Sabtu, 11 Mei 2013 sekitar pukul 16.00
Dengan tubuh letih dan kepanasan karena baru saja turun dari Cemara Lawang (yang udaranya sejuk) menuju ke terminal Probolinggo yang sumuk, lengket, dan panas kami, kami menyeret kaki untuk segera mencari bus bertarif murah dengan tujuan Mojokerto. Setelah bertanya-tanya ke sana-sini, akhirnya ada seorang bapak-bapak baik hati yang sedari tadi menguping kegelisahan kami. Ia menasihati kami untuk naik bus antarkabupaten dengan tujuan akhir Japanan (Mojokerto). Berbekal kepercayaan kepada sesama orang Indonesia, maka segera kami ejawantahkan nasihat tersebut dengan mencari bus menuju Japanan. Bus tersebut ternyata cukup besar dan tidak ber-AC (namun alhamdulillah seluruh jendela atasnya terbuka). Tarifnya hanya Rp 11.000. Walau untuk ukuran antarkabupaten tergolong murah, tiap waktu, sopirnya akan menepi mendadak ke pinggir jalan raya untuk mengambil penumpang. Tercatat rute bus ini membelah Probolinggo hingga melintasi daerah-daerah seperti Pasuruan dan Bangil. Cukup menyenangkan sebenarnya perjalanan dengan bus ini (minus bunyi klakson yang menggetarkan jiwa) karena kami dapat menikmati pemandangan daerah-daerah di Jawa Timur bahagian utara. Setelah kira-kira waktu menunjukkan pukul 18.00, tibalah kami di Japanan. Kami diturunkan di perempatan sebuah jalan raya (ya, di tengah jalan!) lalu diarahkan untuk naik sebuah minibus berwarna kuning yang tujuannya akan berakhir di terminal bus Mojokerto.
Terus terang, saya sudah tidak dapat mengharapkan sesuatu yang lebih buruk lagi selain terperangkap dalam sebuah bus kecil nan pengap bersama 'ratusan' manusia lainnya. Ya, itulah yang terjadi di dalam minibus Japanan tersebut. Sesuai namanya, 'mini'-bus ya seharusnya punya quota yang mini, akan tetapi tetap saja manusia-manusia yang mengendalikannya (seorang supir dan seorang kernet yang hobi menggoda kaum Hawa) terus-terusan berimprovisasi untuk menerima penumpang. Walhasil, saya harus berdiri berdesak-desakan dengan penumpang lain yang memegangi pinggul dan pundak saya karena tidak lagi dapat berpegangan pada apapun. Tarif minibus yang membuat diri kami yang sudah letih dan menderita itu menjadi lebih tersiksa selama dua jam berikutnya adalah Rp 6.000. Selama perjalanan di dalam minibus kuning tersebut, ada saja kejadian aneh. Seorang ibu-ibu yang tengah pesiar dengan anak dan putranya tiba-tiba memecah keheningan maghrib dengan memutar lagu-lagu SYAHRINI keras-keras melalui handphonenya. Walhasil, permulaan hari berdasarkan ketentuan kalender hijriah saat itu kami mulai dengan senandung sakit hati Syahrini.
Bagaikan bayi yang brojol dari kandungan perasaan lega yang menghampiri saat akhirnya kami dapat menyeruak keluar dari minibus kuning tersebut di terminal Mojokerto. Setelah berkeliling menanyakan keberadaan penginapan murah untuk memulihkan energi, kami diarahkan menuju "Tejo Wulan." Tejo Wulan ialah sebuah hostel yang terletak tidak terlalu jauh di seberang terminal Mojokerto. Tarif semalamnya Rp 130.000, sudah termasuk sarapan pagi. Penginapan ini amat recommended bagi kamu yang traveling dengan budget mepet. Pengurus penginapan Tejo Wulan amatlah baik, kami diberi banyak informasi mengenai situs apa saja yang dapat dikunjungi di Trowulan besok serta bagaimana cara pulang ke Jogja dari sana. Meskipun mereka sempat menawarkan jasa ojek dan mobil untuk menemani kami seharian keliling Trowulan, kami menolak. Tujuan utama dari petualangan Gita dan Louie ini adalah low-budget backpacking, jalan kaki hingga remuk memang sudah kami kehendaki dari awal. So, we say no to those offers.
Minggu, 12 Mei 2013
Kami bangun dan mulai bersiap sekitar pukul 06.00 lewat. Jam 08.00 kami sudah berpakaian wangi dan melibas sarapan pagi berupa mie goreng dan telur dadar sesembahan dari penginapan Tejo Wulan. Setelah check-out, kami berdiri di tepi jalan untuk menunggu angkot kuning berlogo C dengan tujuan Trowulan. Pucuk dicita ulam pun tiba, sekitar jam setengah 9 kami telah berada di dalam angkot yang menuju ke pusat kerajaan Majapahit tersebut. Pemandangan selama perjalanan sih biasa saja. Kami masuk ke dalam area perkampungan penduduk yang tipikal area perkampungan (ya eyalah). Sepanjang perjalanan ada banyak kanal besar yang kami lewati, ini membuat saya pun bertanya-tanya; apakah kanal-kanal tersebut termasuk salah satu peninggalan Majapahit yang terkenal dengan kanal-kanal besar ala Venesia-nya di ibukota, atau kanal tersebut hanyalah galian warisan Orde Baru saat pembangunan digenjot oleh Pak Harto? Entahlah.
Dalam setiap perjalanan yang harusnya mulus pasti selalu saja ada hambatan. Nah, hal tersebut pun terjadi pula dalam perjalanan kami ini. Bayangkan, setelah dengan penuh semangat menuju Trowulan, tiba-tba kami terjebak macet di area "ring-road" Mojokerto. Kemacetan selama sekitar 45 menit tersebut disebabkan oleh sebuah truk yang mengangkat pasir/bebatuan kecil mengalami kecelakaan di perempatan jalan. Sambil menahan panas, kami dengan sabar menunggu (penumpangnya tinggal kami berdua) sedangkan si sopir misuh-misuh sendiri. Begitu terbebas dari macet, angkot langsung melaju dengan kecepatan penuh mengantarkan kami ke tujuan (yang seharusnya adalah), Museum Majapahit.
Eh, sekali lagi kesabaran kami harus diuji.
Si sopir yang seharusnya memiliki kewajiban untuk mengantarkan kami ke Museum Majapahit dan hak-nya atas jasa tersebut hanyalah Rp 6.000 sesuai ketentuan peraturan daerah jasa angkutan transportasi umum malah menurunkan kami di KANTOR Museum Majapahit yang jauhnya sekitar 3 kilo lebih dari lokasi museum aslinya, serta memungut bayaran sebesar Rp 15.000 per kepala. Meskipun kami telah berupaya memprotes dengan amat sangat sopan, akan tetapi sopir nan gemar misuh itu tetap bersikeras bahwa tarifnya memang segitu (padahal trayek yang setiap hari Ia jalani untuk mencari nafkah itu ya memang sejalur dengan tujuan kami).
Jalanan Desa Bejijong, Trowulan |
Berjalanlah kami di tengah teriknya matahari Mojokerto dengan hati yang remuk. Setidaknya destinasi kami menuju Maha Vihara Majapahit untuk melihat "patung Buddha tidur terbesar ketiga di dunia" menjadi penyemangat. Ajaran penuh kesabaran dan kesadaran diri yang diajarkan oleh Sang Buddha seakan-akan menjadi pesan bagi kami di awal hari itu. Setelah berjalan sekitar 7 menit, sampailah kami di sebuah gerbang agung tempat peribadatan umat Buddha di tengah perkampungan muslim tersebut. Suasana Maha Vihara Majapahit amatlah damai dan menyejukkan hati. Setelah berfoto dengan Sang Buddha Tidur yang terkenal itu, kami berkeliling vihara. Ada banyak hal-hal menakjubkan di tempat ini (yang akan saya bahas dalam sebuah tulisan khusus), sayangnya saya pribadi sedikit terganggu dengan banyaknya anak muda pacaran yang kurang bisa menjaga sopan-santun di tetamanan vihara.
The Reclining Buddha and Dwarapala |
Muka gosong abis disiram Srengenge diobati oleh damainya ekspresi tidur Sang Buddha |
Waktu menunjukkan pukul 10.00 lewat, maka kami pun punya alasan untuk makan bakso-lontong serta menyesap es kelapa muda yang dijajakan di depan vihara. Hanya dengan Rp 8.500, perut kami terisi dan mood kami mulai membaik. Setelah mendapatkan petunjuk mengenai arah Candi Brahu yang konon bagi penduduk terletak tidak begitu jauh dari vihara (masih sama-sama dalam wilayah yurisdiksi desa Bejijong), maka berangkatlah kami ke candi yang menjadi tempat pembakaran jenazah para raja Majapahit tersebut.
Alamak jan... ternyata jarak dari Maha Vihara Majapahit menuju Candi Brahu itu jauh benar! Entah berapa kilo jaraknya, yang jelas lumayan membuat betis saya cranky. Mana udaranya panas lagi. Walaupun jalannya tidak menanjak seperti saat kami hiking di Bromo, teriknya sinar mentari seakan ikut pula menguapkan energi kami. Setelah berjalan kurang lebih 40 menit, sampailah kami di Candi Brahu. Rasa letih kami langsung hilang saat melihat candi pertama dari rangkaian Rediscovering Majapahit Trip kami.
Sebagaimana ciri khas bangunan dari era Majapahit lainnya, Candi Brahu juga terbuat dari bata merah. Candi ini sudah tidak bisa dinaiki lagi karena amat rentan oleh kerusakan. Kami hanya dapat berfoto di area sekeliling candi serta menyentuh sejarah yang melekat selama kurang lebih 700 tahun di bata-bata merah itu.
Berlatarkan Candi Brahu dari Masa Lalu |
Kami hanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit di area Candi Brahu. Banyaknya situs yang mesti dikunjungi serta terbatasnya waktu membuat kami segera bergegas menuju Museum Majapahit. Nantinya, kami akan dikejutkan oleh banyak sekali hal dan kejadian menarik selama berada di kompleks ibukota Majapahit tersebut. Stay tuned!