1. Berlin: Ibukota Hipster Eropa; atau dikenal juga sebagai Kota berwajah Timur dan Barat
Ditemani oleh seorang kawan yang belajar di Universitas Wageningen, kami naik Blablacar (mirip dengan jasa mobil travel di Indonesia dimana si pemilik mobil makan mengangkut beberapa orang dengan tujuan yang sama dengannya setelah membuat appointment online) bertarif 28 euro selama 5 setengah jam menuju ke destinasi pertama, ibukota Jerman. Cukup cepat sih sebenarnya durasi perjalanan kami ini. Kami berangkat sekitar pukul 11.00 dari lapangan parkir stasiun Amsterdam Sloterdijk dan kemudian tiba di Westkreuz (distrik sebelah barat kota Berlin) sekitar pukul 17.00. Di perjalanan kami sempat terjebak macet (yang tentunya incomparable dengan arus mudik lebaran di Indonesia) serta berhenti untuk buang air kecil dua kali.
Yay, akhirnya menginjakkan kaki juga di kota Berlin! |
Alexanderplatz dan Brandenburg Tor |
Kami berkeliling pusat kota Berlin dan mengunjungi situs-situs yang wajib lihat di dekatnya (berhubung sebentar lagi matahari akan tenggelam) seperti Brandenburg Tor, Murdered Jewish Memorial dan Reichstag (parlemen Jerman). Malam itu di tutup dengan makan-makanan Indonesia di sebuah restoran bernama Nusantara. Sepanjang pengamatan saya akan Berlin, kota ini walaupun terlihat amat modern sebenarnya masih menyisakan banyak sekali jejak dari masa lalu. Berlin dulunya terletak di bahagian Jerman Timur dimana komunisme yang menjadi doktrin utamanya. Ada sisi dari Berlin yang terlihat seperti "negara dunia ketiga", namun dalam radius beberapa meter dari lokasi tersebut sebuah mall megah dengan bau khas kapitalisme berdiri. Pemerintah Jerman hingga hari ini masih menggelontorkan dana subsidi dari daerah bahagian barat Jerman yang kaya dan (dari dulu memang) liberal ke daerah-daerah bekas rezim komunis di timur, termasuk salah satunya ya Berlin ini. Berlin dipilih menjadi ibukota agar dapat menyeimbangkan Jerman yang baru saja bersatu itu, memperkuat wacana persatuan serta kesatuan di negeri yang sempat koyak oleh perbedaan ideologi politik. Berlin menurut saya adalah sebuah paradoks yang mengingatkan kita akan modernitas dan masa lalu, tidak hanya bersanding sebelah-menyebelah namun juga saling rajut-terajut menjadi satu.
Keesokan harinya kami hanya punya waktu hingga jam 2 siang untuk mengunjungi tempat-tempat lain di Berlin. Memang rasanya singkat sekali, soalnya kami harus mengejar bus menuju ke destinasi berikutnya: Dresden. Kami keluar dari apartemen kawan yang kami inapi sekitar jam setengah 9 pagi dan langsung menuju ke situs Berliner Mauer (Berlin Wall) di dekat stasiun Nordbahnhof. Saya lumayan terkejut dengan daerah tempat dinding historis tersebut berada. Daerah ini dipenuhi oleh banyak sekali anak hipster yang, mohon maaf, gayanya lebih mirip hippies, dan juga homeless. Ada banyak peminta-peminta serta pecahan botol bir dimana-mana. Selain itu daerah ini juga cukup kotor. Ada banyak bangunan yang masih dalam kontruksi. Pokoknya benar-benar seperti tidak sedang berada di negara Eropa Barat. Sepintas kekacau-balauannya mengingatkan saya akan stasiun keretapi di Bucharest.
Berlin Wall yang terkenal itu |
Bersambung...
No comments:
Post a Comment