Tuesday, June 2, 2009
Amerika dari kacamata seorang remaja muslim Indonesia
Tahun lalu adalah sebuah kebahagiaan sekaligus anugerah dari Allah SWT bagi saya. Sebagai seorang remaja yang sedang puber-pubernya dilanda oleh gejolak darah muda yang menggelegak saya diberi kesempatan untuk mewakili pelajar tanah air selama setahun di negri Paman Sam. Pengalaman yang saya dapatkan di sana sungguh tak terbandingkan. Setiap detik yang saya alami begitu berharga di dalam kepingan-kepingan memori. Mungkin saya tidak akan menjadi seperti ‘Ahlul’ yang sekarang tanpa melewati masa-masa tersebut.
Dulu sebelum berangkat ke Amerika, opini saya terhadap negri dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia itupun tak jauh dengan pandangan awam masyarakat Indonesia yang telah tergeneralisasi. Bayangan ‘superpower-haus minyak-nan kapitalis’ yang disajikan oleh media begitu nyata. Demikian pula dengan pencitraan sebagai ‘musuh’ dari beberapa kalangan keagamaan. Rasa sedih serta sakit hati yang didera oleh warga Afghanistan, Irak, Vietnam serta kesengsaraan yang muncul di Palestina seakan tak lepas dari tangan Amerika yang menggerakkan sendi-sendi dunia. Amerika adalah perwujudan dari si bos besar yang membawa kehancuran bagi negara-negara dunia ketiga terutama negara-negara Islam. Masih banyak lagi hal-hal berbau negative yang dapat dikait-kaitkan dengan negara asal KFC dan Pizza Hut ini. Oleh karena itu, ketika mengikuti seleksi pertukaran pelajar pada sebuah program internasional yang memang telah memiliki nama, saya sudah meniatkan untuk tidak ingin memilih Amerika sebagai negara tujuan. Saat itu saya tergabung dalam rohis SMA serta rasa ketidaksukaan yang dalam telah terpupuk di dalam benak saya terhadap negri yang diserang oleh Osama bin Laden itu. saat itu saya berpikiran bahwa pergi ke Amerika hanya akan menemukan dosa dari pergaulan bebas remajanya. Saya lebih memilih untuk pergi ke negara lain seperti Jepang atau Belgia.
Namun rupanya nasib berkata lain. Alhamdulillah saya berhasil melewati tahap-tahap seleksi pertukaran pelajar tersebut, hingga akhirnya tibalah saat pembagian negara tujuan bagi siswa-siswa se-Indonesia yang dinyatakan lulus. Saya yakin segala sesuatu telah menjadi kehendak Allah. Demikian pula halnya ketika saya mendapatkan Amerika sebagai negara tujuan. Awalnya jujur saya kurang begitu senang. Saya iri dengan teman yang mendapatkan negara lain seperti Jepang dan telah berangkat awal. Akan tetapi kemudian saya ingat bahwa mungkin ada hikmah tersembunyi yang Allah kehendaki melalui pilihan yang jatuh kepada saya ini. Maka setelah segala persiapan yang panjang dilakukan, pada tanggal 4 Agustus 2007 saya meninggalkan tanah air menuju kiblat negara-negara dunia; Amerika Serikat.
Apa yang terjadi selanjutnya selama hampir setahun tinggal di sebuah kota kecil bernama Athens di wilayah negara bagian Ohio sungguh memberikan pelajaran hidup yang penting. Mata saya seakan-akan terbuka seperti saat seorang bayi kecil pertama kali melihat dunia. Amerika yang telah terbentuk di dalam pikiran saya itu berbeda dengan Amerika yang sekarang saya alami. Meskipun penduduk negri ini bukanlah penganut agama Islam dari segi agama akan tetapi keteraturan serta kedisiplinan yang mereka praktekkan merupakan teladan nabi. Waktu adalah pedang, ujar sebuah pepatah Arab. Di Indonesia metode jam karet telah lama diterapkan pada kehidupan sehari-hari, akan tetapi jangan harap Anda bisa menggunakan system yang sama di sekolah saya, Athens High School. Setiap pagi pukul tujuh tepat sebuah bus sekolah berwarna kuning akan muncul diujung Columbus Avenue, jalan raya di dekat rumah keluarga angkat saya berada. Bus hanya akan menunggul sekitar 2-3 menit, selebih itu apabila tidak ada anak sekolah yang muncul maka sang sopir akan segera menancap gas menuju sekolah. Tidak ada kata terlambat karena segala sesuatu berjalan sesuai schedule. Sehari-hari di sekolah bel akan berbunyi pada waktunya, dalam sebelum itu tidak ada seorang murid pun yang boleh berkeliaran di hallway. Kelas pun tak pernah kosong tanpa guru. Ditunjang oleh fasilitas yang baik, kebersihan terjaga, buku-buku menarik, jaringan internet serta guru-guru muda yang tidak canggung untuk bercanda dengan muridnya saya merasa nyaman dengan sekolah menengah atas di Amerika.
