Sunday, May 12, 2013

Backpacking! Part I - Memandangi dari jauh lalu Mendatangi Eyang Bromo

Nekat emang rencana backpacking bersama sobat saya Anggita Paramesti kali ini. Malah, sebenarnya sih nggak ada rencana sama sekali! This is totally a spontaneous trip!

Di tengah kegilaan pekerjaan dan hiruk-pikuk skripsi yang berteriak-teriak menuntut diselesaikan, ada jeda tanggal merah di hari Jumat 10 Mei 2013 ini. Tiba-tiba saja saya dan Gita yang sedang duduk-duduk anteng di Cafe Peacock melepaskan letih dari geliat duniawi seraya memperbincangkan post-colonialism memutuskan untuk berangkat ke Bromo, menyaksikan keindahan alam Jawa Timur yang selama ini sering membius pandangan di iklan-iklan rokok televisi. Kun fayakun, jadilah maka jadilah ia, kalau kata Tuhan. Maka kamis pagi tanggal 9 Mei, dengan berbekal tekad, baju dan sedikit makanan kami telah duduk manis di kereta ekonomi AC Sri Tanjung bertarif Rp 35.000 jurusan Lempuyangan - Probolinggo.

Gita di atas kereta Sri Tanjung dan dua orang teman barunya dari Jember.
Nekat memang, kami tidak punya rencana apa-apa.
Begitu tiba di stasiun Probolinggo setelah lewat 10 jam duduk menderita, kami segera naik mobil Elps bersama rombongan lain dari Solo dan Jakarta menuju ke desa Cemoro Lawang, desa terdekat dari kawasan Taman Wisata Bromo. Tarifnya Rp 30.000, dengan waktu tempuh dari kota Probolinggo sekitar 45 menit. Sepanjang perjalanan, udaranya sungguh sejuk menyegarkan, dengan pemandangan alam yang menyehatkan mata. Perjalanan terus menanjak naik hingga kami dapat melihat lereng-lereng gunung yang subur dan menghijau serta desa-desa kecil di kaki gunung. Sesampainya di desa Cemoro Lawang, kami pun memilih untuk menginap di sebuah penginapan bernama "Setia Kawan" dengan tarif Rp 75.000 per orang per malam. Fasilitasnya antara lain kamar tidur, TV, dan kamar mandi. Hanya itu, tanpa sarapan. Berhubung ketika tiba di Cemoro Lawang waktu telah menunjukkan sekitar pukul 19.00, maka kami memutuskan untuk makan malam di warung bakso terdekat sambil menikmati teh melati hangat yang menimbulkan sensasi "hey, I'm up on the mountain now!".
Saking kelaparannya saya bahkan sampai nambah dua mangkok bakso. Total makan malam kami sekitar Rp 22.500. Not bad lah.

Pagi sekitar jam setengah tiga subuh kami bangun. Dengan tekad baja sekeras Krakatau Steel, kami bermaksud untuk melawan kebiasaan turis Bromo yang menyewa jeep seharga Rp 50.000 per kepala untuk naik ke atas Gunung Pananjakan dan menikmati terbitnya matahari. Tak ada uang, kaki pun jadi, begitulah prinsipnya. Setelah bersiap-siap, maka sekitar jam tiga pagi kami mulai meninggalkan Cemara Lawang untuk mendaki jalanan menanjak yang menyesakkan siapapun yang melihatnya. Jalanan benar-benar gelap saat itu, tiada sumber cahaya yang menemani selain senter yang kami sewa seharga Rp 30.000 dan gemintang di langit. Menurut Wikipedia, jarak yang kami tempuh dari desa Cemara Lawang hingga Gunung Pananjakan sekitar 2.770 m atau hampir 3 km. Cuaca yang dingin menusuk serta rasa letih membuat kami berulang kali terduduk di atas bongkahan batu di pinggir jalan. Medan yang kami tempuh amatlah berbahaya karena selain jalan yang menanjak, juga dipenuhi oleh ranjau darat berupa kotoran kuda. Hewan yang dikomersialkan sebagai tunggangan di kawasan pariwisata ini.

