Thursday, June 5, 2014

15 Jam di Tana Toraja (Part I)


Backpackeran ke Toraja akhirnya terwujud juga. Kali ini saya harus berterima kasih kepada sahabat saya, Zein Patradinata yang jauh-jauh datang dari bumi kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mengajak melihat keunikan alam serta kebudayaan Tana Toraja. Perjalanan singkat kami ini meninggalkan seribu kenangan yang menyenangkan!

Saya pertama kali mengunjungi Toraja ketika berusia 16 tahun. Saat itu saya diajak oleh teman SMP yang asli Toraja untuk melihat kampung halamannya di kaki Gunung Sesean. Pada kunjungan pertama tersebut, saya tidak mengunjungi obyek-obyek wisata yang tersohor di buku-buku panduan turisme Toraja, melainkan hanya menikmati pemandangan alam yang luarbiasa cantik serta menghabiskan waktu lebih banyak dengan kontak sosial bersama masyarakat sekitar. Saya memberanikan diri mencoba arak serta makan daging kerbau, juga naik ke atas tongkonan dan berjuang menghadapi malam demi malam yang penuh serangan nyamuk. 

Kali kedua saya ke Toraja ialah saat gubernur Syahrul Yasin Limpo meresmikan pembukaan program “Lovely December 2008”, yaitu bulan festival di kota Rantepao yang kemudian dirayakan setiap tahunnya. Saat itu saya nebeng dengan keluarganya Diku yang kebetulan diundang oleh Pak Gubernur. Kami tinggal di hotel mewah bernama Toraja Heritage Hotel yang lokasinya berada di puncak gunung. Esok paginya (26 Desember) kami disuguhi oleh beragam tari-tarian Toraja serta prosesi mappadendang alias menumbuk padi dengan lesung yang menghasilkan irama bak hentakan gendang di sebuah lapangan terbuka.

Ke Toraja yang ketiga kalinya ini, saya bersama tiga orang kawan yang tiga-tiganya masih perawan (baca: baru pertama kali ke sana). Awalnya kami bertiga berencana untuk menginap di sana. Berangkat hari jumat malam dan turun ke Makassar pada hari minggu malam. Namun setelah 1 hingga 1001 macam pertimbangan, maka kami pun memutuskan untuk membeli tiket berangkat ke Toraja jumat malam (30 Mei 2014) dan kepulangan sabtu malam (31 Mei 2014). Bermodalkan niat nekat plus ke-soktahu-an untuk menjelajahi Toraja dengan motor sewaan, kami berangkat menaiki Bus Litha (tarif AC VIP = Rp 120.000,00) dari polnya di samping SPN Batua, tepatnya pukul 21.00.

Kami tiba sekitar pukul 06.00 pagi di pol Litha Pasar Rantepao, Kab. Tana Toraja. Masih setengah sadar, sambil membawa tas dan perbekalan lainnya kami berjalan terseok-seok menuju ke masjid terdekat yang seingat saya ada di Pasar Rantepao, untuk numpang mandi dan sembahyang pagi. Benar, masjid berwarna pink dengan corak Toraja yang kental (adaptasi tongkonan dan kubah berwarna hitam-emas) masih berdiri tegar di tempatnya yang dulu. Sayangnya rencana kami terancam gagal karena masjid tersebut dikunci! Aduh, kebingungan lah kami karena tak tahu kemana lagi dapat menikmati segarnya air Toraja yang dingin serta tempat untuk sekedar berteduh mengumpulkan nyawa. 
Kami dengan berani memutuskan untuk menghadapi medan yang asing itu dengan terus berjalan untuk menemukan restoran (sebagian sudah lapar dan sebagian lagi kebelet nyetor pagi). Di tengah ketidakpastian bagai menunggu pengumuman Ujian Akhir Nasional, mendadak sebuah mobil tua mendekati kami. Ya, dialah Pak Ela! Pak Ela si guide yang menawarkan jasanya di depan pol Litha Pasar Rantepao namun kami tolak karena kepede-an ingin menyewa motor saja keliling Toraja Selatan. Pak Ela ternyata menemukan kami yang malang ini dan menawarkan jasa sebesar Rp 350.000,00 keliling Toraja Selatan seharian, sudah termasuk bensin dan makan beliau. Setelah dipikir-pikir, untuk kami berempat itu sebenarnya tidak terlalu mahal. Maka tschuss, kami sepakat untuk menerima jasa Pak Ela. Dengan mobil tua itu dibawanya kami menuju tempat makan, istirahat, buang air, dan bersih-bersih yang paling layak: Restoran Riman di Jalan Andi Mappanyukki, Pasar Rantepao.

Restoran Riman toiletnya bersih dan akses airnya lancar. Kami diizinkan untuk mandi saat menunggu pesanan tiba. Harga makanannya sedikit mahal, di atas standar kantong mahasiswa (*nasi campur = 30.000,00 dan jus jeruk = 10.000,00), namun harus saya akui bahwa rasanya tergolong enak. Setelah bahagia karena berhasil memulihkan diri dari kotornya jasmani serta letihnya nurani, kami pun berangkat. Obyek wisata tujuan pertama kami ialah Desa Adat Ketekesu. Ketekesu terletak sekitar 5 km dari kota Rantepao. Tiket masuk ke Ketekesu –dan juga ke setiap situs sejarah di Tana Toraja lainnya- sebesar Rp 10.000,00 per kepala. Desa ini amat bersih dan rapi. Letaknya berada di sebelah danau kecil yang asri. Dari kejauhan, kami sudah melonjak-lonjak gembira saat melihat barisan tongkonan di pinggir danau tersebut. Lebih melonjak-lonjak gembira lagi ketika menyaksikan di antara tongkonan tersebut terdapat batu-batu menhir setinggi pinggul orang dewasa berdiri pada jarak-jarak tertentu. Sungguh, cantik sekali!