Orang-orang yang saya temui pun rata-rata berpikiran terbuka. Sebagai contoh host-mom (ibu angkat) saya yang seorang dokter. Ia suka sekali mendengar cerita tentang betapa uniknya Indonesia. Saya memberitahunya tentang keanekaragaman negara yang bersuku-suku ini. Bahkan di tempat saya bermukim di Sulawesi Selatan saja ada empat etnis yang hidup berdampingan sambil tetap membawa cirri khas bahasa dan budaya masing-masing. Teman-teman saya terkejut sewaktu saya mengatakan bahwa Indonesia terdiri lebih dari 17.000 pulau. Pun mereka juga terkejut ketika mengetahui bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah kaum muslim terbanyak di dunia. Gambaran yang diciptakan oleh media Barat (yang cendenrung pula memojokkan grup-grup islam) membuat mereka berpikir bahwa orang-orang Islam itu adalah orang-orang Arab. Salah satu kelas favorite saya selama berada di sana adalah kelas Sociology dan Psychology. Di kelas itu biasanya kami bereksperimen dengan sesama siswa atau memberikan presentasi berupa pendapat kita tentang materi yang dipelajari. Sungguh tidak membosankan, karena kami bahkan hampir tak pernah harus membuka buku, kecuali untuk mendapatkan referensi atau membaca teori. Cara transfer ilmu yang dilakukan tidaklah monoton sebagaimana yang banyak dikeluhkan oleh siswa-siswa di tanah air.
Kemajuan yang dimiliki oleh negara ini pun patut diacungi jempol. Internet bukanlah hal yang langka di sana. Ada wifi yang dapat di akses dimanapun Anda berada. Demikian halnya dengan peredaran buku-buku berkualitas. Saya sejak dulu gemar membaca dan semenjak melihat begitu kayanya khazanah Amerika dengan buku-buku spektakuler saya menjadi begitu iri. Bahasa Inggris sebagai bahasa utama dunia memungkinkan saya untuk membaca karya-karya langka yang belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bahkan buku-buku tentang Islam yang tak dapat ditemukan di tanah air pun ada. Perpustakaan umum selalu ramai dikunjungi. Pada hari jumat dan sabtu biasanya orang tua akan datang ke Athens Public Library sambil membawa anak-anak mereka. Sebuah piknik yang mendidik. Hal itu ditunjang pula oleh dekorasi perpustakaan yang nyaman, lapang, bersih, terang serta teratur. Seluruh buku disampul dan dalam kondisi yang prima. Tidak hanya itu, disediakan pula beberapa komputer untuk online serta kaset-kaset cd dan dvd. Anda dapat meminjam buku berapa pun banyaknya secara gratis, tentunya setelah membuat kartu anggota.
Jika tidak pernah menginjakkan kaki di negri Paman Sam, mungkin saya tidak akan menjadi setoleran sekarang ini terhadap pemilik agama lain. Saya merasakan betul bagaimana rasanya menjadi minoritas. Bayangkan, ketika bulan Ramadan tiba, hanya ada dua orang yang berpuasa di sekolah saya! Hari raya Idul Fitri pun tidak terhitung sebagai hari libur sehingga saya harus minta izin dari sekolah untuk merayakannya di Islamic Center. Di negri sendiri azan selalu terdengar bersahut-sahutan lima kali sehari, namun di Athens suara azan adalah hal yang asing. Namun saya tidak menyalahkan Amerika karena itu. justru saya diajari untuk merasakan hal yang juga dialami oleh kaum minoritas di negara kita. Selama berada di sna, saya juga tidak pernah mengalami prilaku diskriminatif dari warga Amerika yang katanya anti-islam itu. Mereka malah terkejut ketika melihat mengapa seorang muslim bisa begitu fleksibel memakai kaos dan celana jeans karena mind-set yang ada dalam benak mereka seorang muslim itu haruslah berjanggut dan memakai sorban. Problem yang sebenarnya tercipta di antara Amerika dan Dunia Islam sebenarnya adalah ketidak-terbukaan. Masyarakat dikedua belah pihak akhirnya tidak mengetahui dengan baik perihal satu sama lain sehingga dengan mudahnya termakan oleh stereotype-stereotype.
Bisa dikatakan bahwa Amerika yang sekarang ini adalah kota Baghdad yang kaya akan pengetahuan serta kemajuan pada zaman dahulu. Berbagai bangsa datang ke negri Paman Sam bukan hanya untuk mencari penghidupan semata namun juga untuk menuntut ilmu. Amerika adalah negri yang multicultural, sehingga agak susah sebenarnya jika disuruh mendefenisikan karakteristik warganya secara khusus. Amerika bukanlah negri kulit putih, karena di sana kita dapat menemukan seorang Amerika yang berkulit hitam, seorang Amerika yang berperawakan Cina, seorang Amerika yang beraksen Latin dan seorang Amerika yang muslim.
Saya belajar banyak dari negri yang didirikan oleh George Washington dan para cendikiawan lainnya itu. Tidak hanya mengagumi pelayanan publik yang cepat serta memuaskan atau kebebasan warganya untuk menyuarakan hak-hak mereka, tapi juga pelajaran akan kebijaksanaan terhadap sesama. Kebaikan-kebaikan suatu negara tentu diiringi pula oleh kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, akan tetapi demi menjembatani perbedaan dan mengukuhkan perdamaian dunia untuk apa kita menengok yang buruk-buruk. Saya yakin, suatu saat nanti Indonesia dan Amerika mampu berubah menjadi lebih baik. Khususnya Amerika, semoga usaha-usaha saling tukar pikiran antara Islam dan Barat yang belakangan ini marak dilaksanakan dapat menggenjot potensi yang dimiliki negara itu untuk menampilkan wajah yang lebih ramah kepada kaum muslim.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment