Monday, January 12, 2009

Thoughts in January 2009

Friday, 2 January 2009

FRIDAY, JAN 2nd 09

Well, I don’t know how to put it rightly, but let me start this writing with things passed-by inside my mind.

It’s the second day of New Year 2009, and it’s gloomy. The sky above Makassar rained, and nothing you could do outside. This noon, I was flip-flopping my own mind; whether decided to go to the mosque for Friday Prayer in the middle of windy-rain (I can’t find any ugly slippers. Dad wore mind, and I got some traumatic experience by wearing nice slippers or shoes to the mosque) or just stay calm inside my room and feel guilty to God. But after some tense from my mother and not-quite-inspiring arguments by my sister which forced me to go to the mosque, I went there wearing my broken shoes. No one would steal it, I belief.

Today is the seventh day since Israel attacked Palestine and left a massive destruction with so many victims. Most of them are civilians of course, and that stupid Zionist still couldn’t understand the meaning of freedom and peace that every single humanitarian around the world shout to them. This afternoon when I watched TV each channel was giving the same story about the war that is going on. It’s hurt me, it’s hurt millions of soul that knows the story of Palestinian children.

I can’t think straightly today. You know, I only have 2 days left from my holidays! Too bad. Then when I come back to school, I’ve to warn myself that we are entering the last semester of school year, which is the craziest, the hardest, the saddest, and also the most stressful. I have made an appointment to hang out with my AFS fellows tomorrow (which is today. Because it’s 12:36 AM already). Tila is coming from Palu and she only has one day to be with us. The fool thing is that I also already made arrangement meeting with Kak Mira and her English camp. I’ll be one of the instructor on that camp but seriously I messed up everything so then I have to meet her tomorrow (which is today) and make up the whole plan. So then everyone could be happy and I could enjoy the rest of the day.

Today I got stomachache. Horrible. The best reason to explain it is perhaps because I’ve been eating rendang and pallumara this past few days.

Oh yeah, I also have a plan with Agus to join a huge demonstration house by Hizbut Tahrir Indonesia on Sunday. This is gonna be my first demonstration ever! Ha ha, kinda excited.

God, I got insomnia again. This is the worst one. It’s all started three day ago. Don’t know why. Maybe because I ate too much rendang without any variation of dishes. Well, all I know is because of this damn wretched trouble sleeping disease, I’ve kinda heard weird voices inside my head (or maybe because I was influenced by the movie Joan of Arc that I watched recently). Gosh, I felt like something corrupted my faith. But I just ignored it. I belief God always be with His good humble servant. And there’s a dozens of more serious problem that my head need to be turned on.

People are counting on me. I’m nervous. Uh oh. Final exams! And then the university. Uh! My back is so itchy. My arms and neck also. I think it’s because of the weather. It’s humid, wet, and gloomy. Perfect timing for me to got another hives again. Lord has mercy on me. Well, gotta go to bed right now. It’s 12:49 AM already. I’m alone. Mom and dad are sleeping, Nanda and Rani too, so does Mas Din. Gotta go to bed now. Bye.

Senin, 12 January 2009

Kenapa ya, begitu sukar bagi seseorang untuk memahami arti kebebasan orang lain. Apakah kebebasan berpendapat maupun berpikir sebegitu buruknyakah sehingga hal tersebut dapat menimbulkan bencana bagi orang lain?

Saya hanya mau belajar, mempelajari apa yang ingin saya pelajari. Karena bagi saya belajar itu adalah sebuah kebutuhan, bukan sebuah paksaan. Belajar itu yang akan membawa kita menjadi ahli di bidang kita masing-masing, bukan justru menjadi penghalang menuju arah yang kita inginkan. Toh segalanya hanya masalah waktu dan kesempatan. Tidaklah menjamin apabila seseorang dengan nilai ijazah sempurna akan selalu mendapatkan semua yang mereka cita-citakan di dalam hidup.

Sejarah telah menunjukkan dihadapan kita bagaimana seorang anak gembala yatim piatu miskin di Arabia nan gersang ditunjuk oleh Tuhan Yang Mahakuasa sebagai penyampai risalah-Nya. Anak serupa Einstein yang dulunya dianggap ‘agak miring’ nyatanya mampu untuk menciptakan sebuah teori pencetus terciptanya senjata pemusnah massal yang membuat mata dunia terbelalak ketakutan. Dan bahkan seorang pemuda canggung yang ditolak mentah-mentah dari sebuah akademi seni bergengsi di Vienna, Austria menjelma menjadi seorang Adolf Hitler yang namanya saja membuat merinding banyak orang. Dunia tidak sepatutnya hanya dimiliki oleh satu orang atau sebagian kelompok saja. Hakikatnya, seluruh manusia mempunyai hak yang sama di mata Tuhan, sebagai disebut di dalam Kitab Al-Qur’an bahwa kita ini telah ditunjuk sebagai khalifah-Nya di atas muka bumi.

Tapi tetap saja, apa yang dianggap baik oleh seseorang belum tentu pula dianggap baik oleh orang lainnya. Ada banyak pertimbangan. Dan juga banyak paksaan yang diiringi oleh ketidakpuasan. Semuanya merupakan bagian dari hidup bermasyarakat. Oleh karena itu pula kebebasan yang saya permasalahkan di sini pun bak koin dengan dua belah sisi. Tergantung dari mata si pengamat hendak melihat ke sisi yang mana.

Seandainya budak-budak Afrika yang diseret dari tanah kelahirannya menuju Benua Amerika dulu keturunan mereka tidak dianggap setara melalui Perang Saudara masa Abraham Lincoln, akankah Beyonce Knowles, Michael Jackson, atau Oprah Winfrey dapat setenar sekarang ini? Seandainya Belanda tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia, apakah Anda yakin kita dapat menjadi sebuah bangsa yang ‘Indonesia’ seperti saat ini? Bukankah dulunya kita ini terpisah oleh ratusan etnik grup dan bahasa serta budaya yang berbeda satu sama lain? Seandainya Soekarno tak pernah lahir, dapatkah kita merayakan 17 Agustus setiap tahunnya? Atau (jika Anda seorang Muslim) bagaimana jika seandainya Anda lahir di tengah lingkungan keluarga Hindu yang taat, apakah Anda akan mempunyai pandangan serta cara hidup seperti yang Anda miliki sekarang?

Dan sekarang dunia ini semakin lama semakin butek rasanya. Agresi Israel ke Palestina, telah merenggut ribuan nyawa negara malang itu. Namun dunia ini buta. Mayoritas orang hanya bisa mengerling sesaat kepada gambaran mayat warga sipil Palestina yang terkapar di atas usungan lalu lupa apa yang baru saja mereka lihat pada menit berikutnya. Kemudian bencana alam di tengah musim hujan turut pula meramaikan layar kaca. Berita cerai selebritis. Kecelakaan di jalan raya. Kerusuhan. Kenakalan remaja. Apakah segalanya memang selalu dapat kita lihat dari dua sisi? Bagaimana cara kita dapat memahami visi yang jelas-jelas berseberangan dengan apa yang kita percayai? Dapatkah seseorang pada saat yang sama mendukung Israel tapi bersimpati pula pada Palestina? Melihat atau berada di dalam dua sisi itu amatlah sukar. Jadi, kebebasan itu sebenarnya adalah ancaman atau sebuah anugerah? Di pihak yang mana Anda berdiri? Rasa-rasanya dunia ini dipenuhi oleh hal-hal bodoh dan konyol nan terasa menyenangkan...


“Kebenaran itu adalah apa yang ingin kamu dengar atau percayai.”
(Julius Caesar)

No comments: