Cuplikan dari video klip "Parijs". Source: naadjepet.nl |
Sebuah parodi yang dibuat atas lagu ini dengan judul "Praat Amsterdams met Me" oleh Lorenzo Braun jadi sensasi tersendiri di Youtube Nederland. Parodi tersebut bercerita tentang seorang pemuda Amsterdam yang bertemu dengan gadis cantik di depan stasiun Amsterdam Centraal. Setelah siap-siap pasang aksi buat mendekati si gadis, eh terkejutlah ia. Ternyata gadis cantik dengan gaya oke tersebut ialah seorang Rotterdamer alias penduduk Rotterdam, lengkap pula dengan aksen khas kota berkode pos 101 tersebut. Si cowok Amsterdam kemudian dengan penuh rasa bete berujar "Praat Amsterdams met Me!" seraya mengetuk-ketuk kepalanya dengan jari telunjuk ("Geez, girl, please talk in a language that I understand!). Sisa video klip serta lirik lagu parodi ini dipenuhi dengan ejek-ejekan terhadap si gadis asal Rotterdam dengan beragam istilah gaul Amsterdamer.
Nah, video parodi yang mengundang tawa seluruh penjuru Belanda ini menjadi booming sebagaimana lagu aslinya. Musisi Rotterdam nggak terima dengan ejek-ejekan dari musisi Amsterdam. Mereka membuat sebuah video parodi singkat yang berdurasi kurang dari 1 menit untuk membalas hinaan atas aksen kebanggaan mereka tersebut. Video itu dimulai dengan adegan seorang Rotterdamer berjenis kelamin lelaki yang berjalan keluar dari Centraal. Ia melihat seorang gadis cantik dan menyapanya. Alangkah terkejutnya ia ketika gadis itu membuka mulut dan yang keluar adalah aksen Amsterdam. Tanpa basa-basi ia membuang ludah di depan si Amsterdamer lalu berjalan meninggalkannya dengan gaya macho. Sungguh sadis, kawan!
Fenomena parodi lagu Parijs tidak berhenti di sini saja. Beberapa minggu kemudian bermunculan lah beragam versi parodi lainnya (namun masih dengan tema yang sama) yang mengusung aksen daerah masing-masing: "Proat Utrechs met Me"; "Praat Haags met Me", "Praat Gronings met Me", "Praat Brabants met Me", bahkan hingga "Praat Marokkans met Me". Setiap daerah seakan-akan ingin menunjukkan bahwa aksen mereka lah yang paling bagus di Belanda ini. Saya terus terang excited menyaksikan macam-macam kreatifitas yang dilahirkan oleh anak-anak muda Belanda . Untuk menambah keseruan parodi Parijs, saya dan dua orang teman berkebangsaan Indonesia dari Delft (Rosalia Adisti) dan Amsterdam (Ridho Reinanda) bahkan membuat versi lain yang berjudul "Praat Indonesisch met Me". Di versi ini kami memasukkan banyak referensi mengenai tempat-tempat kuliner Indonesia yang sedang hits di kalangan mahasiswa Indonesia di Belanda. Sebut saja salah satunya ialah Salero Minang. Nah, alhamdulillahnya, pencatutan nama Salero Minang di lirik lagu parodi kami ini berbuah manis. Ketika Uni Rita si pemilik tempat makan Salero Minang di Den Haag mendengar lagu kami, ia mengontak saya lewat facebook dan menjanjikan untuk makan rendang gratis di halal bi halal lebaran nanti :D
Link ke video --> "Praat Indonesisch met Me"
Oke, lanjut ke sentimen antardaerah di Belanda. Ternyata nggak cuma di Indonesia yang punya lebih dari 500 suku bangsa aja sentimen antardaerah dapat terjadi. Menurut penuturan salah satu kawan saya yang bermukim di Nijmegen, sebut saja namanya Fuji Riang Prastowo, warga lokal sana menganggap bahwa penduduk Randstad (wilayah Jabotabek-nya Belanda yang terentang dari Amsterdam hingga Rotterdam, atau dengan kata lain area provinsi Holland) terlalu kasar, blak-blakan dan sombong. Mereka juga menganggap bahwa daerah Randstad dipenuhi oleh buitenlanders aliah warga pendatang sehingga terkadang membuat mereka tidak nyaman untuk pergi ke sana. Nah, kebalikannya di saat yang sama, banyak anak muda di provinsi Holland justru menganggap bahwa mereka yang berasal dari daerah timur atau selatan Belanda sebagai orang kampung atau petani nan udik. Ini dirasakan langsung oleh Pak Christiaan Hersink, suami dari kak Sunarti Tutu, saat beliau berkuliah di Universiteit van Amsterdam. Beliau yang native Gelderland mengaku sempat merasa tidak enak karena stereotype yang diberikan oleh teman-temannya yang berasal dari Amsterdam kepada dirinya.
Gap antara "anak ibukota" atau "anak metropolitan" dengan anak daerah yang ditandai oleh perbedaan aksen yang mencolok juga bukan barang baru di tanah air. Logat Jakarta dengan kata ganti orang pertama "gue" dan kata ganti orang kedua "lu" mewabahi dunia pertelevisian Indonesia. Sinetron maupun film-film yang diputar dari Pulau We hingga desa Suku Dani di Papua sana menampilkan remaja-remaja ibukota yang ber-"lu" dan "gue". Standar gaul anak muda pun berubah mengikuti trend ibukota. Tidak heran jika banyak anak daerah yang kemudian berkuliah di Pulau Jawa harus menyesuaikan lidah mereka dengan tuntutan pergaulan yang didominasi oleh budaya anak muda ibukota ini.
Di Belanda, akhirnya logat provinsi Holland lah yang diterima sebagai logat umum. Akan tetapi hal ini tetap tidak menghilangkan kebanggaan warga lokal non-Holland terhadap kekayaan budaya mereka. Buktinya fenomena parodi lagu Parijs ini berhasil menunjukkan bagaimana pemuda-pemudi kreatif dari berbagai pelosok Belanda unjuk diri secara kreatif menampilkan keunikan aksen daerah mereka masing-masing. Salut, benar-salut!
Leiden,
4 Juli 2015