Menyaksikan kemunculan Bromo, Batok dan Semeru with my bestie
Sekitar jam 4 pagi, kedua pejuang dari Jogja ini akhirnya menyentuhkan kaki di pelataran Gunung Pananjakan I. Meskipun awalnya Gita merasa kecewa karena kami tidak terus naik hingga ke Pananjakan II yang masih berjarak sekitar 2 km lagi, pada akhirnya kami cukup puas karena sukses menikmati sunset serta pisang goreng gratisan dari rombongan ibu-ibu dharma wanita Taruna Nusantara yang salah satunya ialah pemilik bisnis bimbingan belajar Neutron. Menjelang matahari terbit, pelataran tersebut semakin ramai oleh turis domestik maupun turis internasional. Tercatat berdasarkan pendengaran telinga saya, ada turis Cina, Rusia, Jerman, Italia dan Eropa lainnya. Begitu matahari meninggi, kami pun dibuat terkejut menyaksikan kecantikan Bromo, Semeru, serta Batok yang mengapung-apung dengan agung di tengah lautan kabut. Migrasi kabut dari daerah Lautan Pasir (Segoro Wedi) yang mengelilingi Bromo menuju perkampungan penduduk di kaki gunung juga membuat hati kami berdesir penuh kekaguman. Singkat cerita, setelah bersabar menunggu giliran untuk foto berlatarkan Sang Hyang Bromo dan Sang Hyang Mahameru tempat Batara Guru (raja para dewa) bertahta, kami pun meluncur turun.

Melintasi Segoro Wedi. Di kejauhan nampak Pura Luhur Poten dan Kawah Bromo
Sekitar jam 7 pagi kami telah kembali mendarat di Cemara Lawang. Setelah mengistirahatkan kaki yang pegel dan kedinginan, kami pun melakukan ritual wajib bagi siapapun yang hiking di Bromo: makan pagi. Makan pagi hari itu adalah mie goreng dan teh hangat, totalnya Rp13.000. Begitu perut kenyang dan hati pun senang, kami segera merayap turun dari desa Cemara Lawang untuk melintasi Lautan Pasir menuju Kawah Bromo nun jauh di sana. Lautan Pasir tersebut kami tempuh dengan waktu sekitar 45 menit.

Di tengah perjalanan, ada sebuah bangunan mencolok yang seakan-akan jatuh dari langit dan dibiarkan berada di situ. Sungguh fenomenal menyaksikan sebuah kuil Hindu Majapahit dengan bahan bangunan terbuat dari bebatuan hitam vulkanik yang bersumber dari perut Bromo berdiri sunyi di antara gunung-gemunung. Pura Luhur Poten, namanya. Sayang, hari itu Pura Luhur Poten tertutup dari akses umum. Ketika pengaruh Majapahit mulai luntur, maka sisa-sisa masyarakatnya yang masih setia mengemban adat leluhur hijrah ke sekitar kawah Bromo untuk mencari sanctuary. Alhasil, di tengah masyarakat Jawa dan Madura yang terislamisasi, penduduk lokal yang disebut juga sebagai orang Tengger masih melestarikan tradisi Hindu mereka. Menurut mitos lokal, penduduk Tengger sekarang ini adalah keturunan dari bangsawan Majapahit bernama Rara Anteng dan Jaka Seger. Keberadaan Hindu di Tengger dapat teman-teman saksikan dari kehadiran padmasana di halaman depan rumah penduduk lokal yang biasanya kita temui di Bali. Selain itu udeng yang biasa dipakai kaum pria Bali untuk sembahyang juga banyak digunakan oleh pemuda lokal. Lambang swastika di gapura masuk kawasan Tengger seakan menjadi penguat identitas mereka sebagai pelestari adat-istiadat leluhur. Tengger adalah benteng terakhir Hindu Majapahit di Pulau Jawa.
Padmasana di halaman penginapan 'Setia Kawan'
Kami naik hingga ke bibir kawah Bromo yang jaraknya sekitar 2.329 meter. Perlu dicatat bahwa medan yang kami tempuh di sini berbeda dengan medan di Gunung Pananjakan. Mendaki bibir kawah Bromo itu sama dengan menaiki seluncuran berpasir dan 233 anak tangga. Capeknya memang luarbiasa, tapi begitu sampai di atas kami puas karena bisa bersilaturahmi dengan Eyang Bromo yang konon meminta wadal anak bungsu itu.


Foto di pinggir kawah Bromo ini diambil oleh seorang bapak-bapak Belarusia nan ramah
Setelah menikmati pemandangan dari puncak Bromo, turunlah kami dari kahyangan, kembali ke permukaan bumi. Di Cemara Lawang, kami makan siang (totalnya Rp 13.000), check out dari penginapan lalu menumpang mobil Elps rombongan backpacker dari Jakarta dengan tarif sebesar Rp 25.000 untuk turun ke kota. Kami diturunkan di terminal Probolinggo karena tujuan kami selanjutnya hanya dapat ditempuh dengan bus. Perasaan kami mengharu-biru saat meninggalkan Bromo yang entah kenapa terasa homey (mungkin efek karena udara di sana dingin dan sejuk yang membuat kami betahan). Akan tetapi, perjalanan besar kami masih panjang. Kami terlanjur bertekad untuk menamai untaian backpacking journey ini dengan nama "Rediscovering Majapahit Trip."

So, the next destination is: Trowulan!

Pura Luhur Poten Hindu Tengger

No comments: