Wednesday, March 29, 2017

“Walisongo” Islam Nusantara versi Seorang Profesor Katolik

Menjadi bahagian dari konferensi PCINU Belanda dua hari yang lalu adalah sebuah kesempatan yang tidak saja membuat saya yang masih ingusan dan cetek ilmu ini merasa terhormat. Momen kemarin bagi saya sekaligus juga menjadi ajang untuk meraup ilmu sebanyak-banyaknya dari kaum cendekiawan Islam yang memang mumpuni di bidangnya. Dengan mengangkat tema Islam Nusantara, generasi muda Nahdlatul Ulama yang berdiaspora di Negeri Kincir Angin membuka diri seluas-luasnya dengan menghadirkan para terpelajar dari berbagai disiplin ilmu serta latar belakang. Ada sembilan panel yang masing-masing membicarakan fenomena Islam Nusantara dari sudut pandang sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, dan lain sebagaimanya. Suasana keilmuan terasa amat kental karena acaranya sendiri diadakan di Vrije Universiteit Amsterdam dan dipanitiai oleh pelajar-pelajar Nahdliyin yang tengah menuntut ilmu di Belanda. 
 
Saya saat mempresentasikan paper terkait hukum adat dan Islam di Konferens Islam Nusantara NU.
Terlepas dari apa haluan politiknya, agamanya, rasnya maupun mazhabnya, kemarin saya benar-benar merasakan Islam sebagai sesuatu yang rahmatan lil ‘alamin alias universal. Yah, bagaimana tidak, instead of hanya mengundang syekh-syekh atau kiai-kiai, konferens ini diramaikan pula oleh mereka yang beragama non-muslim yang telah malang-melintang di dunia kajian keislaman. Islam akhirnya dimiliki bersama tidak hanya sebagai sebuah konsep kepercayaan namun juga sebagai sebuah fenomena menarik yang pernah dan sedang terjadi di planet bumi. Di sini Islam dibahas dalam konteks pengetahuan, tidak hanya sebagai sebuah persepsi benar dan salah. Peserta konferens pun demikian pula majemuknya, ada yang beragama Protestan, Katolik dan bahkan agnostik ikut hadir untuk mendapatkan ilmu baru mengenai Islam. Apa yang menarik mereka sehingga berkenan hadir di acara yang kental dengan nuansa hijaunya ini? Ya tentu saja keinklusifan Islam dan wajah ramah yang digadang-gadangkan oleh para junior Gus Dur ini. Toh, pada akhirnya ilmu pengetahuan yang bersumber dari Islam sebagaimana halnya dari agama lain adalah warisan bagi umat manusia secara keseluruhan.
Salah satu highlight dari konferens ini ialah saat Profesor Karel Steenbrink menyampaikan lecture yang sekaligus menjadi penutup acara. Karel Steenbrink yang sudah paruh baya dan rambutnya berubah warna menjadi putih semua ini adalah seorang profesor emeritus dari Utrecht University untuk Intercultural Theology. Karel adalah seorang Katolik yang jatuh cinta dengan sejarah dan perkembangan Islam. Beliau telah menghasilkan banyak sekali penelitian terkait Islam dan Kekristenan di Indonesia. Interpretasi Alquran juga merupakan salah satu bidang yang ia tekuni selama bertahun-tahun. Karel Steenbrink bukanlah orang asing, namanya sudah sering dirujuk oleh para peneliti di kalangan Islamic Studies.
Profesor Karel Steenbrink membawakan ceramahnya di penutupan konferens
Pada kesempatan itu Karel Steenbrink membawakan tema yang cukup menarik. Ia membuka lecture-nya dengan membacakan ayat “innallaha ma’ash-shobirin” karena mengetahui betapa lelahnya wajah-wajah kami sore itu menunggu acara untuk ditutup. Kami yang sudah terkuras energinya dan setengah mengempet lapar kemudian hanya bisa bereaksi dengan nyengir-nyengir manja. Karel melanjutkan pembahasannya, berbincang mengenai sembilan orang scholar yang menjadi pahlawan-pahlawan baginya dalam mempelajari Islam Nusantara. Kesembilan pahlawan intelektual tersebut menginspirasinya untuk mengukuhkan teori bahwa praktek keislaman yang terjadi di Indonesia memang lah unik, khas bagi penduduknya itu sendiri, serta berbeda secara kultural dari Islam yang dipraktekkan di tempat asalnya di Saudi Arabia. Karel lebih jauh lagi kemudian menyebut sembilan tokoh tersebut sebagai Walisongo Islam Nusantara di sepanjang karirnya.
List Walisongo versi Karel ini dibuka oleh seorang maestro Islamolog yang amat kontroversial dalam sejarah Indonesia itu sendiri: Snouck Hurgronje. Si jenius yang pernah menjadi mata-mata Belanda untuk Aceh ini mencetuskan bahwa Islam di Indonesia memang berbeda dengan Islam yang ada di Arab, akan tetapi perbedaan ini tidak kemudian membuat Islam di Indonesia menjadi tidak murni atau inferior terhadap Islamnya Arab. Bahkan untuk ukuran Aceh yang notabene “amat Islam”, di sana Snouck menemukan bahwa praktek keislaman dipengaruhi oleh elemen-elemen kebudayaan yang membuatnya kehilangan ke-Arabannya. 
Di urutan kedua ada Merle Ricklefs yang banyak sekali membahas tradisi mistisme di Jawa dalam karya-karyanya. Ricklefs berpendapat bahwa kraton di Jawa membantu terciptanya sebuah sintesa mistik antara Islam dan praktek kepercayaan lokal yang kemudian menghasilkan sebuah perpaduan unik, yang sekali lagi berbeda dengan praktek keislaman di Timur Tengah ataupun Aceh. Ia juga menyebutkan bagaimana perbedaan yang tajam antara kaum santri dan kaum abangan pada tahun 1850 - 1990 membentuk persepsi masyarakat atas wajah Islam Jawa.
J.W. Bakker alias Rahmat Soegagiyo menduduki peringkat ketiga. Ia adalah seorang pendeta Jesuit di Yogyakarta pada masa kolonial dan banyak merenung mengenai usaha-usaha peleburan nilai-nilai agama yang datang dari Barat ini kepada masyarakat Jawa. Sebuah buku berjudul “Agama Asli Indonesia” lahir dari kontemplasinya tersebut. Salah satu poin utama yang ia kemukakan ialah bahwa agama asing yang masuk ke Indonesia harusnya meminjam wajah lokal untuk dapat diterima masyarakat tidak hanya sebagai sistem kepercayaan namun juga sebagai sebuah sistem kebudayaan. Gereja Ganjuran yang ia bangun dengan meminjam bentuk candi-candi zaman Hindu Buddha merupakan pengejawentahan dari ide tersebut. 
Wilfred Smith dengan “religion is cumulative traditions”-nya menjadi walisongo keempat bagi Karel. Ia disusul oleh dua orang cendekiawan Muslim asal Indonesia yaitu Ash-Shiddieqy dan Hazairin. Ash-Shiddieqy dan Hazairin dikenang karena usaha mereka mempromosikan pengakuan atas sebuah mazhab Islam khusus bagi Muslimin Nusantara. Mazhab yang kemudian disebut Mazhab Indonesia ini dilihat sebagai solusi atas keunikan praktek-praktek keislaman yang terjadi di daerah (Hazairin itu sendiri adalah salah seorang profesor hukum adat pertama Indonesia). Mazhab Indonesia diharapkan pula mampu menjadi sebuah contoh atas keberhasilan menyatunya nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia tanpa kehilangan identitas asli mereka. Pendapat ini sayangnya pupus dengan sendirinya karena ketidakmampuan untuk menjawab tantangan kebhinnekaan di tanah air dalam mengaplikasikan hukum syariah.
Terakhir, sekaligus menjadi salah seorang wali yang punya hubungan dekat dengan Karel sendiri ialah Harun Nasution. Harun Nasution ialah seorang cendekiawan Islam yang getol dalam mempromosikan pentingnya menggunakan akal di samping iman saja dalam beragama. Di dalam karya-karyanya ia sering mempertanyakan:  
dapatkah akal menandingi wahyu?; haruskah akal tunduk kepada wahyu?; bagaimana bila terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dengan wahyu? 
Salah satu argumen Nasution yang paling mencengangkan ialah saat ia menyatakan bahwa Alquran tidak mengandung segala-galanya, bahkan pula tidak menjelaskan semua permasalahan agama. Perihal sholat contohnya, hanya sekedar disebutkan di dalam Alquran tanpa ada detail proseduralnya. Iman saja tidak cukup dalam memahami Islam. Ide-ide Nasution yang cukup kontroversial bagi penganut Islam awam di Indonesia sayangnya membuat beliau dicap Muktazilah dan lain sebagainya.
Karel Steenbrink, seorang profesor Katolik yang menyusun Walisongo kajian Islam Nusantara-nya sendiri. Presentasinya di penghujung konferens NU ini menstimulasi lahirnya ide-ide yang mengalir deras di kepala saya. Pada akhirnya sebagai sebuah agama yang dipraktekkan, sebagai sebuah kepercayaan yang mewujud melalui keseharian penganutnya, Islam tidaklah stagnan. Islam lahir, bergerak dan berkembang bersama manusia yang membawanya. Dialog-dialog seperti inilah yang saya harapkan banyak terjadi hari ini maupun di masa yang akan datang. Melalui acara-acara seperti inilah dialektika Islam menjadi nafas yang menyegarkan untuk dihirup, tidak melulu berkubang dalam dogma, taqlid buta yang mengekslusifkan diri atau perselisihan bermotif politik dan ekonomi.
Jadilah kita rahmat bagi semesta alam!

Berkel en Rodenrijs,
29 Maret 2017

No comments: