Namanya Bo Keller.
Tiap kali ketemu orang Indonesia ia akan selalu memperkenalkan diri sebagai “Bau Kelek”. Rambutnya kini telah berubah warna menjadi putih sempurna, sebelumnya warnanya hitam legam seperti arang. Khas warna rambut orang Asia. Meski demikian, matanya berwarna biru seperti kelereng dan kulitnya putih seperti lazimnya orang-orang Eropa lainnya. Itulah sebabnya dulu saat masih tinggal di Sumatera Barat, Bo kecil selalu diejek-ejek oleh kawannya karena “bermata seperti babi”.
Bo adalah anak separuh. Ia lahir dari ayah yang seorang serdadu Belanda dan ibu yang asli berdarah Minangkabau. Bagaimana kisahnya hingga seorang Belanda jatuh cinta pada si gadis Minang, ia tak tahu. Ia sendiri pun tak pernah bersua sekalipun dengan sang ayah karena pria itu buru-buru meninggalkannya dan sang ibu untuk menjalankan tugas di belahan lain di negeri jajahan ini.
Bo tumbuh dibesarkan oleh alam Minangkabau. Ia fasih berbahasa Minang, gemar makan dengan menggunakan tangan, berlomba lari menuju sungai bersama anak-anak muda lainnya serta ikut pula menyanyikan lagu-lagu lucu yang saat itu amat populer. Yang membedakan Bo dengan anak-anak lainnya adalah karena ia anak separuh. Sekeras apapun ia berusaha untuk berbahasa Minang, melebur bermain bersama mereka, makan serta mengenakan pakaian yang sama dengan mereka, Bo tetaplah anak separuh. Itu harga mati, titik. Darah yang mengalir di darahnya adalah darah Belanda. Di abad yang sayangnya amatlah rasis dan penuh prasangka itu, Bo adalah orang asing di tengah lingkaran yang membesarkannya. Itulah sebabnya ketika tentara Jepang menyerbu masuk ke nusantara, ia pun memutuskan untuk membela kehormatan kedaulatan negeri ayahnya (Vaderland) di negeri ibunya (Moederland) dengan jalan menjadi anggota KNIL.
“Sadis sekali, jahat! Kami ini disuruh untuk saling bunuh. Saudara bunuh sesama saudaranya sendiri. Sudah tidak kenal lagi kami siapa kawan siapa musuh. Saya terpaksa bunuh saudara-saudara saya sendiri orang Indonesia. Semua baku bunuh! Kami ini sungguh malang karena terpaksa melakukannya. Mau apa lagi...” begitu kenang Bo terhadap hari-hari kelamnya sebagai pasukan KNIL yang disuruh untuk menegakkan kembali kedaulatan Belanda atas Indonesia pasca Jepang menyerah terhadap Sekutu. Pahit sekali masa-masa itu, ujarnya. Saat Bung Tomo memekikkan semangat juang untuk membakar semangat arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan bangsa, ia ada di situ pula, mendengar gelegar suara Bung Tomo dari radio. Ia ada di situ pula saat Sang Saka Merah Putih dikibarkan di sepanjang pantai tanah air dan setiap orang mulai menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan gemuruh di dadanya.
Bendera merah putih yang tertiup angin melambai-lambai padanya. Seakan-akan hendak mengucapkan selamat tinggal bagi si anak separuh yang telah naik ke atas kapal bersama anggota-anggota KNIL lainnya untuk pergi meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Semakin jauh kapal itu berlayar, semakin sesak pula batin Bo karena tercerai dari tanah kelahirannya sendiri. Negeri tempat ibunya dikuburkan. Negeri tempat darah-darah saudaranya habis terserap tanah. Negeri yang terlalu ia cintai hingga memilih menjadi tentara KNIL di masa-masa tergenting Hindia.
“Opa, sudah pernah kembali ke Indonesia lagi? Sudah pernah pulang ke Sumatera Barat?”
“Saya tidak mau. Bukan karena tidak mau ke sana ya, tapi terlalu sedih saya, terlalu sakit rasanya. Saya tidak tega untuk melihat kembali tempat-tempat dimana saudara-saudara tanah air saya terbunuh. Terlalu sedih saya, terlalu banyak kenangan. Yang baik, yang buruk, yah ada semua. Saya dari jauh saja, Indonesia selalu ikuti ceritanya. Karena sungguh saya terlalu cinta, tapi tidak kuat untuk kembali lagi...” ujar Opa Bo sore itu di Museum Bronbeek dengan mata yang semakin pudar karena airmata dan suara yang bergetar karena terdesak-desak oleh kesedihan.
KNIL dibubarkan untuk selama-lamanya pada tahun 1950. Para personelnya yang memutuskan untuk hijrah ke Belanda telah berganti pula kewarganegaraan. Akan tetapi Opa Bo, meskipun telah beranak-cucu di negeri ayahnya, masih saja belum dapat move on dari negeri sang ibu.
Nee, ze zijn er niet meer Ze zijn er niet meer Ze brachten ons naar Holland De zeereuzen van weleer En we keerden niet weer
-Potongan lirik lagu Afscheid van Indie oleh Wieteke van Dort