Sosok Sinta Ridwan pertama kali saya kenal dari tayangan Kick Andy Heroes di Metro TV.
Saat itu Ia ditampilkan sebagai seorang gadis muda yang menderita sebuah penyakit langka; Lupus. Akan tetapi, Sinta tidak mendapat anugerah dari Kick Andy karena penyakitnya itu.
Sinta adalah seorang filolog muda yang berjuang melawan kondisi yang lemah untuk mewujudkan cita-citanya melestarikan aksara kuno di Nusantara. Keteguhannya berkeliling ke berbagai tempat untuk berburu naskah kuno, menyalinnya, serta mengumpulkan data-data untuk menciptakan sebuah museum online naskah kuno pertama di Indonesia-lah yang menyebabkan Kick Andy menganugerahinya award. Sebuah cita-cita yang mulia diiringi tekad yang kuat walau terhalang keterbatasan berhasil membuat seorang Sinta Ridwan mencuri perhatian saya. Ia adalah segelintir dari mereka yang menjadi inspirasi saya dalam hidup ini.
Tahun lalu, saat Heritage Camp dirancang untuk pertama kalinya, saya langsung mengusulkan nama Sinta Ridwan sebagai pembicara di sesi "Manuscript and Documentations". Bagi saya, seorang Sinta Ridwan adalah pengejawentahan dari makna "konservasi kreatif" yang kami gadang-gadangkan selama ini. Tidak ada yang bisa menghalanginya untuk berkelana hingga ke Sumatera, berbagai pelosok Jawa dan kawasan Indonesia Timur untuk mengamati naskah-naskah tersebut. Jiwa muda terus membara sebagai energi yang mengisi tubuhnya yang ringkih.
Saat Heritage Camp berlangsung, Ia bercerita betapa unik dan kayanya tradisi tulis-menulis di nusantara ini. Pengalamannya menghirup racun yang tersimpan dalam gulungan pustaha Batak selama ratusan tahun hingga mendengar pembacaan mantra gempa bumi yang sedetik kemudian disusul oleh gempa Jakarta (kebetulan?) berhasil membuat kami yang mendengarnya merasa takjub. Masih banyak lagi pengalaman seru Sinta sepanjang bergulat dengan naskah kuno; ntah itu yang berhubungan dengan hal-hal magis, penemuan-penemuan mutakhir yang tersembunyi di balik selimut ketradisionalan leluhur, maupun keindahan-keindahan bahasa kuno yang menyusun penciptaan naskah-naskah tersebut. Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari sebuah naskah kuno, ujar Sinta. Tidak hanya isinya (yang dapat berupa sejarah, silsilah, hikayat, mantra, nyanyian, nasehat, dll) tapi juga dari bentuk huruf, alat dan media tulis, serta latar belakang sosial yang mendorong penulisan naskah tersebut.
Pokoknya, leluhur nusantara ini keren banget lah, tegas gadis kurus dengan senyum manis ini.
Sinta padahal awalnya belajar Sastra Inggris di UNPAD untuk pendidikan S1-nya. Berawal dari keisengan mengambil kelas filologi di semester akhirnya, Sinta ditantang oleh sang dosen untuk menguasai aksara tradisional Nusantara (saya lupa persis apakah Ia ditantang untuk menguasai tiga jenis aksara nusantara atau hanya satu saja). Tantangan ini memicu adrenalin Sinta untuk terus menggali dan mempelajari lebih dalam tentang tulisan Sunda Kuno, area yang menjadi spesifikasinya. Keisengan tersebut ternyata berubah menjadi lebih dari sekedar ingin tahu. Begitu lulus, Sinta langsung meneruskan pendidikan S2-nya dengan fokus naskah kuno. Kini Ia tengah merampungkan studi S3-nya -masih di bidnag yang sama-. Bahasan tesisnya di S3 ialah sebuah upaya untuk membalik teori akademiawan Barat selama ini: aksara tradisional Nusantara sejatinya tidak sekedar diadopsi dari aksara Pallawa India saja, melainkan aksara tersebut benar-benar asli dari Nusantara, yang kemudian mendapat pengaruh asing. Berani menantang teori yang sudah mapan dan diciptakan oleh para sejarawan senior membuat saya tercengang sekaligus semakin mengagumi sosok Sinta Ridwan.
Terima kasih telah bersedia berbagi, Sinta Ridwan. Dirimu memang tak kering oleh harapan.
No comments:
Post a Comment