Sunday, June 24, 2012

Ketika Diplomasi Serumpun Seringan Membuat Teman Baru


                Apa yang terbayang di dalam benak anda ketika mendengar kata “Malaysia”? Perebutan pulau-pulau terluar, kasus penyiksaan buruh migran Indonesia, serta klaim budaya berada di tiga urutan teratas ketika kami menanyakan pertanyaan tersebut kepada mahasiswa. Pemberitaan di media terkait Malaysia hanya berkisar hal-hal itu sehingga wajar saja sebagian besar masyarakat kita cukup puas dengan gambaran negatif terhadap jirannya tanpa perlu mencari tahu lagi. Namun bagaimana jika ternyata dibalik isu-isu negatif itu, hubungan Indonesia-Malaysia amatlah akrab, bahkan saling mempengaruhi satu sama lain?

            LONTARA PROJECT atau La Galigo for Nusantara yang merupakan sebuah gerakan konservasi kreatif budaya-budaya lokal di Sulawesi Selatan oleh para pemuda, pekan lalu (25 hingga 29 Mei 2012) mengadakan kunjungan kebudayaan ke Malaysia. Dengan mengusung tema cultural diplomacy dalam bentuk seinformal mungkin, tim kami berusaha menjembatani perbedaan perspektif antara kedua negara dengan cara mengunjungi situs-situs bersejarah yang memiliki kaitan dengan Bugis di Malaysia serta berdialog langsung dengan rekan-rekan pelajar dari Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
            Tim cultural diplomacy kami yang terdiri atas Muhammad Ahlul Amri Buana (UGM), Fitria Sudirman (UI), Rahmat Dwi Putranto (UGM), serta Muhammad Ulil Ahsan (Mercubuana Jogja) difasilitasi oleh Prof. DR. Nurhayati Rahman agar dapat berbicara dihadapan khalayak mahasiswa dan dosen Akademi Pengkajian Melayu. Atas dukungan beliau, kedua negara dapat saling melihat, mendengar, dan bertukar pikiran tanpa media yang acap kali tidak meng-cover both sides. Pada kesempatan ini pula tim kami mengajak pemuda-pemuda di negara Siti Nurhaliza untuk ikut bergabung dalam usaha melestarikan budaya dan nilai-nilai lokal bangsa melalui seni, industri kreatif, dan produksi-produksi baru lainnya agar dapat diterima kalangan luas di era globalisasi ini.   
            Sejarah jelas tidak dapat menyembunyikan besarnya pengaruh para migran Bugis awal dalam pembangunan Malaysia. Lima dari sembilan sultannya merupakan keturunan Bugis; situs-situs klasik yang mewakili berdirinya keraton Selangor, Johor, dan Melaka pun adalah saksi nyata atas percampuran budaya Bugis-Melayu di nusantara. Artefak-artefak berelemen khas Bugis serupa pakaian berbenang emas dengan motif sulappaq eppaq, sundang atau keris Bugis, mahkota, perhiasan emas, badik, tombak, serta baju zirah terpajang indah di Galeri Diraja Sultan Shalahuddin bin Abdul Aziz maupun Muzium Nasional Malaysia. Silsilah raja-raja Selangor yang berhulu di Raja Lumu, seorang tokoh Bugis pemimpin perlawanan terhadap VOC, menyiratkan kebanggaan para pewaris takhta atas darah Sulawesi yang mereka miliki. Nisan-nisan yang mengukir nama-nama dengan gelar-gelar Bugis-Makassar serupa Opu dan Daeng pun seakan-akan membenarkan silsilah-silsilah tersebut.

            Di Malaysia sendiri, keturunan Bugis diaspora sejak abad ke-18 jumlahnya tidak sebanyak migran dari Jawa maupun Minangkabau, akan tetapi peran mereka paling krusial. Dari lima etnis nusantara yang bercampur baur dalam identitas Melayu-Islam (dua lainnya ialah Aceh dan Banjar), suku Bugis lah yang secara dominan bermain di sektor politik. Tun Abdul Razak yang merupakan Perdana Menteri Malaysia pertama ialah keturunan Bugis Maros, demikian halnya dengan Perdana Menteri yang menjabat sekarang, keturunan Gowa. Seluruh keturunan masyarakat Sulawesi Selatan di Malaysia secara simpel digolongkan sebagai “Bugis”, meskipun jika dikaji secara mendalam individu yang bersangkutan dapat saja berasal dari Makassar, Mandar, ataupun Luwu.      
Pada kunjungan tim La Galigo for Nusantara kali ini, selain menyempatkan diri menyaksikan regalia-regalia kesultanan Selangor yang berkaitan dengan Bugis di museum maupun istananya, kami juga mendapat kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan seorang keturunan diaspora. Mohammad Zahamri Nizar, tetapi kami akrab memanggilnya dengan sebutan abang. Pria pendiam yang murah senyum ini adalah seorang keturunan Bugis dari Perak. Meskipun tidak dapat berbicara Bahasa Bugis, kecintaan beliau terhadap budaya leluhurnya ini terus membara. Entah sudah generasi Bugis yang keberapa, namun abang meluapkan kecintaan kepada leluhurnya ini dengan melakukan banyak riset mengenai peran Bugis di Semenanjung Melayu. Beliaulah yang dengan antusias mengajak kami berkeliling Kuala Lumpur, Shah Alam hingga Kampung Kuantan dalam rangka menapak tilasi jejak kakek moyangnya ketika memasuki daratan yang terpisah ribuan kilometer dari Sulawesi.
            Perjalanan kali ini kami ditutup dengan banyak pengalaman dan pelajaran baru. Pelajar-pelajar di Akademi Pengkajian Melayu berjanji untuk mengadakan kerjasama dengan La Galigo for Nusantara, tim kami pun menyambut niatan baik tersebut serta menunggu kedatangan mereka untuk berkunjung ke Indonesia. Batas-batas negara yang tercipta antara Indonesia dan Malaysia adalah garis-garis geopolitik yang tercipta dari abad ke-20. Namun batas-batas itu tidak dapat melumerkan dinamisnya budaya untuk melintasi ruang dan waktu melalui percampuran penduduknya. Pembauran kebudayaan inilah yang kerap menuai kontroversi; apakah budaya dibatasi secara geopolitis atau dapat pula diwariskan melalui darah? Kesalahpahaman yang marak diperbincangkan belakangan ini ialah ketika di Indonesia kita menolak tradisi-tradisi asli bangsa dilestarikan di Malaysia, padahal mereka juga keturunan asli pemilik budaya tersebut. Kenyataan bahwa Indonesia dan Malaysia adalah negara serumpun dengan bahasa dan identitas yang mirip semakin dilupakan orang. Kedua bangsa saling melihat dengan tatapan asing.
Diplomasi kebudayaan yang kami lakukan kali ini seringan menjalin perkawanan baru dengan pelajar-pelajar Universiti Malaya. Tidak ada heboh-heboh perkara batik, rendang, ataupun reog. Yang kami sadari adalah bahwa kedua bangsa ini faktanya memang serumpun. Semoga di masa mendatang melalui generasi mudanya kedua negara dapat kembali menjalin persahabatan yang mesra, tidak hanya secara politis, tetapi juga secara kekeluargaan.  

Yogyakarta, 6 Juni 2012

No comments: