Siapa yang tidak pernah mendengar nama Makassar? Familiar di telinga mungkin iya, tapi kenal belum tentu. Sebagian masyarakat di Indonesia masih menggunakan nama lama Makassar yaitu "Ujung Pandang" untuk menyebut nama ibukota Provinsi Sulawesi Selatan ini. Makassar juga merupakan nama untuk salah satu suku asli dari empat etnis yang berdiam di provinsi penghasil coklat terbesar di Indonesia itu (yang kemudian membuat negara kita menjadi produsen coklat rangking 3 di dunia). Di zaman pemerintahan Ratu Victoria dan Raja Edward di Inggris dulu nama "Macassar" sempat populer sebagai nama hair conditioner berupa minyak kelapa atau palem yang dicampur dengan aroma-aroma tertentu. Cerita punya cerita, ternyata memang Macassar oil tersebut berasal dari Sulawesi Selatan.
Sekarang, nama Makassar kembali menghiasi media-media cetak maupun elektronik di Indonesia. Pemberitaan Makassar kali ini tidak ada kaitannya dengan kebesaran masa lampau, inovasi-inovasi, atau prestasi yang dicapai oleh salah satu putra daerahnya di ajang-ajang tertentu. Makassar hangat diberitakan karena tingkah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negrinya yang secara brutal melakukan aksi-aksi anarkisme di area kampus. Tawuran, pelukaan dengan senjata, aksi perusakan serta pembakaran terhadap fasilitas umum menciptakan lingkaran cerita negatif yang tak kunjung habis. Mahasiswa seakan-akan telah menanggalkan embel-embel mereka selaku civitas akademika dan merubah kampus menjadi arena pertarungan terbuka. Entah mengapa, mahasiswa yang terlibat aksi tersebut di Makassar bangga atas "perjuangan" yang mereka lakukan.
Ketika penulis menanyakan langsung kepada mahasiswa-mahasiswa yang terlibat di dalam aksi kekerasan, hampir seluruh jawaban bernada sama. Solidaritas. Ya, definisi mereka terhadap solidaritas berpadan dengan istilah "satu rasa". Apabila ada kawannya yang diserang, sontak mereka akan segera menyerang balik. Apabila ada juniornya yang dilukai, sontak mereka akan melukai balik. Begitu seterusnya, menurut mereka harga diri atas status kebersamaan itulah yang mereka jaga. Jika tidak begitu, maka sistem yang sudah dibangun selama bertahun-tahun sejak zaman senior-senior mereka dulu dapat hilang begitu saja. Padahal keberadaan sistem itulah yang menjamin eksisnya tradisi senioritas di kampus.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengadili mahasiswa-mahasiswa Makassar yang gemar tawuran. Bagi penulis, kesalahan tidak sepenuhnya ada pada mereka. Akan tetapi, ada sebuah faktor yang selalu luput dari perspektif pers ketika memberitakan kebrutalan mahasiswa-mahasiswa ini di media nasional. Penggambaran terhadap mahasiswa Makassar di mata mereka yang tidak pernah mengenal atau menginjakkan kaki ke Tanah Daeng bagaikan kanvas yang dituangi tinta hitam dengan merata. Generalisasi seperti inilah yang menciptakan prejudice atau stereotipe buruk. Pada kenyataannya, ada banyak mahasiswa asli Makassar yang tidak setuju terhadap aksi-aksi tersebut. Ada banyak suara-suara yang menentang tindak-tindak kekerasan di dalam kehidupan kampus. Sayangnya, sekali ada pemberitaan tentang Makassar, pasti tidak jauh-jauh dari aksi memalukan mahasiswanya yang membakar ban di jalan raya atau menyerang polisi. Ambil contoh prestasi unit kesenian tari dari Universitas Hasanuddin yang meraih juara IV pada Perlombaan Tarian Tradisional Tingkat Internasional di Istanbul, Turki kemarin. Kemenangan tersebut kurang disoroti oleh media, padahal jika prestasi tersebut diraih oleh universitas-universitas lain di pulau Jawa niscaya kisahnya telah diliput dimana-mana.
