Di tengah kegilaan pekerjaan dan hiruk-pikuk skripsi yang berteriak-teriak menuntut diselesaikan, ada jeda tanggal merah di hari Jumat 10 Mei 2013 ini. Tiba-tiba saja saya dan Gita yang sedang duduk-duduk anteng di Cafe Peacock melepaskan letih dari geliat duniawi seraya memperbincangkan post-colonialism memutuskan untuk berangkat ke Bromo, menyaksikan keindahan alam Jawa Timur yang selama ini sering membius pandangan di iklan-iklan rokok televisi. Kun fayakun, jadilah maka jadilah ia, kalau kata Tuhan. Maka kamis pagi tanggal 9 Mei, dengan berbekal tekad, baju dan sedikit makanan kami telah duduk manis di kereta ekonomi AC Sri Tanjung bertarif Rp 35.000 jurusan Lempuyangan - Probolinggo.
Gita di atas kereta Sri Tanjung dan dua orang teman barunya dari Jember. |
Begitu tiba di stasiun Probolinggo setelah lewat 10 jam duduk menderita, kami segera naik mobil Elps bersama rombongan lain dari Solo dan Jakarta menuju ke desa Cemoro Lawang, desa terdekat dari kawasan Taman Wisata Bromo. Tarifnya Rp 30.000, dengan waktu tempuh dari kota Probolinggo sekitar 45 menit. Sepanjang perjalanan, udaranya sungguh sejuk menyegarkan, dengan pemandangan alam yang menyehatkan mata. Perjalanan terus menanjak naik hingga kami dapat melihat lereng-lereng gunung yang subur dan menghijau serta desa-desa kecil di kaki gunung. Sesampainya di desa Cemoro Lawang, kami pun memilih untuk menginap di sebuah penginapan bernama "Setia Kawan" dengan tarif Rp 75.000 per orang per malam. Fasilitasnya antara lain kamar tidur, TV, dan kamar mandi. Hanya itu, tanpa sarapan. Berhubung ketika tiba di Cemoro Lawang waktu telah menunjukkan sekitar pukul 19.00, maka kami memutuskan untuk makan malam di warung bakso terdekat sambil menikmati teh melati hangat yang menimbulkan sensasi "hey, I'm up on the mountain now!".
Saking kelaparannya saya bahkan sampai nambah dua mangkok bakso. Total makan malam kami sekitar Rp 22.500. Not bad lah.
Pagi sekitar jam setengah tiga subuh kami bangun. Dengan tekad baja sekeras Krakatau Steel, kami bermaksud untuk melawan kebiasaan turis Bromo yang menyewa jeep seharga Rp 50.000 per kepala untuk naik ke atas Gunung Pananjakan dan menikmati terbitnya matahari. Tak ada uang, kaki pun jadi, begitulah prinsipnya. Setelah bersiap-siap, maka sekitar jam tiga pagi kami mulai meninggalkan Cemara Lawang untuk mendaki jalanan menanjak yang menyesakkan siapapun yang melihatnya. Jalanan benar-benar gelap saat itu, tiada sumber cahaya yang menemani selain senter yang kami sewa seharga Rp 30.000 dan gemintang di langit. Menurut Wikipedia, jarak yang kami tempuh dari desa Cemara Lawang hingga Gunung Pananjakan sekitar 2.770 m atau hampir 3 km. Cuaca yang dingin menusuk serta rasa letih membuat kami berulang kali terduduk di atas bongkahan batu di pinggir jalan. Medan yang kami tempuh amatlah berbahaya karena selain jalan yang menanjak, juga dipenuhi oleh ranjau darat berupa kotoran kuda. Hewan yang dikomersialkan sebagai tunggangan di kawasan pariwisata ini.
Menyaksikan kemunculan Bromo, Batok dan Semeru with my bestie |
Melintasi Segoro Wedi. Di kejauhan nampak Pura Luhur Poten dan Kawah Bromo |
Di tengah perjalanan, ada sebuah bangunan mencolok yang seakan-akan jatuh dari langit dan dibiarkan berada di situ. Sungguh fenomenal menyaksikan sebuah kuil Hindu Majapahit dengan bahan bangunan terbuat dari bebatuan hitam vulkanik yang bersumber dari perut Bromo berdiri sunyi di antara gunung-gemunung. Pura Luhur Poten, namanya. Sayang, hari itu Pura Luhur Poten tertutup dari akses umum. Ketika pengaruh Majapahit mulai luntur, maka sisa-sisa masyarakatnya yang masih setia mengemban adat leluhur hijrah ke sekitar kawah Bromo untuk mencari sanctuary. Alhasil, di tengah masyarakat Jawa dan Madura yang terislamisasi, penduduk lokal yang disebut juga sebagai orang Tengger masih melestarikan tradisi Hindu mereka. Menurut mitos lokal, penduduk Tengger sekarang ini adalah keturunan dari bangsawan Majapahit bernama Rara Anteng dan Jaka Seger. Keberadaan Hindu di Tengger dapat teman-teman saksikan dari kehadiran padmasana di halaman depan rumah penduduk lokal yang biasanya kita temui di Bali. Selain itu udeng yang biasa dipakai kaum pria Bali untuk sembahyang juga banyak digunakan oleh pemuda lokal. Lambang swastika di gapura masuk kawasan Tengger seakan menjadi penguat identitas mereka sebagai pelestari adat-istiadat leluhur. Tengger adalah benteng terakhir Hindu Majapahit di Pulau Jawa.
Padmasana di halaman penginapan 'Setia Kawan' |
Foto di pinggir kawah Bromo ini diambil oleh seorang bapak-bapak Belarusia nan ramah |
So, the next destination is: Trowulan!
Pura Luhur Poten Hindu Tengger |
No comments:
Post a Comment