Di belakang barisan tongkonan Ketekesu, terdapat jalan setapak kecil menuju ke sebuah tebing yang cukup tinggi. Tebing ini terletak di antara bentangan sawah dan hutan. Di tebing-tebing tersebut kami menyaksikan banyak sekali erong (*peti kubur yang bentuknya seperti perahu) dan ratusan tengkorak. Tebing tersebut merupakan situs pemakaman kuno Toraja. Selain itu terdapat pula pata’ne atau rumah kubur yang di depannya terdapat tau-tau alias boneka kayu yang bentuknya menyerupai almarhum. Agak serem sih, namun kami juga excited karena akhirnya dapat menyaksikan keunikan Toraja ini secara langsung. Kami menghabiskan waktu selama kurang-lebih 1 jam di Ketekesu. Pak Ela terlihat agak sedikit tergesa-gesa karena ingin membawa kami ke desa terdekat untuk menyaksikan prosesi Rambu Soloq alias pesta kematian. Rambu Soloq? Wah, betapa beruntungnya kami! Tidak setiap hari lho kamu bisa datang ke Toraja dan menyaksikan ritus langka yang jadi ciri khas masyarakat Tana Toraja ini!

Selfie dengan Tongkonan di Ketekesu
Saat tiba di lokasi Rambu Soloq, kami berjalan malu-malu masuk ke arena yang dijadikan sebagai laga “genosida kerbau”. Seorang ibu berjilbab hitam dan bersarung Toraja tiba-tiba datang menghampiri kami, dengan manisnya menawarkan apakah kami ingin menyaksikan prosesi tersebut dari jarak dekat. Ternyata sang ibu adalah cucu dari almarhumah nenek yang tengah dipestakan tersebut. To my surprise, she is a genuine muslim. Padahal selama tinggal di Makassar seluruh teman saya yang bersuku Toraja hampir bisa dipastikan pemeluk agama Katolik atau Protestan. Akan tetapi ternyata agama Islam pun telah dianut oleh banyak orang Toraja, bahkan hingga di pelosok pegunungan Rantepao ini. Sang ibu menyuruh kami berempat untuk mengikutinya. Dengan patuh kami menurut, berjalan menembus kerumunan masyarakat biasa, melewati tongkonan induk, hingga ke rumah-rumahan bambu yang khusus dibangun untuk keluarga dekat. Astaga, betapa beruntungnya kami dapat tempat VIP untuk menyaksikan Rambu Soloq sedekat ini! Meskipun pada detik-detik selanjutnya wajah kami berubah pucat menyaksikan 24 kerbau hitam dibantai selama prosesi tersebut, kami tetap bersyukur serta berterima kasih kepada sang ibu yang telah dengan baik hati mengizinkan kami menjadi bagian dari keriuhan pesta adat tersebut.

Pesta Kerbau pada perayaan Rambu Soloq
Dari perayaan Rambu Soloq, kami dibawa Pak Ela menuju ke Desa Karuaya. Sumpah, I must say that the scenery in this village is among the bestest view i’ve ever seen in my life! Desa Karuaya tidak termasuk di dalam daftar tempat pariwisata mainstream yang biasa diumbar-umbar untuk turis. Pak Ela sengaja mengajak kami ke tempat ini karena tahu kami tidak sedang mencari tempat wisata belaka. Desa Karuaya adalah pilihan yang tepat. 

Tongkonan warganya masih asli, belum dimodifikasi serta penduduknya pun masih hidup dengan amat sederhana. Akses jalanan yang jelek terbayar ketika kami menyaksikan barisan tongkonan di pegunungan serta hamparan sawah menghijau hingga ke kaki langit. Kami diajak untuk singgah ke salah satu tongkonan tua yang masih dianggap orisinil oleh warga sekitar serta befoto dengan seorang nenek-nenek. Dari Karuaya kami terus melaju ke pedalaman menuju ke Desa Kambira. Kambira terkenal dengan obyek wisata baby’s grave atau kuburan bagi bayi yang belum tumbuh giginya. Zaman dahulu, sebelum agama Kristen atau Islam masuk ke Tana Toraja, apabila ada bayi yang belum tumbuh giginya meninggal maka bayi tersebut akan dikuburkan di dalam sebuah pohon di kampung Kambira ini

Pohon yang dipilih pun tak sembarangan. Sebuah pohon bernama tarraq yang banyak getah putihnya dianggap suci untuk menerima jasad bayi-bayi tersebut. Getah pohon tarraq dianggap cocok sebagai pengganti air susu ibu, agar roh bayi-bayi tersebut dapat terus hidup beriringan dengan pertumbuhan sang pohon. Dari pohon Kambira yang beratmosfir mistis kami dibawa ke tongkonan keluarga juru kunci pohon (yang saya lupa namanya) untuk dijelaskan filosofi ruang demi ruang serta hiasan ukirnya. Setelah itu kami juga diajak ke rumah almarhum tantenya di sebelah tongkonan tersebut. Sang tante telah meninggal sejak setahun yang lalu namun jasadnya masih disimpan di dalam peti mati pada sebuah kamar di rumahnya. Untuk pertama kalinya kami mendapatkan akses langsung melihat mumi Toraja yang terkenal itu! (*meskipun mumi yang ini hasil formalin sih, sebab di Toraja modern sekarang sudah tidak digunakan lagi ilmu-ilmu untuk membangkitkan mayat maupun memumikan mayat).

Anggota geng backpacker saya kali ini: Zein, Aiyalee, saya sendiri, dan Ran
Bersambung...

No comments: