Akhir-akhir ini lagu seorang artis muda Malaysia yang bernama Yuna terus terngiang-ngiang di telinga saya. Lagu berjudul "Terukir di Bintang" ini kata-katanya amat simpel namun bermakna dalam. Melodinya yang lembut serta karakter suaranya yang selintas mengingatkan kita akan penyanyi asal Malaysia lainnya, Zee Avi, membuat lagu ini masuk ke dalam deretan tangga nada favorite saya. Salah satu hal lain yang membuat lagu ini spesial adalah karena dia dinyanyikan oleh Yuna. Yuna adalah seorang Melayu-Bugis.
Nenek moyangnya dulu hijrah dari kampung halaman mereka di Sulawesi Selatan demi mencari penghidupan baru atau demi mapatettong siriq.
Dulu pada sebuah kesempatan di hadapan seorang sultan Malaysia, Jusuf Kalla pernah nyeletuk bahwa orang-orang Bugis yang hari ini berada di Semenanjung Malaya merupakan keturunan dari orang-orang Bugis yang paling berani dan paling pintar. Bagaimana tidak, ketika orang-orang Bugis lainnya memilih untuk tinggal di daratan Sulawesi (yang ketika itu ramai dengan perang saudara dan perang melawan pemerintah kolonial), maka orang-orang Bugis nenek moyang Yuna yang menolak untuk tunduk dalam kondisi yang memprihatinkan itu dengan segala keberaniannya memutuskan untuk berlayar ke Malaysia. Mereka dengan cekatan mampu bergaul, menelusup masuk ke tengah masyarakat dan diterima dengan baik di sana.
Yuna dan ribuan masyarakat Bugis yang lainnya yang berada di perantauan adalah keturunan dari bibit-bibit petualang sejati tersebut. Berbekal dengan prinsip "kegasi sanre lopie kositu taro sengereng" yang berarti dimana terdampar perahu maka di sanalah kehidupan ditegakkan, seorang perantau Bugis dituntut untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar serta berinteraksi dengan kebudayaan lokal yang menjadi kampung halaman barunya. Tak heran jika banyak generasi Bugis perantauan yang terkadang sudah tak mengerti Bahasa Bugis lagi karena intensnya proses peleburan yang mereka alami.
|
Ilustrasi Kapal dalam Naskah La Galigo |
Lagu Yuna "Terukir di Bintang" mengingatkan saya akan semangat bahari Bugis ini. Sebenarnya tidak hanya Suku Bugis saja yang memanfaakan langit sebagai "peta navigasi" dalam pelayaran tradisional mereka. Kebanyakan suku-suku lain yang berafisiliasi dengan laut seperti Bajo, Makassar, Mandar, Madura, Buton dan Melayu pun mengembangkan sistem pembacaan langit serupa. Peradaban yang berfokus pada kehidupan maritim juga umumnya memiliki istilah-istilah tersendiri untuk menyebut ombak di lautan. Ombak bagi mereka adalah kawan.
Layaknya seorang kawan, kadang-kadang mereka begitu pengertian dan mendukung kita dalam mewujudkan cita-cita. Akan tetapi, terkadang ada masa ketika kita pun terlibat konflik dengan kawan itu, menyebabkan kesulitan dan kesedihan. Suku Nias yang hidup di pulau-pulau kecil di sebelah selatan Pulau Sumatera juga mengenal macam-macam jenis ombak. Melalui pengetahuan lisan yang diriwayatkan dari nenek moyang mereka, orang-orang Nias dapat mengetahui ombak manakah yang mendatangkan tsunami, dan ombak manakah yang bermakna rejeki bagi komunitas mereka.
Ah, keren sekali sih alam Nusantara ini...
No comments:
Post a Comment