Pose pantai yang salah diterapkan di hadapan tebing Para Raja ini. |
Sangalla dulunya
merupakan sebuah kerajaan. Kerajaan ini diawali oleh turunnya sesosok manusia
sakti dari langit yang bernama Tomanurun Sandabilik. Di sebuah bukit bernama
Buntu Kalandoq, terdapat tebing yang menjadi pemakaman raja-raja Sangalla
keturunan Sandabilik. Dari sekian banyak lubang yang dibuat untuk erong jenazah
serta tau-taunya, terdapat sebuah figur tau-tau yang unik. Sebongkah patung
kayu tau-tau yang meniru sosok seorang wanita berpakaian adat lengkap terlihat
sedang mengacungkan keris dengan gagahnya. Tau-tau
ini konon pernah hilang beberapa tahun yang lalu karena dicuri oleh penjarah
makam dan dijual di Bali. Syukurnya, bekerjasama dengan polisi akhirnya
tau-tau tersebut dapat ditemukan dan dikembalikan ke tempat asalnya. Wuih, jadi
ingat kasus pencurian hiasan kodok dari perunggu yang jadi bagian dari gong
nekara di Pulau Selayar beberapa tahun lalu. Kodok perunggu tersebut dilas
hingga copot dari nekara kemudian dilarikan oleh pihak bertanggungjawab ke
Jakarta, untuk selanjutnya dijual ke lelang Christie di Singapore. Untuk saja
aksi tidak bertanggungjawab tersebut berhasil digagalkan, dan si kodok perunggu
kembali ke asalnya di Selayar.
Setelah puas berfoto di
tebing King’s Grave yang selintas mirip Petra itu, kami lalu dibawa makan siang
ke sebuah restoran di tepi sawah langganan Pak Ela. Restoran ini bersih dan
rapi. Saat kami tiba di sana, ada beberapa orang wisatawan asing yang juga
tengah menikmati makan siang. Sepertinya tempat ini cukup terkenal di antara
bule yang sedang berkeliling Sangalla (sayang saya lupa nama restorannya apa). Harga
makanannya tidak jauh beda dengan makanan yang disajikan di Riman. Saya memesan
nasi, fu yung hai berporsi besar dan jus jeruk yang total semuanya Rp
40.000,00. Setelah makan siang, kami dibawa melintas Pak Ela ke daerah
perkuburan Lemo, namun kami tidak masuk ke dalam karena Ran sudah cukup puas
melihat banyak sekali tengkorak hari ini. Alhasil kami pun hanya berfoto-foto
di pinggir jurang menyaksikan hamparan sawah hijau dan tebing-tebing berlobang
yang diisi oleh erong-erong dan tau-tau.
Dari Lemo kami menyusur
turun hingga ke lembah Sungai Saddang. Apabila peradaban besar Mesir berawal
dari Sungai Nil dan peradaban besar Mesopotamia berasal dari Sungai Eufrat,
maka peradaban besar Toraja (yang kelak menjadi cikal-bakal peradaban suku-suku
bangsa lainnya di Sulawesi Selatan) berasal dari Sungai Saddang. Saya dan
Aiyalee dipenuhi semangat ketika melihat aliran sungai yang mashyur itu. Sungai
Saddang mengalir dari daerah Ulu Saddang, Mamasa (Sulawesi Barat) hingga
membelah Tana Toraja di selatan. Sungai ini berperan sebagai sarana
transportasi warga, sumber air dan makanan, pembangkit listrik serta keperluan
sehari-hari lainnya. Sungai Saddang yang sejak ribuan tahun lalu mengaliri Tana
Toraja bagaikan nadi yang menggenjot kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kami diajak
untuk melihat-lihat keindahan Sungai Saddang dari atas sebuah bukit. Tidak hanya keindahan Sungai Saddang yang
kami temukan sore itu. Kami pun menyaksikan kegagahan Gunung Bua dikejauhan
dengan langit biru nan bersih serta hamparan sawah-sawah warga Sangalla sebagai
latarnya. Terakhir, sebelum memutuskan untuk berisitrahat dan mempersiapkan
diri pulang ke Makassar, kami dibawa Pak Ela ke sebuah desa dengan jejeran
tongkonan tua yang letaknya berada di atas bukit. One of the best view ever! Dari sini kami dapat mengambil foto
barisan tongkonan, langit Toraja nan bersih, Gunung Bua serta persawahan yang
dialiri oleh air dari Sungai Saddang. What
can I expect more than this?
Pak Ela yang ramah dan mobil sewaan kami. Bagi yang berniat ke Toraja, silakan hubungi beliau di 081342005003 |
Menjelang pukul 17.00
kami kembali ke Rantepao. Setelah berterima kasih kepada Pak Ela, kami berjalan
ke masjid di dekat pasar. Alhamdulillah, kali ini masjid itu terbuka dan
menerima kami. Setelah tidur-tiduran sebentar dan menunaikan ibadah sholat
maghrib, kami lalu berjalan ke Pasar Rantepao untuk mencari tempat makan malam.
Mata kami tertuju kepada sebuah warung makan bernama “Rocket Fried Chicken”. Kami
memutuskan untuk mencoba KFC-nya Rantepao itu dengan sedikit perasaan geli. Rasanya
lumayan, harganya Rp 15.000,00 sudah termasuk minuman (bisa pilih es teh atau
soda). Kami menghabiskan waktu dengan mengobrol dan tertawa-tawa ceria hingga
waktu menunjukkan pukul 20.30. Bus Litha tujuan ke Makassar tiba di pol Pasar
Rantepao pukul 21.00. Jarak RFC ke pol Litha hanya sekitar 3 menit jalan kaki
sehingga kami tidak terlalu terburu-buru.
Demikianlah petualangan
singkat kami di Tana Toraja: hanya 15 jam! Agak sayang sebenarnya karena kami
melewatkan “kampung di atas awan” tempat banyak batu megalith raksasa berdiri
dengan perkasanya di Batutumonga. Namun kami tidak menyesali itu, karena
berarti Toraja masih harus kami kunjungi lagi untuk dieksplorasi hingga ke
ujung-ujungnya. Wisata ke Toraja sebenarnya berbeda dengan kunjungan ke
tempat-tempat lainnya di Nusantara. Di sini kami melihat dan menziarahi
kematian. Kematian bukanlah sesuatu yang
jauh atau tabu untuk dibicarakan. Kearifan lokal Toraja justru memaknai
kematian sebagai sebuah keniscayaan sebagai mahluk ciptaan Tuhan, sehingga
kejadiannya pun patut dirayakan. Terima kasih, Toraja. Negeri orang-orang
mati yang masih hidup. Negeri yang bulat sempurna seperti Bulan dan Matahari
(Tondok leppongan Bulan tana Matariq Allo).
“Salamaq,
iamo di’e mappau-pau mappannassa uru-uruna diang tau di Toraya. Anna diang tau
dini, mula-mulanna Ulu Saddang mo naengei pottana. Iamo naoroi tappa
Tonipanurung di Langiq. Iamo mappebaine To Kombong di Bura.”
(Kalimat
pembukaan Lontaraq Pattapingan yang menjelaskan awal mula leluhur manusia-manusia
di Sulawesi Selatan dan Barat yang turun di Toraja)