Monday, September 22, 2014

Sosiologi Rumah Belanda: Antara Lahan, Free-Will dan Rahasia dalam Kamar

Di Belanda, semuanya bisa.

Anda mau mengonsumsi marijuana sampai mual-mual tidak enak badan keesokan harinya atau menikmati pertunjukan erotis di area khusus seks komersial, semuanya boleh. Di sini tidak boleh melarang orang sembarangan, karena hak pribadi untuk mengekspresikan diri maupun untuk melakukan apapun yang seorang individu kehendaki dilindungi oleh negara. Keterbukaan bukanlah sesuatu yang tabu, sebagaimana di tanah air. Keterbukaan dapat muncul dari vulgarnya gaya seseorang berpakaian, frontalnya seseorang dalam berbicara maupun liarnya ide-ide yang terlahir dari pikiran. Keterbukaan ini menjadi salah satu ciri masyarakat Belanda yang paling kentara. Ketika berbicara, mereka akan amat sangat direct serta seperlunya saja, tidak mengenal basa-basi. Terkadang jawaban yang jujur dapat menimbulkan kesan yang kurang menyenangkan di hati bagi lawan bicaranya.

Lucunya, keterbukaan dalam masyarakat Belanda ini bersinergi dengan antonimnya: ketertutupan. Keterbukaan tidak kemudian dengan serta-merta menjadi lawan bagi kebalikannya. Keterbukaan yang mereka pamerkan itu pada hakikatnya justru lahir dari sebuah ide yang mengakar kuat tentang privasi, individualisme dan kerahasiaan.

Ketika untuk pertama kalinya saya mengunjungi Belanda pada akhir tahun lalu, pemandangan rumah-rumah kecil mereka yang menempel satu sama lain serta letak pintu dan jendelanya yang begitu dekat dengan pinggir jalan amatlah mengundang perhatian. Rumah-rumah mungil mereka itu semuanya memiliki jendela besar dengan korden yang tidak pernah ditutup, sehingga anda yang lalu-lalang di jalan umum dapat melihat: acara tv apa yang sedang mereka tonton; makan malam apa yang sedang dihidangkan; hingga merek meubel apa yang mereka pajang di woonkamer (ruang tamu). Jelas, bagi jiwa seorang Indonesia yang serba ingin tahu, saya tak tahan untuk segera melongok-longokkan kepala dengan norak ke sana-sini memandangi isi perabot rumah mereka. Itu, kalau kejadiannya di Indonesia -dimana tetangga beli mobil baru aja kita yang sibuk- mungkin akan menuai banyak konflik sosial. Akan tetapi, di sini orang-orang Belandanya sendiri tidak memiliki rasa ingin tahu sebesar yang kita punya. 

Jejeran rumah di kota tua Haarlem. Typisch Nederland, tipikal Belanda beud.
Ketidakpedulian Belanda atas urusan orang lain ini menurut hipotesa saya pribadi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yang paling kentara adalah faktor lahan. Anda tentunya tahu kan bahwa sebagian daerah di Belanda (utamanya provinsi Holland, Zuid Holland dan Zeeland) sejatinya berada di bawah permukaan air laut. Bangsa Belanda menggunakan teknologi bendungan untuk mengeringkan air laut serta saluran kanal untuk mengatur curah air. Keterbatasan lahan ini kemudian menciptakan kepentingan individual atas properti yang ia miliki. Lahan = mahal,  mengakibatkan setiap orang memiliki perasaan yang sama atas lahan tersebut: urusilah properti anda sendiri, tidak usah ikut-ikutan mengurusi lahan saya, apalagi setelah runtuhnya feodalisme. Lahan yang cuma seiprit serta terbatas ini juga kemudian memicu lahirnya kesadaran kolektif yaitu tidak ingin diganggu oleh orang lain, prevensi untuk menghindari konflik agraria. Walhasil masyarakat bertipe individualistis pun lahir, yang karakternya jelas berbeda jauh dengan masyatakat komunal seperti bangsa Indonesia (dimana secara vice versa komunalitas itu sejatinya juga disebabkan karena luasnya lahan yang dijadikan sebagai ruang hidup).  

