Sekarang ini, jika ada yang ingin belajar Bahasa Kawi, bahasa tua para leluhur Jawa yang diabadikan lewat liuk-liuk aksara di atas batu-batu atau lempeng logam, Ia pasti akan membaca karya-karya Zoetmulder atau Pigeaud. Kamus buatan bangsa-bangsa berkulit putih itu, sejauh ini adalah buku-buku terbaik yang mendata bahasa yang digunakan oleh nenek moyang bangsa ini. Tak bisa disalahkan memang, karena tiada bumiputera yang berminat untuk mendaftar kata-kata Kawi dan menggali-gali apa makna-maknanya setelah sang maestro Poerbatjaraka mangkat. Pak Poer dulu tak pernah belajar formal apalagi kuliah, tapi Ia gemar belajar dan tekun memuaskan rasa keingintahuannya. Kini, ketekunan untuk memuaskan keingintahuan itulah yang tak dimiliki oleh anak muda.
Sekarang ini, belajar Islam saja tak perlu ke tanah suci karena di Inggris sana sudah terbuka banyak sekali universitas-universitas yang menawarkan program studi tentang orientalisme, dengan jajaran profesor yang siap mengajar dan dana besar untuk penelitian. Membaca Alquran tak perlu lewat guru-guru ngaji karena google sudah dapat mengajarkan segalanya, termasuk memberikan arti tanpa perlu susah-susah belajar Bahasa Arab.
Aku takut teman, takut karena kelak yang dibaca oleh anak-cucu kita tentang negeri ini bersumber pada majalah-majalah asing.
Dan ketika sebuah kendi kuno berajah aksara berbahasa kuna ditemukan di bawah kolong rumah, kamus-kamus Barat itulah yang mereka pakai untuk melongok kekayaan bangsanya di masa lampau.
Ku terbangun di tengahnya malam dan menggeliat-geliat gelisah: menangiskah Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka di alam kuburnya jika membaca tulisan tak bermutuku ini?
Pak Poer dan Wayang. Sumber: http://sang-agastya.blogspot.com/ |
No comments:
Post a Comment