Sabtu, 20 Desember 2014
Saat sedang melipat-lipat sweater untuk dibawa ke Itali dalam rangka Christmas Break, saya melirik kalender di atas meja belajar. Sekejap terkesima memandang tanggal itu dan bulan itu. Ah, tepat setahun yang lalu ya? Iya, sudah genap. Saya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Duduk di depan tas yang penuh berisi perlengkapan mandi, handuk, kaos, celana dan segala tetek-bengek lainnya. Persis setahun yang lalu. Saat itu saya juga sedang duduk di atas lantai sambil memandangi tas yang penuh berisi pakaian dan koper yang berisi bermacam perbekalan.
Jumat, 20 Desember 2013, jangan pernah kalian lupakan! Itu saat Batara Guru, yang diperankan oleh Fahmi, turun ke bumi. Ia ditugaskan oleh Datu PatotoE, Sang Raja Penguasa Boting Langiq, untuk mengisi Ale Lino (Dunia Tengah) dengan umat manusia. Ia turun terbungkus bambu betung berwarna hijau, diiringi oleh lengkingan suara sopran mbak Puspa dan gelegar suara tenor saya. Bersama raungan gitar Ucup, hentakan cajon si Gendon, dimulailah pembukaan episode paling awal La Galigo ini. Keluar ia dari bambu betung itu, diriuhkan oleh bass si Jody, alunan flute July serta gesekan biola Mandira dan Himawan. Lalu kemudian Batara Guru mulai membentuk gunung, sungai, pepohonan, serta beragam margasatwa untuk mengisi kosongnya alam raya. Waktu berjalan, hingga kemudian samar-samar terdengar petikan kecapi Ulil saat We Nyiliq Timoq (diperankan oleh Ina) muncul dari Lautan Timur, menunggu dijemput dewata yang kini
Manurung (mewujud manusia) untuk dijadikan istri. Lalu, perayaan besar pernikahan pertama di Dunia Tengah pun berlangsung. Turun dewi-dewi kahyangan yang dipandu oleh mbak Candri dan Diva menyampaikan
pakkuruq sumangeq untuk Batara Guru dan We Nyiliq Timoq.
Malam itu tidak benar-benar ada suara gong, bunyi gendang, atau gemulai gerakan penanda khasnya kebudayaan Bugis. Batara Guru pun tidak mengenakan pakaian yang semestinya (meskipun entah apa pakaian yang kira-kira ia pakai di zaman itu).
Akan tetapi, bukan fisik La Galigo yang kami coba tunjukkan. Kami tak mau menjual harapan palsu. Ruh epos terpanjang di dunia itulah yang coba kami hadirkan, dengan tafsiran kami sendiri. La Galigo yang versi kami. Kami dicemooh karena serba kekurangan. Namun justru kekurangan itulah yang membuat kami bangga. Perjuangan menutupi kekurangan demi kekurangan itu yang membuat kami kuat. Dengan hadir di sini, melihat antusiasme penonton di KBRI yang membludak dan bahkan ikut ke panggung untuk menari di akhir sendratari, airmata haru menggenangi mata kami karena merasa dihargai.
20 Desember 2013, jangan dilupakan! Oleh sebab adanya hari itulah kita semua, rombongan La Galigo Music Project beserta Ran sebagai salah satu pendiri Lontara Project dan Faizt sebagai videografer bisa menginjakkan kaki ke negeri Belanda di musim dingin. Oleh sebab adanya hari itulah kita bertemu hati-hati yang ikhlas lagi baik seperti kak Daus, kak Dodo, kak Narti, mbak Dhani, kak Juli Silalahi, dan lain sebagainya. Oleh sebab adanya hari itulah kita lalui masa-masa persiapan berat yang sekarang hanya bisa kita bayangkan saja karena telah lewat sebagai masa lalu.
Hey, kalian. Selamat tanggal 20 Desember 2014. Konon, esok adalah hari terpendek di belahan bumi utara. T
api kenangan yang ada bersama kalian tahun lalu di hari ini adalah kenangan yang kuselip rapi di dalam memori jangka panjangku. Tuh, kan. Masih saja dibuatnya aku cekikikan sendiri atau mengelap mata sedih saat mengingatnya.
Salam hangat kawan, dimanapun kalian berada hari ini!
(aku merinding karena tak percaya bahwa aku menulis ini dari Leiden!)