Siapa bilang anak dari daerah tidak dapat bersaing dalam skala nasional dan internasional dengan anak-anak dari kota besar? Baca kisah ini, cerita perjuangan seorang anak "asli" Indonesia yang terlahir dalam semangat keragaman dan berjuang mengibarkan bendera nusantara di mancanegara.
Friday, August 19, 2011
Wednesday, August 10, 2011
Sedetik yang lalu, Ia masih hidup...
Kami mau berangkat ke kampung halaman.
Aku, bapak, bunda, dan adik Yudi.
Kita naik motor supra tua yang bapak pakai pergi kerja atau untuk mengantar aku dan adik ke sekolah.
Adik Yudi bilang kalau sudah setengah jalan nanti mampir di Pare-Pare dulu. Dia minta baju lebaran. Nggak muluk-muluk kok, dik Yudi cuma minta baju koko putih sama jaket yang ada tudungnya. Belinya pun minta di Cakar saja, tempat beli baju bekas dan impor yg terkenal murah.
Bunda tertawa, katanya iya. Aku juga tak mau kalah, minta celana hitam panjang seperti punya Ryan, temanku di sekolah. Bunda bilang kalau uangnya cukup. Ayah hanya tersenyum. Ayah kan hanya seorang buruh pabrik. Mudah-mudahann uangnya cukup. Motor saja masih mencicil, hehehe.
Belum lagi oleh-oleh tak seberapa untuk keluarga kami di kampung.
Pagi itu kami berangkat. Dik Yudi duduk di depan, aku duduk di tengah antara ayah dan bunda. Jalanan macet. Banyak debu dan truk. Pete-pete dan mobil panther buru-memburu. Motor-motor pemuda tak mau kalah. Musim mudik memang begitu, semua orang berlomba pulang ke kampung halaman.
Di jalanan rusak sebelum Pare-Pare, ayah sudah agak lelah. Tubuh kami bergoyang tak tentu di ombang-ambing jalanan berlubang. Batu-batuan besar menambah susahnya berkendara. Truk-truk besar berjalan dengan lelah.
Sekalipun tak pernah terlintas di dalam kepala kami akan hal-hal ganjil. Sepenuhnya aku sadar bahwa hidup itu milik Allah. Tak ada yg tahu kapan ajal seseorang akan tiba. Malaikat Maut punya berjuta mata, setiap mata mengawasi setiap makhlukNya. Dan ketika saat yg ditentukan telah tiba, bagai arus mudik jiwa manusia akan ditarik kembali.
Kami tak menyangka jika hal itu menimpa kami secepat ini. Sedetik yang lalu dik Yudi masih bersenandung bahagia. Menyanyikan lagu yang baru diajari di sekolah, "Lebaran sebentar lagi".
"Lebaran sebentar lagi! Lebaran sebentar lagi!" hanya itu rupanya kalimat yg ia hafal.
Malam ini malam takbiran.
Tak dinyana, dik Yudi terhempas dari motor dan terjatuh ke jalan. Dibelakang ada truk pasir yang melaju kencang melewati jalanan berlubang. Tak sempat ada teriakan atau gerakan.
Adikku Yudi mati dilindas roda-roda raksasa truk pasir.
Yudi... Yudi...
Dipanggil-panggil adik tidak menjawab. Yudi... Yudi...
Bunda menangis keras sambil memeluk jasadnya.
Yudi... Yudi...
Kenapa Yudi tak bangun dari jalanan?
Ayah terdiam. Matanya nanar.
Aku menyaksikan kejadian itu dengan tak percaya.
Sebentar lagi. Padahal tinggal sebentar lagi. Burasa', kapurung, ayam goreng, ikan bakar, dan sayur buatan nenek. Jalanan sempit rumah kane' puang yang diapit pepohonan tempat kita biasa bermain sembunyi-sembunyian. Atau sumur di belakang rumah panggung tempat kami mandi.
Tapi ternyata sudah tak sempat ya, dik.
Malam takbiran itu ayah, bunda, dan aku menangis berpelukan. Di tengah alunan takbir keliling kami bertiga menemani dik Yudi, di kampung halaman. Mayatnya terbujur kaku dipakaikan baju koko putih yang ia mau. Hanya saja saat Idul Fitri datang ia cuma terdiam tanpa dapat bernyanyi 'lebaran sebentar lagi'.
28 Ramadan 1430
*untuk adinda Diky Syahril Ramadan (seorang anak kecil yang tewas karena kecelakaan lalu lintas saat mudik 2009)
Aku, bapak, bunda, dan adik Yudi.
Kita naik motor supra tua yang bapak pakai pergi kerja atau untuk mengantar aku dan adik ke sekolah.
Adik Yudi bilang kalau sudah setengah jalan nanti mampir di Pare-Pare dulu. Dia minta baju lebaran. Nggak muluk-muluk kok, dik Yudi cuma minta baju koko putih sama jaket yang ada tudungnya. Belinya pun minta di Cakar saja, tempat beli baju bekas dan impor yg terkenal murah.
Bunda tertawa, katanya iya. Aku juga tak mau kalah, minta celana hitam panjang seperti punya Ryan, temanku di sekolah. Bunda bilang kalau uangnya cukup. Ayah hanya tersenyum. Ayah kan hanya seorang buruh pabrik. Mudah-mudahann uangnya cukup. Motor saja masih mencicil, hehehe.
