Warga fakultas hukum kaku, tidak peduli lingkungan dan keadaan sekitar, serta tidak berseni? Kemungkinan besar iya. Saya saksinya. Di tempat saya belajar menuntut ilmu selama tiga tahun belakangan ini saya menyaksikan bagaimana untuk hal simpel dan se-obvious patung saja tidak ada yang peduli.
Patung? Memang apa pedulinya mahasiswa hukum dengan patung?
Sini, saya ceritakan duduk perkaranya.
Di fakultas saya, ada dua buah patung yang ditempatkan di ruang publik. Yang pertama merupakan patungnya Pak Koesoemadi. Beliau merupakan tokoh yang berjasa dalam pendirian sekolah hukum ini.
Patung kedua ialah sebuah replika 'Garuda Wisnu" setinggi 2 meter. Garuda Wisnu ini terbuat dari kayu, konon sengaja dibuat kembar oleh seorang seniman Bali sesuai pesanan alumni Fak. Hukum yang telah mapan dan menjadi duta besar Republik Indonesia untuk Swiss. Si dubes ini menghadiahkan sebuah patung untuk alma maternya tercinta, sedangkan yang satu lagi Ia boyong untuk diletakkan di ruang kerjanya di Swiss. Patung ini sekarang terletak di Gedung IV Fak. Hukum UGM.
Kedua patung ini fungsinya tidak untuk disembah-sembah atau dipuja-puja (dangkal sekali jika ada yang menuduh demikian!), melainkan sebagai hiasan. Yup, memang patung itu berfungsi sebagai penyedap mata, pelengkap keindahan seni arsitektur dan lain sebagainya. Tapi ada satu fungsi patung itu, fungsi utamanya, yang kini mulai terlupakan.
Kedua patung itu merupakan sebuah monumen, penanda jati diri, pengingat akan suatu peristiwa tertentu, dan bahkan menyimpan makna-makna simbolis tertentu. Patung Pak Koesoemadi adalah sebuah perwujudan dari cita-cita untuk menciptakan insan penegak hukum di negara yang saat itu baru seumur jagung. Mimpi dimana suatu saat nanti negara hukum yang berdemokrasi terwujud di Asia Tenggara. Negara dimana semua orang setara di hadapan hukum dan keadilan (entah itu distributiva atau kommutativa) ditegakkan.
Kedua patung tersebut sekarang benar-benar cuma menjadi hiasan di fakultas saya. Miris melihat patung Pak Koesoemadi yang tersembunyi di balik jambangan bunga besar, di ceruk yang bahkan tak diperhatikan orang. Lebih miris lagi melihat patung Garuda Wisnu besar yang terpajang hampa di tengah Gedung IV. Setiap orang melewatinya setiap hari, sekedar lewat tanpa bertanya dalam hati "mengapa patung ini ada di sini? Apa sejarahnya?". Jangankan bertanya, dibersihkan saja tidak. Selama tiga tahun berkampus di FH UGM, tidak pernah sekalipun saya melihat patung ini dibersihkan. Walhasil debu patung ini luarbiasa tebalnya, setebal make up mahasiswi semester baru (yang masih menganggap kalau kampus itu adalah mall).
Warga fakultas hukum kaku, tidak peduli lingkungan dan keadaan sekitar, serta tidak berseni? Kemungkinan besar iya. Saya saksinya. Untuk benda se-artistik, seindah, se-filosofis kedua patung itu saja mereka yang sering berkoar-koar tentang keadilan dan rakyat kecil, sama sekali tidak sensitif. Tidak aware. Tidak tanggap. Ketidakpedulian terhadap apa yang ada di depan mata, terhadap apa yang jelas-jelas berada di sekitar kita tercampakkan oleh sesuatu yang lebih besar nun jauh di sana, di luar kampus.
Haruskah ini dipermasalahkan? Persoalan sepele macam patung ini? Yah, semuanya bermula dari patung di FH UGM, lalu ke Lambang Negara, ke Bendera Negara, Lagu Kebangsaan, dan seterusnya dan seterusnya. Simbol, bagi segelintir orang yang kering filosofi, adalah tidak berharga.
Saya tidak tahu. Yang jelas saya kecewa. Kedua patung itu pun jika seandainya dapat bicara pasti akan mengutarakan hal yang sama. Betapa kini makna tidak dihargai.
Namun, kedua patung itu tetap berdiri.
No comments:
Post a Comment