Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pengampu dan pusat kebudayaan Jawa tidak
hanya menyimpan pesona wisata atas atraksi budaya materialnya. Wayang, batik,
jajanan lokal, tari-tarian hingga tempat-tempat bersejarah seperti kraton dan
pemandian Taman Sari baru segelintir dari kekayaan hakiki yang tersimpan di
provinsi pertama Republik Indonesia ini. Rupa-rupa budaya immaterial Kraton
Yogyakarta seperti filosofi kehidupan, ilmu titen,
konsep-konsep kepemimpinan lokal, hingga resep-resep tradisional yang
diwariskan oleh leluhur secara turun-temurun merupakan harta karun yang sesungguhnya.
Nilai-nilai ini terekam di dalam lembaran-lembaran naskah kuno kraton yang menunggu
kalangan awam dan akademisi untuk
mengenali serta mengkajinya lebih lanjut.
Kraton Kasultanan Ngayogyakarta
Hardiningrat telah melewati sejarah panjang sebagai salah satu kekuatan yang
berhasil selamat dari cengkraman kolonialisme selama 350 tahun di nusantara.
Keluhuran nilai-nilai yang dipegung teguh oleh kraton tersebut berhulu pada
kitab-kitab atau naskah-naskah kuno yang merupakan mata air kearifan lokal
peradaban Jawa klasik. Bukti nyata dari visi serta kecendikiawanan masyarakat
Jawa kuno ini nampak dari proses adopsi mereka terhadap aksara Pallawa dari
India yang kemudian di-local genius-kan
menjadi aksara Jawa sesuai karakter bahasa dan kultur lokal. Penulisan
kitab-kitab sastra, kitab-kitab ilmu pengetahuan dan kitab-kitab agama oleh
para pujangga yang dipatroni oleh kraton berhasil melestarikan penggunaan
aksara Jawa sehingga masih dapat bertahan pada hari ini. Tidak hanya itu,
naskah-naskah kuno tersebut pun berperan sebagai arsip penting yang merekam
kejadian masa lalu sehingga dapat menjadi bahan kajian kalangan akademisi.
Memasuki abad ke-20 ini,
naskah-naskah kuno yang berisi warisan peradaban tersebut semakin hilang dari
peredaran. Sejak era-era sebelum kemerdekaan, telah terjadi perampokan
besar-besaran atas kekayaan intelektual lokal dengan dipindahkannya
naskah-naskah kuno kraton ke tangan pemerintah kolonial. Booming kajian
Indology di kalangan pemerintah kolonial menyedot perhatian serta kebutuhan
akan sumber informasi yang lengkap dari Hindia Timur. Tercatat, pada tahun 1812
Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles yang pernah mengarang sebuah magnum opus mengenai budaya Jawa melalui
bukunya “The History of Java” mengeluarkan
kewajiban atas kraton Yogyakarta untuk menyerahkan koleksi naskah-naskah
kunonya. Selama seminggu ada lima gerobak naskah yang dibawa ke Belanda dan
Inggris.[1]
Naskah-naskah yang berjumlah hingga 7.000 eksemplar itu kini tersimpan di
British Council dan Raffles Foundation. Inggris dan Belanda menjadi negara yang
paling banyak menyimpan naskah kuno kraton Yogyakarta.
Amat disayangkan, di tengah
pergulatan Indonesia dari segi politik, ekonomi, dan sosial dengan globalisasi,
faktor kebudayaan seakan-akan luput dari perhatian. Invasi budaya asing melalui
pop culture menginfiltrasi interest generasi muda terhadap musik,
fashion, gaya hidup, makanan, bahkan bahasa. Minat masyarakat yang rendah
terhadap kajian naskah kuno ini menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia. Terbatasnya
fasilitas, kurangnya tenaga ahli serta sumber daya manusia, dan ketiadaan biaya
untuk perawatan menyebabkan sejumlah pemilik naskah kuno cenderung menjualnya
ke pedagang perantara yang masuk ke kampung.[2] Mukhlis PaEni, ahli dan
peneliti naskah kuno, dalam seminar ”Strategi Kebudayaan dan Pengelolaannya”
menyatakan bahwa manuskrip Nusantara mengalir setiap hari ke tangan pembeli
naskah yang berani membayar paling rendah Rp 5 juta untuk jenis naskah yang apa
adanya dan compang-camping hingga Rp 50 juta untuk naskah-naskah utuh bahkan
lebih.[3]
Fakta-fakta miris mengenai kondisi
naskah kuno kraton Yogyakarta di atas menggerakkan Sri Sultan Hamengkubuwono X
yang menginginkan ribuan naskah keraton DIY di Belanda dan Inggris untuk diteliti
atau dipelajari oleh pihak kraton.[4]
Sistem hukum Indonesia yang memuat perlindungan terhadap Hak Kekayaan
Intelektual dianggap tidak dapat melindungi keberadaan naskah-naskah kuno
nusantara yang berada di tangan bangsa asing ini. Menyadari bahwa ribuan naskah
tersebut tidak bisa diminta kembali untuk menjadi milik keraton, Sultan
Hamengkubuwono X berharap, selain bisa dipelajari, kraton juga bisa
mendapatkan micro film dari naskah-naskah itu.[5]
Adanya dorongan untuk memiliki kembali naskah kuno tersebut sebagai traditional
knowledge warisan leluhur mendorong perlunya suatu usaha hukum yang tepat agar
dapat melindungi kepentingan bangsa Indonesia di kemudian hari.
Naskah kuno sebagai sebagai peninggalan
yang berisi pengetahuan tradisional milik bersama kraton dan masyarakat Daerah
Istimewa Yogyakarta ini perlu dijaga dan dilestarikan. Akses masyarakat yang
terbatas terhadap naskah-naskah kuno kraton yang berada di museum-museum,
institut-institut, universitas-universitas maupun koleksi-koleksi pribadi di
luar negeri berimbas pada ketidaktahuan serta hilangnya jati diri bangsa.
Secara tidak disadari, masyarakat tercerabut dari nilai-nilai filosofisnya
karena kehilangan referensi mereka terhadap kearifan lokal yang telah
diturunkan secara turun-temurun melalui naskah-naskah kuno tersebut. Minimnya
perhatian dari pemerintah pusat menyebabkan naskah-naskah kuno yang masih
berada di Indonesia pun mengenaskan kondisinya. Situasi perlindungan naskah
kuno di Indonesia bak buah simalakama karena terjebak oleh realitas.
Indonesia sebagai negara yang besar dengan keanekaragaman suku
bangsa yang tinggi perlu mengayomi kebutuhan masyarakatnya melalui ketentuan
hukum yang tepat guna. Dengan mengkaji kasus-kasus yang berhubungan langsung
dengan grass root society seperti ini, suatu saat semoga timbul kesadaran dalam diri generasi muda untuk melakukan kontribusi
nyata pada masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang
hukum kekayaan intelektual.
[1] Sultan Minta Belanda-Inggris Serahkan Salinan
Ulang Naskah Kuno DIY, Olivia Lewi Pramesti,
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/sultan-minta-belanda-inggris-serahkan-salinan-ulang-naskah-kuno-diy,
diakses pada tanggal 24 September 2012.
[2] Manuskrip
Kuno Tak Ada Biaya Perawatan, Naskah Dijual, http://jakarta45.wordpress.com/2009/09/18/seni-budaya-manuskrip-kuno-tak-ada-biaya-perawatan-naskah-dijual/,
diakses pada tanggal 23 September 2012.
[3] Ibid.
[4] Sultan Minta Belanda-Inggris. Paragraf
4.
[5] Ibid.