Pada bulan Desember tahun 2007, untuk pertama kalinya dalam hidup saya merayakan Natal. Saat itu sebagai seorang pelajar SMA dari negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam seperti Indonesia, Amerika di mata saya adalah negara yang begitu kompleks masyarakatnya serta menjunjung kebebasan di atas segala-galanya. Negara ini adalah tempat yang mendudukkan saya pada posisi minoritas; seorang remaja muslim berkulit gelap dari sebuah negara Dunia Ketiga di Asia. Natal pun menjadi sebuah hal yang unik ketika saya dihadapkan dan “dipaksa untuk sadar” atas keberadaan hari raya ini sebagai sebuah perayaan nasional yang begitu besar, mengalahkan apresiasi serta antusiasme warga Amerika terhadap perayaan hari besar agama saya, Islam.
Di tempat saya dibesarkan, ada segelintir orang dengan pandangan konservatif yang menegaskan keharaman bagi seorang muslim untuk mengucapkan “Selamat Natal” maupun selamat hari raya lainnya kepada umat Kristen atau pemeluk agama-agama non-Islam pada umumnya. Dikatakan bahwa dengan mengucapkan selamat hari raya kepada mereka yang berbeda keyakinan, secara tidak langsung orang yang mengucapkan selamat tersebut telah mengingkari keesaan Allah dan kebenaran Islam sebagai sebuah agama yang haq. Hal ini kemudian oleh mereka disenadakan dengan ayat dalam surah Al-Kafirun, “untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. Ujung-ujungnya karena adanya kesalahpahaman seperti ini, di negri yang pluralis seperti Indonesia sekalipun perayaan Natal setiap tahun merupakan sebuah jurang pemisah atas kaum yang dominan dan minoritas. Yang lagi ngetrend belakangan ini adalah aksi radikal yang mengatasnamakan suatu agama tertentu dalam setiap teror bom mereka di tempat-tempat ibadah.
Pandangan yang kaku tersebut hidup dan menjadi “kepercayaan” dikalangan masyarakat awam. Saya tidak bohong jika dulu (sebelum tinggal di Amerika dan memahami bagaimana perasaan kaum minoritas di tengah beranekaragamnya golongan di muka bumi) saya termasuk salah satu dari anak kecil yang tumbuh dengan rasa berjengit atas ucapan “Selamat Natal”. Mengapa? Lugasnya karena memang saya tidak merayakan hari raya tersebut. Orang akan menegur jika ada seorang penganut ajaran Nabi Muhammad memberikan selamat hari raya kepada seorang non-Islam. Ironis sekali jika mengaca pada sejarah. Agama Kristen merupakan agama yang dibawakan oleh Yesus dari Nazareth hampir 2.000 tahun yang lalu. Keberadaan orang-orang Kristen bukanlah sesuatu yang asing di tengah masyarakat muslim di seluruh dunia. Yesus sendiri dikenal dalam tradisi Islam sebagai Isa Al-Masih, seorang nabi besar yang mewartakan kedatangan Nabi Muhammad dan memperbaharui legasi Musa alaihissalam. Kisah mengenai kelahiran Yesus (Nativity) yang menjadi topik sentral dalam perayaan Natal bahkan dikisahkan oleh Al-Quran, sabda dari Allah Tuhan Semesta Alam dengan begitu indahnya.
Di salah satu ayat dalam surah Maryam, terdapat kalimat yang berbunyi “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali." Ayat tersebut merupakan rekaman atas peristiwa berbicaranya Isa Al-Masih yang saat itu masih berada di dalam gendongan ibunya kepada orang-orang yang memfitnah Maryam atas tuduhan berzina. Secara spesifik Nabi Isa memohonkan agar kiranya hari kelahiran, hari meninggal, dan hari kebangkitannya kembali dipenuhi oleh salam dan kesejahteraan. Apabila Isa sendiri sebagai salah seorang yang dekat dengan Tuhan memohonkan limpahan kesejahteraan di hari kelahirannya, mengapa kita mengunci bibir dan menolak untuk mengucapkan salam kesejahteraan di hari kelahiran ataupun hari kenaikan Isa Al-Masih? Terlepas dari kontroversi mengenai tanggal perayaan Natal yang sebenarnya maupun anggapan sebagian orang terhadap pengultusan Isa, yang terpenting adalah niat dan tujuan baik demi persatuan kita semua dalam keluarga besar Ibrahim.
Di Amerika, saya belajar bahwa dengan mengesampingkan ego dan fanatisme lah kita dapat bergandengan tangan dan menjembatani perbedaan. Saya terkejut sekaligus terkesima ketika seorang teman di sekolah tiba-tiba datang menghampiri dan mengucapkan”Selamat Natal!” kepada saya dengan entengnya. Ia tidak tahu bahwa saya adalah seorang muslim. Yang Ia tahu hanya bahwa di Amerika Serikat perayaan Natal tidak hanya terkait dengan agama tertentu saja. Natal maupun Easter (hari raya Paskah) di sana merupakan sebuah perayaan bangsa yang disemarakkan oleh semua orang, terlepas dari ras, budaya, maupun agama apa Ia berasal. Amerika sebagai sebuah ‘nation’ merayakan hari besar nasional mereka yang disebut Natal itu. Saya terkejut ketika diajak untuk menghias pohon Natal, memilih kado, dan ketika mereka dengan lugunya menawari saya kotak-kotak kue dan coklat. Tidak pernah terpikir sebelumnya hal yang sifatnya ‘umum’ seperti itu ada, ketika pada saat yang bersamaan otak saya dipenuhi oleh hal-hal ‘khusus’ serupa sakramen atau misa di gereja.
Sebagai seorang manusia yang memiliki akal dan hati nurani, saya tidak akan menolak untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani. Argumentum a contrario-nya adalah saya sebagai seorang muslim tentu senang apabila ada orang yang mengucapkan “Selamat Idul Fitri” atau“Selamat Idul Adha” dari orang lain. Pun sebagai seorang muslim tidak ada larangan untuk menyebarkan salam damai di hari kelahiran Isa Al-Masih yang namanya disanjung-sanjung oleh Quran dan hadis Nabi. Mengapa saya tidak melakukannya kepada orang lain juga, terlebih lagi jika ternyata dengan mengucapkannya saya telah berkontribusi dalam mewujudkan kesepahaman di antara agama-agama Ibrahim?
Hari ini, tanggal 22 April 2011. Saya menyaksikan lewat dunia maya bagaimana generasi muda Indonesia yang berpikiran terbuka dan berjiwa lapang telah mampu menyikapi perbedaan serta berani mengambil pilihan mereka sendiri. Beragam ucapan “Selamat Paskah” berbentuk SMS, kartu atau lewat kalimat-kalimat di facebook dan twitter disampaikan tidak hanya dari seorang penganut Kristen yang satu kepada yang lain. Bahkan mereka yang non-Kristen pun turut mengirimkan salam kesejahteraan tersebut.
Indonesia, negri yang bermoto “Bhinneka Tunggal Ika” (versi lain dari U Pluribus Unum-nya Amerika Serikat) menjamin kebebasan bagi setiap warganya untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Jaminan tersebut tertuang di dalam pasal 29 UUD 1945 (Konstitusi Dasar Indonesia). Jika secara legal negara menghargai setiap kepercayaan yang dianut oleh penduduknya, membiarkan mereka beribadah dan beraktifitas, maka kini giliran masyarakat Indonesia itu sendiri untuk memahami substansi dari pasal 29 serta pengaplikasiannya pada kehidupan sehari-hari. Dua agama Ibrahim yang hidup berdampingan di Indonesia ini harus memberi contoh pada dunia akan arti penting toleransi melalui perbuatan nyata. Momentum kelahiran maupun peristiwa yang dialami sosok yang dianggap penting di tradisi kedua agama ini adalah saat tepat bagi kita untuk belajar.
Kepada teman-temanku di Indonesia, Amerika, dan di seluruh dunia, selamat Hari Raya Paskah 2011!
Muhammad Ahlul Amri Buana
Alumni Program Youth Exchange & Study (YES) di Amerika Serikat (2007-2008)
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Indonesia