjadi dasar sekaligus daya paksa baru untuk kemudian mencekokkan norma-norma asing kepada negara-negara di belahan bumi lainnya. Ini kenyataan, banyak kasus yang sudah terjadi mengakibatkan kepunahan bahasa, hilangnya tradisi maupun musnahnya identitas lokal atas dasar kebersamaan nilai.
Oke, tujuan saya menulis artikel ini sebenarnya bukan untuk membahas masalah universalitas hak asasi manusia. Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya saat berkunjung ke Berlin dan Praha minggu lalu. Berlin sebagaimana yang kita semua ketahui ialah ibukota Jerman. Kota yang dulunya jatuh di yurisdiksi komunis ini adalah tempat bertakhtanya Angela Merkel, the Queen of Europe. Berlin adalah pertemuan antara dua dunia: masa lalu dan masa kini, komunisme dan kapitalisme. Berlin berusaha untuk keluar dari wajahnya yang kekiri-kirian itu dengan banyak mengadopsi arsitektur modern dan memancanegarakan dirinya. Berlin dikenal sebagai ibukota hipster Eropa, ini pun diakui oleh para hipster New York yang terkagum-kagum dengan kekreatifan hipster Berlin yang menurut mereka “out of the box”. Praha di sisi lain juga merupakan sebuah kota bekas peradaban komunisme dulu pernah berjaya. Sisi kiri Praha masih nampak di beberapa sudut kotanya, akan tetapi sebenarnya yang menonjol dari kota cantik ini ialah sejarah masa lalunya jauh sebelum Uni Soviet menularkan pengaruh mereka ke Eropa timur. Praha dulunya ialah ibukota Holy Roman Empire, dibangun untuk menerima segala kemegahan dan keagungan takhta yang -katanya- dimahkotakan oleh Tuhan itu sendiri ke kepala Raja Charles. Charles Bridge, Charles Castle, St. Vito Cathedral, Opera House, semuanya dicipta dengan cita rasa yang tinggi untuk menghiasi kotaraja tersebut. Charles mengklaim dirinya sebagai raja Romawi, kerajaan yang pernah menguasai seantero Eropa dan sekeliling Laut Tengah. Titelnya ini besar sekali, meskipun pada kenyataannya kekuasaan si raja tidak sampai setengah dari luas kerajaan Romawi dahulu kala.
Di sini, di Praha, saya tidak menemukan apa-apa yang berhubungan dengan Nusantara. Biasanya tiap kali berkunjung ke sebuah tempat baru yang punya sejarah cukup lama, saya akan mencari-cari narasi dimana tempat tersebut ternyata memiliki hubungan dengan Indonesia, kampung halaman saya. Saat berkunjung ke Sevilla contohnya, kota yang pernah jadi pelabuhan dagang besar itu ternyata merupakan tempat dimana Ferdinand Magelhaens mengumpulkan informasi serta berangkat menuju ke Kepulauan Rempah-Rempah yang tidak lain adalah Maluku. Di Antwerp juga saya mati-matian mencari pelabuhannya hanya sekedar untuk berfoto di titik yang dulu kekayaan dari timur memasuki low countries sebelum kemudian perannya digantikan oleh Amsterdam. Mencipta narasi baru tentang kampung halaman yang sifatnya global namun juga ambisius, itu yang saya kejar. Akan tetapi, di Praha saya tidak menemukan itu. Berbeda dengan Den Haag dan Rotterdam yang dibangun oleh ekspor gula dan kopi dari Jawa, Praha tidak pernah menyelip masuk ke Nusantara dan menjadi pemeran utama. Praha punya urusannya sendiri, Holy Roman Empire yang saat itu disusupi oleh raja-raja Habsburg Austria selama 14 generasi tidak punya narasi istimewa mengenai Indonesia. Mungkin ada narasi-narasi tidak langsung seperti menyan dari Borneo yang dibakar di katedral atau kayumanis Sumatera yang masuk lewat pedagang-pedagang Belanda akan tetapi saat berjalan di atas jembatan Charles yang megah itu saya tidak melihat ada jejak kapal Sawerigading pernah berlayar maupun bekas keris sakti Patih Gadjah Mada saat Hamukti Palapa. Tidak, tidak ada benang yang dapat saya tarik untuk universalitas dengan Nusantara di sini.
