Friday, November 13, 2015

Membenci IPT 1965

Kita benci pada sesuatu bisa jadi karena dua hal: pengalaman yang tak menyenangkan dan juga ketidaktahuan.

Benci ini mungkin awalnya hanya bertumbuh dari perasaan tidak suka. Seiring dengan berjalannya waktu maka ketidaksukaan ini pun terpupuk bersama rasa kesal. Kesal lalu dengan kreatifnya mengakumulasi ketidaksukaan tersebut menjadi sebuah perasaan baru bernama benci. Dari formula tersebut kesimpulan sederhana saya adalah: perasaan tidak suka yang bercampur kesal akan menciptakan benci.

Saya berikan ilustrasi untuk lebih gampang menggambarkannya:
Saya, membenci pelajaran matematika waktu SD dulu. Awalnya saya hanya tidak suka dengan matematika karena rumit dengan rumus, ruwet oleh angka dan menurut saya tidak seseru pelajaran lain yang saya sukai seperti menggambar atau bernyanyi. Ketidaksukaan ini lalu disusupi oleh rasa kesal karena nilai-nilai yang kurang bagus terus menghantui saya di hampir setiap lembaran PR yang dikoreksi oleh bu guru. Si kesal ini dengan pintarnya menghasut saya untuk kemudian membenci si matematika. Bahkan seguru-gurunya juga kalau perlu (jika si guru ini memang kebetulan orangnya menyebalkan).

Benci yang kedua lahir dari ketidaktahuan. Manusia mungkin pada dasarnya adalah xenophobe. Kita takut dengan hal-hal yang asing, yang tidak sealiran atau selaras atau sama dengan kita. Agama yang satu membenci agama yang lain hanya karena memiliki pandangan yang berbeda terhadap Tuhan atau ritualnya dianggap "lain". Politikus yang satu membenci politikus yang lain hanya karena ideologi politik atau acapkali kepentingan mereka yang berbeda. Syrian refugee yang masuk ke Eropa Barat dipandang alien oleh rekanannya sesama manusia hanya karena tampilan fisik serta tindak kultur mereka tidak sama dengan para pengungsi lainnya yang sudah nyolong start di sana (ingat dulu pasca WWII Eropa Barat juga dihujani oleh pengungsi dari Eropa Timur yang kemudian beranak-cucu hingga tiga generasi di sana hari ini?). Kita adalah xenophobe, kita membenci sesuatu karena tidak memahami apa yang berbeda dengan apa yang kita miliki, ntah itu dalam basis apa yang kita yakini maupun perbuatan yang lazim kita lakukan sehari-hari.

Oh well.

Ketidaktahuan jugalah yang kemudian membuat kita membenci International People's Tribunal 1965 yang sedang happening banget di Belanda saat ini. Beberapa berita yang tersebar di tanah air menggambarkan ketidaktahuan yang nyata hingga berujung pada kebencian atas pengadilan rakyat yang tidak memiliki daya ikat hukum sama sekali ini. Ada artikel yang muncul dari ucapan Wapres Jusuf Kalla hingga sejarawan Anhar Gonggong bahwa Belanda akan menerima imbas atas kejahatan perang Westerling di Sulawesi Selatan karena berani-beraninya mengadakan pengadilan ini di Den Haag. 
Nieuwe Kerk, Den Haag. Lokasi IPT 1965

Ada pula yang mengatakan bahwa bagaimana mungkin pemerintah Indonesia bisa diadili karena Tribunal ini sendiri sebenarnya tidak resmi. Tuh, kelihatan bukan bahwa ketidaktahuan bisa membuat kita sempoyongan dalam kebencian. Kita benci karena kita tidak tahu. Bagaimana jika pada akhirnya kita tahu bahwa Tribunal ini sebenarnya bukan bentukan pemerintah Belanda melainkan diprakarsai oleh orang-orang Indonesia yang bermukim di luar dan dalam negeri serta aktifis-aktifis HAM dari berbagai kewarganegaraan? Namanya saja jelas-jelas "people's tribunal". Bagaimana jika pada akhirnya mereka harus "mundur isin" karena ternyata Tribunal ini bahkan tidak mendapatkan sorotan yang menghebohkan dari publik Belanda dan kota Den Haag sekedar dipilih dengan alasan pragmatis karena di kota inilah tribunal-tribunal resmi PBB lainnya digelar?

Saya sih tidak mendukung siapa-siapa di sini. Saya hanya tidak suka dengan statement yang diplintar-plintir dan kebencian yang bersumber dari ketidaktahuan. Masih mending jika ingin mencari tahu, namun bagaimana jika tidak mau tahu dan terus-menerus mengeluarkan kebencian? Saya tidak tahu sejauh apa media berperan di sini, karena belakangan sejumlah statement yang dikeluarkan oleh mahasiswa Indonesia di Belanda mampu dimainkan sedemikian rupa untuk mengadu domba antara pemerintah dan warganegaranya sendiri.

Genosida atas nama apapun adalah haram hukumnya, itu stance saya. Agar kita pintar dan menghindari yang namanya benci karena ketidaktahuan maka yuk kita cari tahu. Saya hadir di IPT 1965 bukan karena saya simpatisan golongan X, Y, Z namun semata-mata hanya untuk memenuhi kewajiban moral saya sebagai insan intelektual: mencari tahu agar tidak membenci tanpa alasan. Mari, pintar-pintar kita mengelola rasa benci di hati.

Leiden,
13 November 2015
12.51

No comments: