Seminggu yang lalu, dengan spontan, sehari setelah memasukkan skripsi ke koordinator program saya di Leiden saya berangkat untuk liburan ke tiga kota di sebelah timur Belanda: Berlin, Dresden dan Praha. Idenya benar-benar spontan: setelah stress dengan urusan skripsi dan penat memikirkan masa depan, saya membutuhkan sebuah
weekend runaway ke tempat asing untuk mencari suasana serta inspirasi baru. Pilihan jatuh ke tiga kota itu karena saya termotivasi oleh tiga hal: sejarahnya, rekomendasi teman dan jarak.
1. Berlin: Ibukota Hipster Eropa; atau dikenal juga sebagai Kota berwajah Timur dan Barat
Ditemani oleh seorang kawan yang belajar di Universitas Wageningen, kami naik
Blablacar (mirip dengan jasa mobil travel di Indonesia dimana si pemilik mobil makan mengangkut beberapa orang dengan tujuan yang sama dengannya setelah membuat appointment online) bertarif 28 euro selama 5 setengah jam menuju ke destinasi pertama, ibukota Jerman. Cukup cepat sih sebenarnya durasi perjalanan kami ini. Kami berangkat sekitar pukul 11.00 dari lapangan parkir stasiun Amsterdam Sloterdijk dan kemudian tiba di Westkreuz (distrik sebelah barat kota Berlin) sekitar pukul 17.00. Di perjalanan kami sempat terjebak macet (yang tentunya
incomparable dengan arus mudik lebaran di Indonesia) serta berhenti untuk buang air kecil dua kali.
|
Yay, akhirnya menginjakkan kaki juga di kota Berlin! |
Dari stasiun Westkreuz kami naik metro (U-bahn) menuju ke stasiun Alexanderplatz di jantung kota Berlin. Di sana ceritanya kami telah disambut oleh kawan lama saya yang dulunya juga berkuliah di kota Leiden. Setelah cipika-cipiki haha dan hihi, dalam kondisi yang agak pusing karena kecapekan dan kurang tidur selama beberapa hari belakangan (
blame it on thesis) ini, saya segera menelan paracetamol dan minum es kopi di Dunkin Donuts serta bersiap untuk berkeliling kota. Alexanderplatz dipenuhi oleh anak-anak muda dengan berbagai gaya. Sebelumnya saya sudah sering mendengar dari teman saya bahwa Berlin ialah kotanya anak muda, atmosfernya amat menyenangkan untuk bersenang-senang. Hal tersebut ternyata benar. Kemana pun mata memandang, beragam hipster dengan fashion mereka sendiri berseliweran dengan cueknya.
Konon katanya Berlin ialah ibukotanya anak-anak hipster di Eropa. Hipster-hipster New York yang berkunjung ke Berlin pun mengakui iklim kreatif di kota ini yang mereka rasa cukup berani dan out of the box dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya.
|
Alexanderplatz dan Brandenburg Tor |
Kami berkeliling pusat kota Berlin dan mengunjungi situs-situs yang wajib lihat di dekatnya (berhubung sebentar lagi matahari akan tenggelam) seperti Brandenburg Tor, Murdered Jewish Memorial dan Reichstag (parlemen Jerman). Malam itu di tutup dengan makan-makanan Indonesia di sebuah restoran bernama Nusantara. Sepanjang pengamatan saya akan Berlin, kota ini walaupun terlihat amat modern sebenarnya masih menyisakan banyak sekali jejak dari masa lalu. Berlin dulunya terletak di bahagian Jerman Timur dimana komunisme yang menjadi doktrin utamanya. Ada sisi dari Berlin yang terlihat seperti "negara dunia ketiga", namun dalam radius beberapa meter dari lokasi tersebut sebuah mall megah dengan bau khas kapitalisme berdiri. Pemerintah Jerman hingga hari ini masih menggelontorkan dana subsidi dari daerah bahagian barat Jerman yang kaya dan (dari dulu memang) liberal ke daerah-daerah bekas rezim komunis di timur, termasuk salah satunya ya Berlin ini. Berlin dipilih menjadi ibukota agar dapat menyeimbangkan Jerman yang baru saja bersatu itu, memperkuat wacana persatuan serta kesatuan di negeri yang sempat koyak oleh perbedaan ideologi politik.
Berlin menurut saya adalah sebuah paradoks yang mengingatkan kita akan modernitas dan masa lalu, tidak hanya bersanding sebelah-menyebelah namun juga saling rajut-terajut menjadi satu.
Keesokan harinya kami hanya punya waktu hingga jam 2 siang untuk mengunjungi tempat-tempat lain di Berlin. Memang rasanya singkat sekali, soalnya kami harus mengejar bus menuju ke destinasi berikutnya: Dresden. Kami keluar dari apartemen kawan yang kami inapi sekitar jam setengah 9 pagi dan langsung menuju ke situs
Berliner Mauer (Berlin Wall) di dekat stasiun Nordbahnhof. Saya lumayan terkejut dengan daerah tempat dinding historis tersebut berada. Daerah ini dipenuhi oleh banyak sekali anak hipster yang, mohon maaf, gayanya lebih mirip hippies, dan juga homeless. Ada banyak peminta-peminta serta pecahan botol bir dimana-mana. Selain itu daerah ini juga cukup kotor. Ada banyak bangunan yang masih dalam kontruksi. Pokoknya benar-benar seperti tidak sedang berada di negara Eropa Barat. Sepintas kekacau-balauannya mengingatkan saya akan stasiun keretapi di Bucharest.
|
Berlin Wall yang terkenal itu |
Kami tidak lama berada di Berliner Mauer. Setelah mengambil beberapa foto dan berjalan di sekitaran dinding yang sekarang tidak punya arti signifikan lagi itu kami segera melanjutkan perjalan ke
Museums Insel alias Museum Island di tengah kota. Museum Insel merupakan sebuah komplek museum di tengah-ten gah Sungai Spree yang membelah Berlin dengan gedung-gedung beraksitektur klasik yang amat indah. Sayang sekali karena keterbatasan waktu kami tidak sempat untuk masuk ke dalam salah satu museumnya.
Benda-benda yang dipamerkan di museum-museum tersebut berasal dari peradaban-peradaban kuno seperti koleksi Bizantium di Museum Bode, koleksi peradaban Islam di Pergamom dan koleksi Mesir Kuno di Neus Museum. Beberapa koleksi andalan mereka contohnya seperti patung wajah Nefertiti dan pintu gerbang Ishtar dari Babiloni. Saya bertekad untuk kembali lagi suatu hari nanti dan menjelajahi museum-museum di sini satu per satu. Situs terakhir yang kami kunjungi di Berlin ialah tentu saja the iconic Berliner Dom. Puas berpose dengan gaya-gayay yang sok manis dan kemudian berubah menjadi tak lazim, kami pun bergegas menuju terminal bus ZOB di pinggiran kota bus untuk menuju ke kota kedua di trip singkat ini: Dresden.
Bersambung...