Gang sempit di kota Leiden, dimana jarak rumah (area privat) dan jalanan (area publik) terlihat tipis, namun sejatinya tertutupi oleh sebuah dinding tebal yang tak kasat mata.
Faktor kedua ialah kuatnya sense of free will yang disebabkan oleh ketidaksukaan mereka terhadap opresi atau persekusi. Di sini, sejak dahulu kala Belanda telah menerima para pengungsi Yahudi, Protestan, separatis Maluku dan (sekarang) imigran Muslim dari negara-negara dunia ketiga. Orang-orang tersebut merupakan korban opresi dari pemerintah atau institusi agama di negara asalnya. Ketika di zaman abad pertengahan rawan terjadi konflik sektarian Protestan v. Katolik dan pengganyangan etnis Yahudi, Belanda membuka lebar-lebar lengannya bagi para pengungsi tersebut. Munculnya Decree of Toleration oleh Perserikatan Utrecht pada tahun 1579 mengundang banyak sekali pengungsi malang dari negara-negara Eropa lain yang intoleran dan opresif. Keturunan dari para pengungsi inilah yang kemudian turut berjasa membangun Pax Hollandica, menjunjung tinggi kebebasan berpikir serta beragama (sewaktu agama masih merupakan salah satu unsur esensial dalam kehidupan mereka). Beberapa di antara pengungsi ini yang terkenal adalah filsuf Baruch Spinoza (keturunan pelarian Yahudi dari Spanyol) dan penulis kamus Pierre Bayle (seorang Huguenot Protestan yang kabur dari Prancis). Kontribusi dari para pencari suaka inilah yang kemudian membawa Belanda menuju ke Era-Era Keemasannya. Iklim kebebasan berpikir Belanda membuat masalah-masalah doktrin agama menjadi tidak penting. Kami tidak peduli maupun ingin mengetahui apa yang orang Yahudi atau Muslim itu makan di dapur mereka sepanjang mereka tidak membuat masalah bagi orang lain; begitu kira-kira prinsip orang Belanda.

Satu lagi hal menarik yang terlihat dari rumah-rumah sempit khas Belanda ini adalah fakta bahwa mereka sebenarnya adalah sebuah bangsa dengan jiwa pedagang era medieval. Perdagangan internasional yang mereka lakukan dari Hindia Barat hingga Hindia Timur membutuhkan biaya yang amat besar. Tidak heran jika kemudian mereka amat berhemat (ingat, Belanda bukanlah negara yang kaya akan sumber daya alam. Penemuan kincir angin sebagai alat untuk memproses gandum juga sebenarnya timbul karena desakan alam mereka yang kurang bersahabat). Kebiasaan ini membuat mereka terkesan kikir dalam hal pengeluaran. Berbeda dengan bangsa petani, persaingan bagi masyarakat pedagang adalah hal yang lumrah. 

Jika ditilik dalam sejarah, kapitalisme lahir pertama kali di muka bumi ini dari Amsterdam dan London, yang ditandai oleh penciptaan perusahaan (VOC dan EIC) serta sistem perbankan modern. Para pedagang ini saling berkompetisi satu sama lain, termasuk salah satu metodenya adalah dengan menyembunyikan rapat-rapat rahasia dagang yang mereka miliki dari pihak lain. Mentalitas ini terpelihara selama ratusan tahun, bahkan mengendap sebagai karakter mereka. Oleh karena itu tidak heran jika dalam Bahasa Inggris istilah untuk bayar makanan sendiri-sendiri ialah Go Dutch. Semangat hidup itu pula yang lalu memfondasi rumah-rumah sempit mereka: meskipun kecil, sepanjang rahasia di dalam rumah ini tetap berada di tempatnya, tetap di dalam kamar, kami semua bahagia. Tidak usah nguping atau mikirin urusan orang lain, hush!

Itulah sebabnya mengapa di sini ada area khusus yang disediakan untuk menikmati kegiatan seks komersial, bebas mengonsumsi marijuana, bahkan hingga legal untuk melakukan perkawinan sesama jenis. Mind your own business, stay away from other's property and take care of your own deep dark secret.

Di Belanda, semuanya bisa.


16:58
22 September 2014
Leiden

No comments: