Monday, June 21, 2010
legalnya telanjang untuk diri sendiri (?)
Belakangan ini kasus video porno yang menampilkan artis mirip Luna Maya dan Ariel Peterpan, vokalis salah satu band papan atas di Indonesia, mengundang keprihatinan sekaligus kegeraman khalayak umum. Tak ayal lagi, dua tokoh yang menjadi idaman remaja dan sudah sering menghiasi layar kaca tersebut membuat orang-orang shock atas pemberitaan yang tidak mengenakkan mengenai beredarnya video seks mereka di internet. Video berdurasi 8 menit yang menampilkan adegan intim Ariel dan Luna Maya disinyalir direkam sekitar tiga hingga empat tahun yang lalu. Tidak berselang lama setelah setelah video tersebut muncul, publik Indonesia sekali lagi dikejutkan dengan video-video syur lainnya yang menampilkan Ariel sebagai pemeran utamanya. Hanya saja kali ini nama Cut Tari disebut-sebut bermain sebagai pasangan pria kelahiran Aceh tersebut. Hingga saat ini, video-video tersebut menimbulkan polemik tak berkesudahan karena di blow up habis-habisan oleh infotainment.
Kasus yang tadinya muncul dilatarbelakangi oleh keisengan dengan jalan mengunduh koleksi pribadi artis ke ruang publik seperti internet itu ternyata berdampak besar. Dengan mengatasnamakan isu pornografi dan undang-undang mengenai penyebaran konten tertentu di internet, artis-artis yang terlibat di dalam video tersebut terancam untuk dipidanakan. Pihak-pihak yang terkait di dalamnya sudah dipanggil oleh Polisi untuk diperiksa, pun pihak yang berwajib juga telah memanggil saksi ahli serta pelacakan sumber utama penyebaran video tersebut. Baik Luna Maya, Ariel, dan Cut Tari secara implisit mengaku kepada media bahwa mereka bukanlah orang-orang yang berprilaku tidak senonoh seperti nampak pada rekaman-rekaman itu. Mereka juga berdalih bahwa pihak yang menyebarkan video tersebut berniat jahat untuk melakukan pembunuhan karakter dan mencemarkan nama baik mereka.
Akibat yang ditimbulkan oleh video tersebut mengundang pro-kontra di dalam masyarakat. Para orang tua khawatir jika anak mereka yang masih kecil menyaksikan pujaan mereka di layar kaca ternyata memberikan contoh yang tidak baik akan kehidupan seks bebas. Ariel tidak pernah terikat dengan hubungan pernikahan baik kepada Luna Maya maupun kepada Cut Tari, bagi masyarakat Timur seperti bangsa Indonesia perbuatan tersebut jelas menyalahi ajaran agama manapun dan mencorengkan martabat diri maupun keluarga yang bersangkutan. Disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk melakukan ‘labelling’ atau pelabelan terhadap orang lain atau sesuatu, pandangan umum terhadap mereka digeneralisasi miring oleh publik. Hal ini berakibat negatif bagi pencitraan diri serta karir mereka di masa mendatang. Faktanya, beberapa daerah di nusantara telah mencekal keberadaan mereka. Kota Makassar secara terbuka menolak apabila Ariel dan bandnya berani tampil di Tanah Daeng tersebut.
Terlepas dari benar-tidaknya isu tersebut, kasus video dan foto telanjang memang bukan isu yang baru, apalagi dikalangan artis. Telanjang di depan kamera merupakan seni bagi sebagian orang. Akan tetapi banyak juga yang hanya karena keisengan semata gemar berfoto atau beradegan vulgar. Meskipun niat awalnya tidak untuk disebarkan kepada umum, dipandang dari segi moralitas prilaku tersebut dianggap tidak senonoh. Dalam hal ini, telanjang diartikan sebagai ‘tindakan amoral’ karena ‘tidak menghiraukan’ kedudukan manusia selaku makhluk yang beradab. Ukuran beradab atau tidaknya seseorang nampak dari tingkah laku, cara berpakaian, budi pekerti, serta tutur katanya.
Dalam kondisi apapun, seorang manusia dituntut untuk bertindak-tanduk sesuai dengan yang dikehendaki oleh masyarakatnya. Manusia akan selalu berusaha agar tatanan masyarakat dalam keadaan seimbang, karena keadaan tatanan masyarakat yang seimbang menciptakan suasana tertib, damai dan aman. Oleh sebab itu kaedah kesusilaan yang bersumber dari dalam diri manusia muncul demi kesimbangan hidup. Kaedah kesusilaan ini ditujukan kepada umat manusia agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat. Kaedah-kaedah seperti kesusilaan dan sopan-santun merujuk kepada ketertiban di dalam masyarakat. Setiap orang dibebani oleh kewajiban untuk bersikap batin maupun lahir yang beradab agar jangan sampai perbuatan mereka kelak dapat menimbulkan korban. Bertolak dari pandangan inilah masyarakat menilai bahwa perbuatan seperti telanjang di depan kamera maupun beradegan syur dalam video, meskipun dengan alasan untuk kepentingan pribadi, dilarang. Bahaya yang muncul di masa mendatang apabila foto maupun video tersebut jatuh ke tangan yang salah dan diluncurkan kepada publik dapat merusak tatanan keseimbangan kehidupan sosial masyarakat. Pribadi di dalam kehidupan yang komunal seperti di negara kita merupakan bagian dari sebuah bentuk masyarakat besar yang menghendaki pencegahan terhadap pergeseran budaya maupun degradasi moral.
Sebaliknya, pihak-pihak yang tidak mempermasalahkan bahwa telanjang di depan kamera maupun beradegan syur dalam video demi kepentingan pribadi adalah sah-sah saja menentang arus pemikiran konservatif seperti di atas. Kebebasan manusia untuk berekspresi sebagaimana yang dijamin oleh pasal 28 UUD 1945 tidak melarang orang-orang untuk menikmati apa yang mereka sebut sebagai ‘privasi’ tersebut. Dengan dalih bahwa privasi merupakan ‘kebebasan yang sifatnya personal’, telanjang bukanlah hal yang tabu. Telanjangnya mereka itu tidak dimaksudkan untuk konsumsi publik, toh apabila jika ternyata di masa depan foto maupun video tersebut bocor mereka tidak memiliki maksud jahat apa-apa untuk merusak tatanan di dalam kehidupan masyarakat. Mereka justru menjadi korban dari tindakan orang-orang berniat jahat yang dengan sengaja menyiarkan barang-barang milik pribadi tersebut. Peraturan maupun ketentuan hukum yang ada tidak boleh melarang mereka untuk memiliki atau membuat foto dan video seperti itu atas jaminan hak asasi manusia. Masyarakat juga tidak dikehendaki untuk ikut campur mengatur urusan pribadi karena memang bukan ranah yang berhak untuk mereka masuki.
Dari kedua pandangan yang saling bertentangan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa di era globalisasi ini batas antara kepentingan personal dan kepentingan publik itu semakin hari semakin kabur (atau dikaburkan). Hak dan kewajiban pun akan semakin luas definisinya, sering kali bergantung pada kondisi sosio-kultur setempat dan konflik kepentingan yang membentuk situasi politik dan ekonominya. Sebagai pemangku dari hak dan kewajiban, sudah sewajarnya bagi kita untuk mawas diri, tetap mempertahankan kebebasan yang kita miliki namun bersedia pula untuk bertanggung jawab atas segala konsekuensi sebagai imbas dari perbuatan kita itu.
further reading: Mengenal Hukum - Sudikno Mertokusumo
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment