Apa yang terbayang di
dalam benak anda ketika mendengar kata “Malaysia”? Perebutan pulau-pulau
terluar, kasus penyiksaan buruh migran Indonesia, serta klaim budaya berada di
tiga urutan teratas ketika kami menanyakan pertanyaan tersebut kepada
mahasiswa. Pemberitaan di media terkait Malaysia hanya berkisar hal-hal itu
sehingga wajar saja sebagian besar masyarakat kita cukup puas dengan gambaran
negatif terhadap jirannya tanpa perlu mencari tahu lagi. Namun bagaimana jika
ternyata dibalik isu-isu negatif itu, hubungan Indonesia-Malaysia amatlah
akrab, bahkan saling mempengaruhi satu sama lain?
LONTARA PROJECT atau La Galigo for
Nusantara yang merupakan sebuah gerakan konservasi kreatif budaya-budaya lokal
di Sulawesi Selatan oleh para pemuda, pekan lalu (25 hingga 29 Mei 2012)
mengadakan kunjungan kebudayaan ke Malaysia. Dengan mengusung tema cultural diplomacy dalam bentuk
seinformal mungkin, tim kami berusaha menjembatani perbedaan perspektif antara
kedua negara dengan cara mengunjungi situs-situs bersejarah yang memiliki
kaitan dengan Bugis di Malaysia serta berdialog langsung dengan rekan-rekan
pelajar dari Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
Tim cultural diplomacy kami yang
terdiri atas Muhammad Ahlul Amri Buana (UGM), Fitria Sudirman (UI), Rahmat Dwi
Putranto (UGM), serta Muhammad Ulil Ahsan (Mercubuana Jogja) difasilitasi oleh
Prof. DR. Nurhayati Rahman agar dapat berbicara dihadapan khalayak mahasiswa
dan dosen Akademi Pengkajian Melayu. Atas dukungan beliau, kedua negara dapat
saling melihat, mendengar, dan bertukar pikiran tanpa media yang acap kali
tidak meng-cover both sides. Pada
kesempatan ini pula tim kami mengajak pemuda-pemuda di negara Siti Nurhaliza untuk
ikut bergabung dalam usaha melestarikan budaya dan nilai-nilai lokal bangsa
melalui seni, industri kreatif, dan produksi-produksi baru lainnya agar dapat
diterima kalangan luas di era globalisasi ini.
Sejarah jelas tidak dapat
menyembunyikan besarnya pengaruh para migran Bugis awal dalam pembangunan
Malaysia. Lima dari sembilan sultannya merupakan keturunan Bugis; situs-situs
klasik yang mewakili berdirinya keraton Selangor, Johor, dan Melaka pun adalah
saksi nyata atas percampuran budaya Bugis-Melayu di nusantara. Artefak-artefak
berelemen khas Bugis serupa pakaian berbenang emas dengan motif sulappaq eppaq, sundang atau keris
Bugis, mahkota, perhiasan emas, badik, tombak, serta baju zirah terpajang indah
di Galeri Diraja Sultan Shalahuddin bin Abdul Aziz maupun Muzium Nasional
Malaysia. Silsilah raja-raja Selangor yang berhulu di Raja Lumu, seorang tokoh
Bugis pemimpin perlawanan terhadap VOC, menyiratkan kebanggaan para pewaris
takhta atas darah Sulawesi yang mereka miliki. Nisan-nisan yang mengukir
nama-nama dengan gelar-gelar Bugis-Makassar serupa Opu dan Daeng pun
seakan-akan membenarkan silsilah-silsilah tersebut.
Di Malaysia sendiri, keturunan Bugis
diaspora sejak abad ke-18 jumlahnya tidak sebanyak migran dari Jawa maupun
Minangkabau, akan tetapi peran mereka paling krusial. Dari lima etnis nusantara
yang bercampur baur dalam identitas Melayu-Islam (dua lainnya ialah Aceh dan
Banjar), suku Bugis lah yang secara dominan bermain di sektor politik. Tun
Abdul Razak yang merupakan Perdana Menteri Malaysia pertama ialah keturunan
Bugis Maros, demikian halnya dengan Perdana Menteri yang menjabat sekarang,
keturunan Gowa. Seluruh keturunan masyarakat Sulawesi Selatan di Malaysia
secara simpel digolongkan sebagai “Bugis”, meskipun jika dikaji secara mendalam
individu yang bersangkutan dapat saja berasal dari Makassar, Mandar, ataupun
Luwu.
Pada
kunjungan tim La Galigo for Nusantara kali ini, selain menyempatkan diri
menyaksikan regalia-regalia kesultanan Selangor yang berkaitan dengan Bugis di
museum maupun istananya, kami juga mendapat kesempatan untuk berinteraksi
langsung dengan seorang keturunan diaspora. Mohammad Zahamri Nizar, tetapi kami
akrab memanggilnya dengan sebutan abang. Pria pendiam yang murah senyum ini
adalah seorang keturunan Bugis dari Perak. Meskipun tidak dapat berbicara
Bahasa Bugis, kecintaan beliau terhadap budaya leluhurnya ini terus membara.
Entah sudah generasi Bugis yang keberapa, namun abang meluapkan kecintaan
kepada leluhurnya ini dengan melakukan banyak riset mengenai peran Bugis di Semenanjung
Melayu. Beliaulah yang dengan antusias mengajak kami berkeliling Kuala Lumpur,
Shah Alam hingga Kampung Kuantan dalam rangka menapak tilasi jejak kakek
moyangnya ketika memasuki daratan yang terpisah ribuan kilometer dari Sulawesi.
Perjalanan kali ini kami ditutup
dengan banyak pengalaman dan pelajaran baru. Pelajar-pelajar di Akademi
Pengkajian Melayu berjanji untuk mengadakan kerjasama dengan La Galigo for
Nusantara, tim kami pun menyambut niatan baik tersebut serta menunggu
kedatangan mereka untuk berkunjung ke Indonesia. Batas-batas negara yang
tercipta antara Indonesia dan Malaysia adalah garis-garis geopolitik yang
tercipta dari abad ke-20. Namun batas-batas itu tidak dapat melumerkan
dinamisnya budaya untuk melintasi ruang dan waktu melalui percampuran
penduduknya. Pembauran kebudayaan inilah yang kerap menuai kontroversi; apakah
budaya dibatasi secara geopolitis atau dapat pula diwariskan melalui darah?
Kesalahpahaman yang marak diperbincangkan belakangan ini ialah ketika di
Indonesia kita menolak tradisi-tradisi asli bangsa dilestarikan di Malaysia,
padahal mereka juga keturunan asli pemilik budaya tersebut. Kenyataan bahwa
Indonesia dan Malaysia adalah negara serumpun dengan bahasa dan identitas yang
mirip semakin dilupakan orang. Kedua bangsa saling melihat dengan tatapan
asing.
Diplomasi
kebudayaan yang kami lakukan kali ini seringan menjalin perkawanan baru dengan
pelajar-pelajar Universiti Malaya. Tidak ada heboh-heboh perkara batik,
rendang, ataupun reog. Yang kami sadari adalah bahwa kedua bangsa ini faktanya
memang serumpun. Semoga di masa mendatang melalui generasi mudanya kedua negara
dapat kembali menjalin persahabatan yang mesra, tidak hanya secara politis,
tetapi juga secara kekeluargaan.
Yogyakarta,
6 Juni 2012