Ketika daerah-daerah lain di Indonesia sibuk berbenah dari tragedi bencana alam atau disibukkan dengan proyek-proyek pembangunan, di Makassar isu anarkisme mahasiswa masih riuh. Tahun lalu, beberapa perusahaan besar di Indonesia sempat "memberikan teguran" kepada mahasiswa-mahasiswa Makassar agar segera menghentikan kebiasaan mereka tersebut dengan mengeluarkan larangan menerima lulusan dari sebuah universitas negri yang gemar tawuran. Rupanya teguran seperti itu pun tidak mempan. Kebijakan rektorat yang akan memecat mahasiswa yang ikut tawuran pun juga tidak berhasil. Aparat penegak hukum pun dibuat kelimpungan oleh mereka.
Dulu, pemuda-pemuda Bugis-Makassar pernah mencapai puncak kebudayaan maritim melalui evolusi perahu tradisional ciptaan mereka. Perahu pinisi pada masa lalu memamerkan kejayaannya di pantai-pantai Semenanjung Malaya, Australia Utara, Madagaskar, pesisir Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Indonesia bagian timur. Kecakapan dan pengenalan pemuda Bugis-Makassar terhadap perahu diperkirakan terjadi sebelum abad ke-10 dengan terdapatnya relief perahu layar padewakkang danlepa-lepa serta rumah panggung Bugis-Makassar di Candi Borobudur. Di periode pembebasan Irian Barat tahun 60-an, Presiden Soekarno sering berkonsultasi dengan pimpinan pelayaran Bugis di pelabuhan Sunda Kelapa, Muara Baru, dan Tanjung Priok. Beliau mengetahui potensi “armada perahu semut” padewakkang yang bentuknya kecil namun kokoh ini sehingga tahun-tahun itu perajin dari Bulukumba membuat puluhan perahu untuk pendaratan pasukan di Irian Barat.
Tidak inginkah kita mengharumkan nama Makassar seperti di masa lalu? Sudah saatnya bagi mahasiswa Makassar untuk berubah. Tradisi tawuran yang sifatnya primordial itu kini tidak dapat lagi diterima oleh masyarakat luas. Pemerintah di daerah maupun pembuat kebijakan di kampus perlu memikirkan bagaimana caranya mahasiswa dapat disibukkan dengan aktifitas-aktifitas yang mengundang prestasi. Peningkatan mutu ini penting, mengingat persaingan di daerah lain di Indonesia pun semakin lama semakin ketat. Keberanian, semangat untuk tampil, serta energi besar yang menjadi ciri karakter mahasiswa-mahasiswa Makassar hendaknya diarahkan melalui peningkatan kesadaran terhadap kearifan lokal atau organisasi-organisasi kepemudaan. Voluntarisme dapat menjadi pilihan yang tepat bagi mereka yang ingin menunjukkan karya nyata di tengah masyarakat. Menulis, bermusik, atau mengembangkan bakat olahraga secara profesional pun dapat dijadikan alternatif. Ada banyak pilihan untuk menghadapi tantangan zaman, namun semua itu tidak mungkin terwujud tanpa adanya dorongan dari masyarakat, termasuk dari kaum muda lainnya di persada nusantara.
Melalui tulisan ini, penulis berharap agar saudara-saudara mahasiswa di Makassar dapat mengulangi kejayaan masa lalu nenek moyangnya dengan prestasi-prestasi besar. Tugas kita sebagai mahasiswa amatlah simpel: mengisi kemerdekaan yang dulu telah diperjuangkan oleh bapak-bapak bangsa. Penulis juga berharap kepada rekan-rekan mahasiswa lainnya di Indonesia sedia untuk selalu berbagi inspirasi. Kiranya dengan motivasi dari mahasiswa-mahasiswa lainnya, mahasiswa Makassar dapat mengaktifkan peran mereka dengan efektif di tengah komunitas. Masalah yang dihadapi pemuda manapun di Indonesia hari ini adalah masalah kita bersama.
Paentengi sirri'nu!
Jumat, 18 November 2011
Yogyakarta