Mengapa saya berkesimpulan seperti itu?
Oktober tahun lalu saya membeli sebuah buku berjudul "Sriwijaya" karya Profesor Slamet Muljana. Beliau adalah salah seorang sejarawan utama Indonesia. Kemampuan beliau dalam membaca naskah-naskah dan prasasti-prasasti kuno dipadu dengan analisis yang tajam menghasilkan banyak penelitian menawan yang membongkar masa lalu Indonesia. Beliau tidak mau menerima hasil penelitian ilmuwan dari bangsa lain dengan tangan terbuka tanpa menelaahnya terlebih dahulu. Beliau bahkan berani menentang pendapat sejarawan lokal yang telah sepuh jika pendapat mereka dianggap tidak sesuai dengan fakta yang Ia temukan di lapangan.
Di dalam buku "Sriwijaya" Profesor Muljana dengan sangat teliti meramu berbagai bahan untuk mengurai benang kusut terkait negri Suwarnadwipa yang dulu pernah berjaya mengontrol arus perdagangan internasional antara India dan Tiongkok. Salah satu kesimpulan beliau yang lumayan mengejutkan ialah mengenai letak geografis Ho-Ling. Berdasarkan kronik Cina, pernah ada sebuah kerajaan yang makmur sejahtera dimana pelabuhannya ramai dikunjungi pedagang mancanegara serta ilmu agama berkembang dengan sentosa. Negri tersebut dipimpin oleh seorang ratu yang adil bijaksana, amat tegas menegakkan keadilan, tidak seperti pemerintah kita jaman sekarang atau hakim-hakim berbayar di pengadilan. Dari kronik Cina itulah sejarawan lokal kemudian menyusun mitos mengenai Ratu Sima dan Kerajaan Kalingga.
Nama "Kalingga" dianggap transliterasi yang tepat dari nama "Ho-Ling". Kalingga yang makmur sentosa dibawah kepemimpinan seorang rajakula wanita tadi dinisbatkan terletak di Pulau Jawa. Kalingga dipercaya sebagai kerajaan nenek moyang dinasti Sailendra dan Sanjaya dari Mataram Kuno. Teori tersebut mashyur dan bahkan diajarkan di bangku-bangku sekolahan. Kalingga menjadi semacam negri idola berbudaya Jawa-India yang hadir di masa lampau dan patut kita kenang. Akan tetapi, bagaimana jika ternyata negri yang disanjung-sanjung tersebut tidak terletak di Pulau Jawa melainkan Kalimantan? Berbekal kronik Cina, hipotesa geografis, serta bahan-bahan kuno lainnya, Prof. Muljana menyerang teori lokasi Kalingga di Jawa. Keterangan lebih lanjut dapat kawan-kawan baca sendiri di buku beliau.
Candrasengkala Candi Penataran, Blitar. Kala penjaga tahun. |
Menurut saya fenomena ketidak-statisan sejarah ini amat menarik. Tidak ada yang tetap seperti paku tertancap di atas kayu, sifat sejarah itu seperti air yang terus-menerus mengalir dari perbukitan menuju lembah-lembah. Saya pribadi pernah mengalami peristiwa lucu bagaimana sejarah itu memiliki dua sisi dan dapat ditafsirkan terbalik. Di Makassar, tokoh seperti Arung Palakka dihujat sebagai pengkhianat di kelas-kelas sejarah. Karena aksinya bekerja sama dengan Belanda, Sultan Hasanuddin kalah dan kerajaan Gowa carut-marut.
Pada suatu hari, saya bertemu dengan seorang kawan yang berasal dari Soppeng. Soppeng sejak dulu adalah wilayah Bugis yang kental persahabatannya dengan Bone (kerajaang Arung Palakka). Ketika sedang berdiskusi mengenai sejarah Sulawesi Selatan, Ia menegaskan bahwa Arung Palakka merupakan seorang pahlawan yang membela harkat, derajat, dan martabat negrinya. Terus terang saya bingung. Sedari dulu yang saya dengar dan pahami di kelas sejarah, Arung Palakka ialah penjahat yang menyebabkan Belanda bercokol di negri Gowa. Senada dengan pendapat saya, seorang kawan dari Luwu juga menegaskan bahwa Arung Palakka merupakan seorang pengkhianat. Masuk akal jika kawan saya berkata seperti itu, sebab pada kenyataannya Luwu pernah diserang oleh pasukan Arung Palakka dan jatuh ke dalam dominasi Bone.
Lantas, bagaimana kita bisa merujuk kepada sejarah jika pada dasarnya Ia sendiri penuh dengan ketidakpastian dan tercemari oleh berbagai kepentingan? Napoleon Bonaparte pernah berkata: "Sejarah dibuat oleh pemenang." Kenyataan itu ada di luar sana, tergantung bagaimana seseorang menilainya. Paparan para ahli sejarah yang seharusnya obyektif bisa saja berubah menjadi subyektif di tangan para peneliti lokal. Ilmu bagaikan mara pedang, ujar Imam Ali, tergantung kepada pemakainya. Apabila kenyataan yang telah dirumuskan dengan scientific methode ciptaan Roger Bacon tidak sesuai dengan pendapat umum, maka akan muncul penolakan. Penolakan tadi berujung kepada penemuan kembali fakta, tapi kali ini harus yang bersesuaian dengan keinginan publik. Atau, jangan-jangan kenyataan itu sendiri sebenarnya tidak boleh dirumuskan secara ilmiah?
Omong kosong dapat menjadi sebuah sejarah apabila dikemas dengan apik. Kita, generasi yang hidup belakangan ini adalah generasi yang hebat. Karena dengan segala keterbatasan yang kita punya, kita masih dapat belajar dari generasi masa lalu dan menghakimi mereka seenaknya. Semoga kelak di masa depan anak-cucu kita dapat memandang hari ini sebagai sejarah yang terang, agar mereka dapat belajar dari ketidaksempurnaan abad ini.
No comments:
Post a Comment