Sejak kecil saya sudah bermimpi untuk dapat berkunjung ke Andalusia. Mimpi ini tentu saja tidak datang dengan tiba-tiba. Imajinasi tersebut muncul saat saya duduk di bangku kelas I SMP melalui enam jilid buku bernama Ensiklopedia Islam untuk Pelajar terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve. Saat itu kami sekeluarga baru saja pindah dari Bali dan ayah saya ingin agar anak-anaknya yang berlatar multikultural ini
embracing ajaran Islam dengan baik, salah satu caranya lewat buku pengetahuan dasar yang kaya dengan ilustrasi berwarna itu. Dari sekian ratus lembar-lembar berwarna itu, saya biasanya akan skip langsung ke bahagian-bahagiaan yang bercerita tentang kisah para nabi atau kerajaan-kerajaan (kekhalifahan maupun kesultanan) Islam di berbagai pelosok dunia. Dasarnya memang suka dengan cerita-cerita rakyat dan dongeng, bagian-bagian yang bentuknya narasi itulah yang bagi saya lebih menarik daripada entri mengenai hal-hal fiqih.
Sebuah entri khusus mengenai kekhalifahan Bani Umayyah di Andalusia (istilah bangsa Arab untuk menyebut Spanyol) membuat saya terpukau. Di Andalusia, selama kurang lebih 700 tahun pernah berdiri sebuah sistem pemerintahan Islam yang mengakomodir kehidupan masyarakat Yahudi dan Nasrani dengan damai. Di tempat itu ilmuwan-ilmuwan serta seniman-seniman terbaik umat manusia lahir serta berkarya, kelak menginspirasi belahan bumi Eropa lainnya dengan Renaissance.
Sepertinya utopis sekali Andalusia ini: semangat convivencia alias hidup bersama antara tiga agama Abrahamik di tengah masyarakat yang sekuler dalam segi ilmu pengetahuan menciptakan istana-istana, taman-taman, perpustakaan-perpustakaan, universitas-universitas serta pemukiman-pemukiman yang indah. Cordoba, kota yang dijuluki oleh seorang biarawan asal Jerman yang berkunjung ke sana di abad pertengahan dijuluki sebagai
Ornament of the World. Jalanan kota Cordoba telah beraspal dan diberi lampu penerangan saat malam ketika London dan Paris masih berkubang lumpur di kala hujan.
Cordoba sebagai ibukota kekhalifahan dinasti Umayyah yang baru (dulunya di Damaskus sebelum kemudian direbut oleh dinasti Abbasiyah) memiliki kurang lebih 70 perpustakaan dan koleksi buku sebanyak 400.000 volume, yang terbanyak di Eropa saat itu. Pasta gigi dan deodoran juga dikenal oleh bangsa Spanyol dan Jerman pertama kali lewat Cordoba.
|
La Mequita Cordoba dari atas jembatan Romawi Puente de Romano.
Saya memegang foto peta kuno kep. Maluku karena dulunya
dari Sungai Guadalguivir inilah kapal-kapal pemburu rempah Spanyol
berlayar mencari rute menuju Maluku. |
Bagi anak kecil seperti saya yang besar di tengah cerita-cerita mengenai isu antarumat beragama serta etnis,
Andalusia adalah oasis yang menyenangkan. Oasis ini seringkali saya kunjungi di dunia imajinasi saya, membayangkan istana khalifah yang dipenuhi oleh juru tulis Kristen, ahli ekonomi Yahudi serta tabib-tabib Muslim. Semuanya hidup bertetangga dengan rukun, mengembangkan kebudayaan serta peradaban milik bersama yang membuat iri negeri-negeri lainnya. Meskipun pada akhirnya bangsa Moor (julukan orang Castilla atau Spanyol masa kini untuk kaum Muslim) dan Yahudi terusir secara paksa melalui Spanish Inquisition, rasa yang ingin saya hirup adalah kenangan bahwa pada suatu masa di tempat ini umat manusia dari berbagai latar belakang pernah merayakan indahnya menjadi khalifah di bumi Tuhan yang penuh berkat. Oasis yang membuat saya punya kepercayaan terhadap
golden age bersama seluruh anak cucu Adam.
|
Kastil Alhambra di kejauha, Granada. |
Minggu pertama di bulan Januari tahun 2016 menjadi hadiah terindah untuk si Louie kecil yang tiap pulang sekolah rajin mengulang-ulang bacaan tentang Andalusia ini. Saat menapakkan kaki di jalan-jalan berbatu Albayzin dan memandang Alhambra dari kejauhan, saya terenyuh. Melankolis sekali rasanya mengingat masa indah itu telah berlalu, tapi hati saat itu terus terang justru lebih dipenuhi oleh rasa senang. Bagaimana tidak, imajinasi kanak-kanak saya akan negeri ini mewujud dalam citra nyata! Ketika saya mengunjungi Catedral La Mezquita di Cordoba dan menyentuh hutan pilar-pilar marmernya, tubuh saya mendadak tersempal jauh sekali: lamat-lamat saya dapat mendengarkan gaung suara Ibn al-Arabi yang menyuarakan pandangannya mengenai kesatuan antara Tuhan dan mahluk dalam doktrin
Wahdatul Wujud dan penjelasan Abenhazen mengenai heliosentrisme dengan alat bantu globe perunggunya seusai sholat Jumat. Di sini, di tempat ini dulu orang-orang besar itu sibuk berdiskusi tentang masalah-masalah spiritualisme hingga persoalan sains seperti mengapa air bisa mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah tanpa ada persekusi.
Segala ide semerbak bersama masyarakatnya yang diverse dan moderate. Liberalisme dalam hal berpikir justru lahir di jantung agama Cordoba. Lalu saat saya berada di Sevilla, ah, Sevilla! Kota yang tidak akan pernah dilupakan Tuhan karena kecantikannya. Inilah ibukota dinasti Umayyah Spanyol yang pertama sebelum berpindah ke Cordoba. Di kota ini pula seluruh kekayaan dunia mengalir, mulai dari perak dan mutiara Amerika hingga rempah-rempah Maluku.
|
Ngobrol sore di Casa de Pilatos, Sevilla.
Rumah ini unik sekali karena menggabungkan
arsitektur Moorish dengan Renaissance |
Masih ada banyak siku jalanan, gedung, alun-alun dan taman yang belum saya kunjungi. Seminggu rasanya sungguh terlalu singkat untuk dapat mengeksplorasi setiap sudut negeri imajinasi saya ini. Kami berada di Granada tepat saat perayaan
Toma de Granada atau perayaan kekalahan Sultan Boabdil of Granada terhadap Isabella dan Ferdinand berlangsung. Kami pun berada di Sevilla tepat saat perayaan
Los Reyes Magos alias Tiga Raja dari Timur datang berkunjung untuk membagikan hadiah kepada anak-anak yang baik.
Ada terlalu banyak kebetulan yang bagi saya pribadi adalah sebuah "kode keras" untuk datang kembali.
Sambil berjalan kaki di area Juderia (pemukiman orang Yahudi yang letaknya berada persis di samping Katedral Masjid Cordoba) saya menyanyikan lagu Sefardi
Avram Avinu (Bapak kami Ibrahim). Lagu yang menyisakan gembiraan akan hari-hari penuh damai dan persatuan di oasis bernama Al-Andalus. Tak ada yang lebih membahagiakan selain mengawali tahun dengan imajinasi yang menjadi kenyataan.
Leiden,
8 Januari 2016
1:11 PM
No comments:
Post a Comment