Hari minggu tanggal 2 April kemarin, kami sekeluarga dikejutkan dengan sebuah keputusan yang datangnya begitu mendadak. "Ayo, semua siap-siap, kita jalan-jalan ke Enkhuizen!" demikian maklumat John, bapak kos saya di Berkel yang berhati nyaman ini. Tanpa ba-bi-bu lagi, saya yang untungnya saja sudah mandi pagi dan baru saja menyelesaikan sarapan segera bersiap. Hari itu kami berkendara selama hampir 2 jam lamanya menuju ke sebuah kota nelayan kecil di Belanda utara: Enkhuizen.
Enkhuizen dulunya merupakan salah satu dari enam kota utama VOC selain Amsterdam, Delft, Dordrecht, Hoorn dan Middelburg. Sebagaimana halnya dengan kota-kota yang saya sebutkan barusan, Enkhuizen masih menampakkan sisa-sisa kejayaan masa lalunya. Betapa tidak, dulunya seluruh rempah-rempah yang masuk ke Belanda harus distok dulu di Het Peperhuis alias "Rumah Merica" yang sekarang menjadi bagian dari Zuiderzee Museum (Museum Laut Selatan Enkhuizen). Het Peperhuis telah digunakan sejak tahun 1682 oleh VOC untuk menyetok seluruh persediaan merica yang mereka beli di Asia. Keberadaan Het Peperhuis ini membuat perekonomian Enkhuizen secara fantastis melesat naik. Segera saja perdagangan rempah-rempah membuat penduduk kota itu menjadi kaya dan terkenal. Selain karena menjadi sentra perdagangan rempah, Enkhuizen juga merupakan pusat penjualan ikan herring, makanan khas orang Belanda.
Het Peperhuis |
Berpose bersama si mbak penguasa laut selatan (versi Belanda) |
Sisa-sisa kejayaan maritim kota dagang ini juga dapat dilihat dari arsitektur kota yang banyak menggambarkan unsur-unsur laut seperti hiasan trisula Poseidon, lambang Hermes sebagai dewa perdagangan maupun relief putri duyung. Pelabuhan Oosterhaven yang terletak tidak jauh dari Het Peperhuis dulunya menampung kapal-kapal yang menanti untuk menurunkan maupun mengangkut barang. Seorang tokoh penjelajah besar kebanggaan Belanda bernama Jan Huygen van Linschoten berasal dari kota ini. Ia adalah orang Belanda pertama yang membocorkan rute laut Portugis menuju ke Asia dengan cara mempublikasikan peta pelayaran mereka dalam buku berjudul "Itinerario" pada tahun 1596. Efek dari publikasi Van Linschoten ini amatlah besar. Sebelumnya, di Eropa hanya bangsa Spanyol dan Portugis yang memonopoli perdagangan rempah-rempah ke timur. Mereka menjaga dengan ketat rahasia rute pelayaran dari bangsa-bangsa Eropa lainnya. Segera setelah Itinerario disebarluaskan dan dibaca banyak orang, berbondong-bondonglah pelaut-pelaut Eropa berlayar menuju ke Hindia Timur.
Monumen untuk memperingati Van Linschoten the explorer |
Replika kapal Batavia zaman VOC di Bataviastad |
Setelah puas berkeliling Enkhuizen, kami sekeluarga meneruskan perjalanan menuju ke sebuah kawasan kecil yang untuk ukuran usia sebenarnya tergolong cukup baru di Belanda. Nama kawasan itu adalah Bataviastad, daratan yang direklamasi dari laut dan diresmikan sebagai pusat fashion outlet pada tahun 2001 oleh pemerintah Belanda. Hmmm, menarik ya, namanya mirip dengan nama lama Jakarta. Nama Batavia sengaja dipilih sebab di dekat kawasan tersebut pernah ditemukan bangkai kapal VOC bernama Batavia dari tahun 1628. Terinspirasi dari kejayaan VOC di era keemasannya, replika kapal Batavia menjadi ikon utama yang mengapung penuh kebanggaan di perairan Bataviastad hari ini. Sepertinya benar ya, Belanda masih belum bisa move on dari Indonesia!
Soldaat alias prajurit VOC di depan pintu masuk cafe |
Perahu-perahuan kecil dengan kotak kayu berlambang VOC di depan cafe ini jadi tempat nongkrong buat keluarga yang cukup asyik |
Beberapa cafe dan bar di sana juga mengangkat tema petualangan bahari bangsa Belanda di timur. Tidak hanya itu, nama jalanan di Bataviastad seperti Bataviaplein, VOC weg, Oostvaardersdijk dan Zeven Provincieplein merupakan contoh bagaimana imaji akan kebesaran Belanda dalam menaklukkan samudera dan merajai perdagangan dihidupkan kembali di kota buatan nan komersil ini. Jika dulu nama Batavia di Hindia Timur erat dengan kegiatan komersil Belanda dalam perburuan rempah-rempah, maka hari ini nama Batavia di Belanda dihidupkan sebagai pusat shopping. Ujung-ujungnya yang namanya Batavia pasti masih berhubungan dengan uang dan perdagangan di dalam angan-angan bangsa Belanda.
Weekendje yang menyenangkan. Kami berziarah dari VOC gaya lama di Enkhuizen ke VOC gaya baru di Bataviastad. Dulu, Bung Karno pernah nyeletuk bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Belanda sudah membuktikan itu. Daratan tanpa identitas yang mereka reklamasi dari lautan mereka beri baju kemoderan namun berakar lokal. Tema kejayaan VOC yang mereka pilih untuk Bataviastad tentunya bukan tanpa sebab: bagi mereka kemajuan yang dimiliki oleh Belanda hari ini tidak lepas dari kejayaan masa lalu yang mampu menstimulasi mereka untuk terus berkarya.
No comments:
Post a Comment