Tugas-tugas pra-PK yang beragam yaitu mulai dari membuat biodata singkat teman seangkatan hingga video yang menampilkan pesona Indonesia serta tetek-bengek lainnya benar-benar merupakan sekumpulan gangguan di tengah kelas-kelas kuliah yang masih harus saya ikuti setiap harinya. Belum lagi kewajiban untuk memantau terus perkembangan yang terjadi melalui grup Whatsapp maupun milis google yang hanya dapat saya lakukan di sela-sela tugas harian dan skripsi. Terus terang, perbedaan waktu antara Belanda - Indonesia menjadi halangan terbesar dalam hal komunikasi antara saya dan kelompok 6. Saya seringkali kelewatan hal-hal penting yang dibahas di grup besar atau grup kelompok hanya karena persoalan waktu. Bayangkan, ketika saya masih lelap tertidur, di belahan bumi yang lain kawan-kawan seangkatan saya sudah sibuk membahas ini-itu sehingga membuat percakapan di Whatsapp bisa menumpuk hingga 700 conversations. Alhasil, setiap pagi saat baru membuka mata, sambil menghela napas dalam-dalam saya harus menyisir seluruh pembicaraan tersebut dari atas ke bawah sambil menyebut-nyebut nama Tuhan Yang Maha Besar untuk diberi ketabahan.
Setiap pagi, saya selalu berpikir: perkara macam apalagi yang akan saya hadapi hari ini? Posisinya saat itu saya masih harus membuat paper serta presentasi untuk kelas-kelas saya, belajar plus mengerjakan tugas-tugas Bahasa Belandanya Rene yang tentu saja jumlahnya tidak sedikit, serta membaca banyak sekali buku untuk bahan skripsi. Harap maklum, di program studi ini saya memang dituntut untuk menggunakan primary sources berupa dokumen-dokumen Belanda dari zaman kolonial. Membaca bahan berbahasa Belanda modern saja saya masih terbata-bata, apalagi menelusuri informasi dari koran-koran swasta yang terbit di tahun 1800-an dan arsip-arsip resmi pemerintah Hindia Belanda pra-kemerdekaan. Sebenarnya saya cukup beruntung karena untuk topik yang saya pilih kebanyakan bahannya tersimpan di koleksi KITLV Perpustakaan Leiden University. Saya hanya tinggal nyebrang jembatan untuk ke perpustakaan dan menekuni bahan-bahan yang ada. Teman-teman saya yang lain harus bolak-balik ke Nationaal Archief di Den Haag demi mengakses bahan-bahan skripsi mereka. Akan tetapi, tetap saja saya masih kesal.
Apa sih esensinya mengerjakan hal-hal remeh-temeh (jika dibandingkan dengan skripsi saya yang lajunya selambat siput ini) itu? Bukannya hanya membuang-buang waktu dan membuat repot teman-teman lain yang kebanyakan tengah bekerja dan sudah berkeluarga ya? Kekesalan saya semakin menjadi-jadi karena saya masih harus mencari tiket pulang kembali ke tanah air dan meminta izin dari koordinator saya selama seminggu (lagi). Sebelumnya di bulan Februari saya juga telah mendapat izin untuk bolos kelas demi mengikuti interview tahap 2 di Jogjakarta. Sebenarnya berdasarkan ketentuan akademik Leiden saya sudah tidak diperkenankan untuk bolos lagi, akan tetapi setelah lobi kanan-kiri akhirnya koordinator saya memperbolehkan kondisi khusus sekali ini saja. Sekali lagi saya membuat rekor: jadi mahasiswa Cosmopolis satu-satunya yang boleh pulang-balik ke negeri asalnya dua kali dalam setahun.
Ketika akhirnya mendarat di Cengkareng, badan saya ini pegelnya luarbiasa. Naik Lufthansa selama 15 jam dengan dua kali transit di Frankfurt dan Kuala Lumpur benar-benar menyedot energi. Masih diiringi oleh rasa letih dan diserang oleh jetlag, keesokan paginya saya harus memaksakan diri untuk tampil prima di pembukaan PK. Sehebat-hebatnya saya menahan kantuk, ya yang namanya desakan biologis pastilah menang. Berkali-kali pelupuk mata saya ini meluncur turun, merindu untuk berdempet dengan pasangannya di bawah sana. Kantuk ini begitu hebat karena jam tidur saya (yang sebenarnya sudah kacau karena jetlag) amatlah singkat di hari-hari berikutnya. Akibatnya saya selalu lemas dan memilih untuk pasif demi menyelamatkan energi yang tersisa. Saya mungkin termasuk salah satu dari mereka yang ditegur karena mengantuk saat sesi, but come on, I didn't do it on purpose. Sebenarnya kantuk bukanlah masalah utama saya. Masalah utama justru datang dari perut: selama 3 hari pertama saya tidak dapat BAB sama sekali! Aduh, kekurangan tidur dan susah buang air mendatangkan penyakit ketiga: serangan sakit kepala mendadak.
Padatnya aktifitas PK, kondisi fisik yang semakin menurun ditambah beban pikiran mengingat skripsi yang deadline-nya semakin dekat sebenarnya sudah cukup untuk menjadi alasan frustasi bagi seorang anak manusia. Akan tetapi, selama PK saya mampu mengontrol pikiran untuk tidak terlalu stress. Semua ini dapat terjadi karena support system yang amat bagus. Support system itu datangnya dari teman-teman saya, dari kelompok 6 PK ke-34 LPDP, dari kelompok Karimun Jawa.
Tawa mbak Zia yang membahana sungguh mampu membuat mata jadi terbuka lebar. Ketawa-ketiwi, bisik-bisik kecil, rebutan permen bersama mbak Talitha dan mbak Virly saat sesi juga membantu menyegarkan mood yang mulai menukik tajam. Jayusnya mas Nunu adalah obat bete yang paling manjur (kalau foto selfie-nya sih pembuat bete paling mutakhir). Merhatiin Rizka yang ngalor-ngidul mengambil gambar-gambar pembicara juga jadi distraction yang baik. Belajar kesabaran dari mas Anan yang udah mendedikasikan banyak sekali waktu dan tenaganya demi angkatan kami sungguh membuat saya yakin bahwa saya masih harus belajar untuk lebih dewasa lagi. Ngobrol bersama Zaka tentang apa saja, atau dengerin bincang "bapak-bapak"-nya mas Arie mengisi waktu-waktu di PK yang entah mengapa jalannya lambat sekali. Dengerin curhatan Gisi yang berkobar-kobar dari hati yang terdalam sempat membuat saya terenyuh. Kemudian saya juga jadi ngefans sama mas Edo, sarjana teknik yang nggak cuma jago ngecompose lagu namun jadi "Suhu Agung" segala hal yang berhubungan dengan musik di PK 34. Dan meskipun si Aldy sibuk banget dan suka ngilang, tetapi petikan gitarnya mampu membuat suasana syahdu saat "Tanah Airku" versi bossanova berkumandang di pertunjukan Seni Kontemporer kelompok kami.Benar adanya bahwa kita tak dapat memaksa orang lain untuk menjadi teman kita. Kita harus mengenal dan menerima orang lain apa adanya untuk kemudian menjadi bahagian dari kehidupan kita ataupun mereka. Bersama Karimun Jawa, semuanya mengalir apa-adanya. Kami yang sebelumnya hanya kenal lewat Whatsapp kini berpisah sebagai sebuah keluarga.
Pagi ini seperti biasa saya berangkat ke kampus sambil menggowes sepeda. Di tengah perjalanan, ipod saya memutar sebuah lagu berjudul "Asmara Nusantara". Angin Belanda yang dingin dan kejam berhembus kencang, menembus tebalnya syal dan jaket saya. Padahal (menurut kalender) sekarang sudah bulan April dan musimnya Musim Semi. Biasanya kalau sudah begini saya akan menggowes sepeda lebih kencang sambil mengumpat keras-keras. Angin Belanda nggak asyik! Tukang PHP!
Ah, tapi kali ini biar saja.
Saya gowes sepeda dengan kecepatan normal seraya menikmati "Asmara Nusantara".
Barisan lirik di lagu tersebut menerbitkan senyum di wajah dan menghangatkan dada saya. Meski tubuh saya kedinginan digigit angin, pikiran saya melayang jauh ke sana. Ke seberang samudera. Ke nama-nama warga kelompok 6 PK 34 LPDP. Ke kelompok Karimun Jawa.
Leiden,30 April 201514:49