Dinginnya November memberi tanda bahwa sebentar lagi dedaunan akan gugur dan bunga-bunga akan mati
Seiring dengan diseretnya Persephone kembali ke dunia bawah dan ibu kami Sang Hyang Sri menangis mematikan kesuburan tanah, di tepi Sungai Rijn mengalir sekanal Gangga kecil
Kamu boleh marah kepada matahari, yang setiap hari muncul di sampingmu dan mengirim kerling penuh arti
Namun ketika kau tadahkan tangan untuk mengharap hangat darinya, ia terpaku diam, sungguh tak berguna
Kamu juga boleh menuduh bulan sebagai si pembohong tulen, yang jago menukar-nukar janji
Karena cahayanya yang temaram di butanya malam ternyata bukan miliknya, namun terpancar dari si matahari, yang sama saja tak bisa menjawab tentang kehangatan
Lalu terus saja kita berjalan, tinggalkan kedua putra Izanagi itu, menyusuri kanal Gangetje yang isinya adalah air mata
Gondola kecil berisi rempah-rempah dan gula, serta burung-burung aneka warna dari Hindia berlayar di tengahnya
Si pendayung bernyanyi dengan lantang, meneriakkan dosa-dosa Antwerp dan Amsterdam,
Kisah lama akan meriam-meriam Portugis dan senapan-senapan Spanyol, serta pundi-pundi Inggris di pedalaman
Tak peduli apakah kau seorang Katolik atau Protestan, seorang Sunni ataupun Syiah
pengikut Gautama, penyembah Siwa atau Krisna, semuanya sama
Kita orang-orang dengan wajah di dada, setengah binatang, telanjang penuh bulu dan berkaki besar
Kini memakai kaos kaki wool dan boot, topi-topi rajut dan jaket-jaket nan tebal
Kurang ajar kau, matahari. Kau tipu aku lagi, bulan. Aku masih kesal.
Aku sungguh tak ingin terjebak dalam dinginnya November. Maka Tuhan, bakarlah aku dalam api-Mu. Panas-panas.
Leiden,
11 November 2014
10:32
No comments:
Post a Comment