Belum lagi oleh-oleh tak seberapa untuk keluarga kami di kampung.
Pagi itu kami berangkat. Dik Yudi duduk di depan, aku duduk di tengah antara ayah dan bunda. Jalanan macet. Banyak debu dan truk. Pete-pete dan mobil panther buru-memburu. Motor-motor pemuda tak mau kalah. Musim mudik memang begitu, semua orang berlomba pulang ke kampung halaman.
Di jalanan rusak sebelum Pare-Pare, ayah sudah agak lelah. Tubuh kami bergoyang tak tentu di ombang-ambing jalanan berlubang. Batu-batuan besar menambah susahnya berkendara. Truk-truk besar berjalan dengan lelah.
Sekalipun tak pernah terlintas di dalam kepala kami akan hal-hal ganjil. Sepenuhnya aku sadar bahwa hidup itu milik Allah. Tak ada yg tahu kapan ajal seseorang akan tiba. Malaikat Maut punya berjuta mata, setiap mata mengawasi setiap makhlukNya. Dan ketika saat yg ditentukan telah tiba, bagai arus mudik jiwa manusia akan ditarik kembali.
Kami tak menyangka jika hal itu menimpa kami secepat ini. Sedetik yang lalu dik Yudi masih bersenandung bahagia. Menyanyikan lagu yang baru diajari di sekolah, "Lebaran sebentar lagi".
"Lebaran sebentar lagi! Lebaran sebentar lagi!" hanya itu rupanya kalimat yg ia hafal.
Malam ini malam takbiran.
Tak dinyana, dik Yudi terhempas dari motor dan terjatuh ke jalan. Dibelakang ada truk pasir yang melaju kencang melewati jalanan berlubang. Tak sempat ada teriakan atau gerakan.
Adikku Yudi mati dilindas roda-roda raksasa truk pasir.
Yudi... Yudi...
Dipanggil-panggil adik tidak menjawab. Yudi... Yudi...
Bunda menangis keras sambil memeluk jasadnya.
Yudi... Yudi...
Kenapa Yudi tak bangun dari jalanan?
Ayah terdiam. Matanya nanar.
Aku menyaksikan kejadian itu dengan tak percaya.
Sebentar lagi. Padahal tinggal sebentar lagi. Burasa', kapurung, ayam goreng, ikan bakar, dan sayur buatan nenek. Jalanan sempit rumah kane' puang yang diapit pepohonan tempat kita biasa bermain sembunyi-sembunyian. Atau sumur di belakang rumah panggung tempat kami mandi.
Tapi ternyata sudah tak sempat ya, dik.
Malam takbiran itu ayah, bunda, dan aku menangis berpelukan. Di tengah alunan takbir keliling kami bertiga menemani dik Yudi, di kampung halaman. Mayatnya terbujur kaku dipakaikan baju koko putih yang ia mau. Hanya saja saat Idul Fitri datang ia cuma terdiam tanpa dapat bernyanyi 'lebaran sebentar lagi'.
28 Ramadan 1430
*untuk adinda Diky Syahril Ramadan (seorang anak kecil yang tewas karena kecelakaan lalu lintas saat mudik 2009)
Sunday, August 7, 2011
the beginning of August at the end of July
I succeeded to be a Group Leader coordinator on Orientasi INAYPsch. 2011-2012 for AFS-YES students. Been searching the right time to jump into Nationals and help them with the orientation camp for at least once in my life time, apparently I did it this year. Had a small (yet so tearful) conflict with my fella-Group Leader, but then we worked professionally and overcame it. Assisting adik-adik AFS-YES, reading their datas and selection results, also fun time with the committees really brightened my August. I didn’t regret my decision to leave PPSMB for freshmen at Fakultas Hukum, although I was one of the most potential candidate to be the program coordinator. For me, spending time with AFSers, for the sake of sending adik-adik abroad was the best decision I’ve ever made.
I met Diku and Randy! It was such a beautiful reunion on the beginning of the Holy Month. They came to the orientation camp just to see me, purified our bestfriendness frequency after our latest crazy time on Chinese New Year a year ago. Two days before, I’ve spent a quality time with Diku and Ipang in karaoke. She gave me a mug with self-drawing on it as belated birthday present. Of course, who dare to reject a gift from my supertough amiga? ;)
Lack of sleep, doesnt matter. Struggle to partner up with new people, doesnt matter. Waste my parents money for Jogja-Makassar, Makassar-Jakarta, Jakarta-Makassar flights, doesnt matter. I enjoyed my super ten days with my besties and my juniors (the next AFS-YES generation that’ll also be the next world class future leaders). Count it as “amal jariah di bulan Ramadhan”, if it could entertain my hidden remorse. Can’t wait to hear their stories!
I close this post with a very beautiful quote from Amri Pitoyo (Project Officer for this year orientation) which inspire me alot:
"Segala gagasan besar ttg dunia terkurung di kamarmu hingga kamu mengalaminya sendiri. Indonesia yang kamu bawa dalam perjalanan ini bukanlah keindahan Bali, batik yang kamu pakai, atau wayang. Indonesia yang kamu bawa adalah dirimu sendiri."
cheers,
Louie
Subscribe to:
Posts (Atom)