Di dalam pergaulan Kepulauan Nusantara atau yang oleh Anthony Reid disebut dengan nama “Negeri-Negeri Bawah Angin” ini, Hayam Wuruk dari Jawa bisa hidup dan disebut-sebut di cerita mengenai Hang Tuah asal Melayu. Pangeran Jafar dari tanah Bugis pun dapat berlayar dan melamar Putri Lindung Bulan dari Jambi. Putri Ontin dari negeri sejauh Cina saja dapat hamil tanpa disentuh oleh Sunan Gunung Djati yang bermukim di Cirebon. Figur-figur maupun anekdot-anekdot yang nampaknya lokal dan hanya muncul sebagai karakteristik di sebuah daerah dapat dipinjam untuk memperkaya narasi di tempat lain. Yang lokal pada akhirnya tidak selokal yang kita bayangkan. Sarung sutera yang penting untuk keperluan adat Minangkabau ternyata diimpor dari Mandar, besi sebagai bahan pembuat keris terbaik di zaman Majapahit berasal dari Luwu, rantai emas yang harus dipakai oleh raja-raja Makassar dalam penobatan mereka aslinya dari Filipina, dan seterusnya dan seterusnya. Kelokalan yang khas antara satu daerah dengan daerah lainnya itu saling rajut-merajut membentuk apa yang pada akhirnya narasi bersama. Narasi-narasi ini mampu berkelindan karena adanya interaksi antara kelokalan satu dengan lainnya sehingga tidak hanya saling pinjam-meminjam namun juga saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain.
Kembali ke Praha, kelokalan Nusantara tidak hadir di sini karena miskinnya interaksi antara ibukota Holy Roman Empire dengan ‘dongeng-dongeng’ dari timur tersebut. Di Praha maupun Berlin, konon Malin Kundang tidak pernah singgah untuk berdagang. Nawang Wulan juga tidak pernah turun untuk mandi di Sungai Vlatava atau Sungai Spree. Tidak ada bangsa jin dari Prambanan yang membantu proses pembuatan Charles Bridge dalam semalam. Apabila di berbagai belahan Nusantara seorang anak yang meninggalkan orang tuanya yang sudah tua dapat dilaknat menjadi batu menangis atau binatang jadi-jadian, maka di Jerman seorang anak berkerudung merah justru disuruh oleh ibunya untuk menembus hutan berserigala seorang diri. Dongeng merupakan cerminan nilai dari masyarakat, seorang anak diajar sedari kecil mengenai norma dan falsafah hidup melalui konflik-konflik yang ia sajikan. Dari dongeng-dongeng ini pun kita tahu bahwa universalitas adalah sesuatu yang sifatnya diimpi-impikan, bukan kenyataan. Lokalitas justru kuat mewarnai dalam menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Bisa saja kisah mengenai anak durhaka yang dilaknat juga muncul di dongeng-dongeng barat dalam bentuk yang lain, namun pertanyaan selanjutnya: sampai sejauh manakah perbedaan narasi itu kemudian dapat diakui oleh standar dongeng-dongeng timur sebagai ‘sekedar variasi’ atau justru adalah ‘sebentuk deviasi’?
Bagi saya, universalitas ialah sebuah invensi. Kesadaran kolektif berbeda dengan universalitas: kesadaran kolektif sifatnya tidak memonopoli dan memukul rata di saat yang sama. Universalitas kebalikannya, ia memonopoli dan mewajibkan pukul rata di semua tempat pada saat yang sama. Bukan berarti universalitas itu sesuatu yang buruk, tidak. Hanya saja ia akan terlihat buruk apabila dipaksakan untuk bersanding dengan lokalitas yang memang sudah menjadi bahagian dari peradaban manusia sejak awal. Lihat, betapa kayanya dongeng-dongeng yang muncul secara unik dari kelokalan masing-masing kebudayaan. Ada karakteristik unik yang membumbui setiap narasinya. Lokalitas, sebagai yang lebih tua daripada universalitas, pada hakikatnya mampu menciptakan kondisi bagi terwujudnya jalan menuju yang disebut terakhir. Malin Kundang akan tetap menjadi konsep dongeng yang aneh bagi penduduk Praha sebagaimana kisah golem yang diciptakan oleh Rabbi Lowe bagi penduduk Kepulauan Cocos.
Yang ingin saya simpulkan pada akhirnya ialah, tidak ada yang bisa kita dapat dari ‘dongeng-dongeng’ lokal yang dipaksa untuk menjadi universal selain kehilangan warna dan kekuatan aromanya. Universalitas justru akan terasa indah melalui penciptaan nilai-nilai bersama yang baru, tidak melalui peredaman narasi-narasi lokal. Jadilah seperti Berlin: mencipta nilai-nilai hipster universal melalui elemen-elemen yang dulunya saling berbenturan satu sama lain namun kemudian dapat diakurkan melalui interaksi yang interaktif.
Leiden, 22 Juli 2016