Monday, February 10, 2014

Duhai Adat, Masih Laku kah Kamu?

Jadi, tulisan ini berawal dari suatu obrolan singkat di siang hari menjelang sore. Obrolan ini berlangsung di kantor saya (yang sebenarnya adalah kantor Wakil Dekan bidang Alumni dan Kerjasama) bersama dengan boss/senior AFS/dosen saya, mbak Linda.

Awalnya saya hanya menunjukkan sebuah buku berjudul "Adat dalam Politik Indonesia" yang diterbitkan oleh KITLV (institut riset yang sebulan lalu saya kunjungi di negeri Belanda). Buku berwarna merah tersebut sengaja saya beli sebagai bahan referensi untuk mengerjakan materi powerpoint terkait "HAM dan Hukum Adat" yang di-assign kan oleh mbak Linda kepada saya. Buku itu ternyata menarik sekali, membahas banyak sudut terkait perjuangan masyarakat adat di negeri berbhinneka yang tengah digempur arus globalisasi serta kepentingan asing.

Saat sedang menceritakan bagian awal dari isi buku tersebut, saya tiba-tiba nyeletuk:
"Mbak, kalau dipikir-pikir sebenarnya kita ini hidup di tengah unsur-unsur hukum asing ya. Coba deh, contohnya dunia sekarang mengarah ke sistem common law-nya Inggris, yang notabene berakar dari kebudayaan mereka. Bukannya itu berarti kita mengikut kepada "hukum adat"-nya mereka ya?"
Pertanyaan tiba-tiba saya itu pun direspon oleh mbak Linda:
"Lul, nggak semua yang asing itu jelek lho. Sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia ini saja kan asalnya bukan dari Jawa tapi juga dari luar. Sepanjang sistem tersebut bermanfaat bagi masyarakat kita ya kenapa tidak? Lagian di negara kita ini, sistem hukum yang dianut memang bersifat dualisme. Hukum Islam maupun Hukum Adat tetap diakui oleh pemerintah sebagai aturan yang hidup di tengah masyarakat, grass root, akan tetapi kedudukan hukum Hukum Nasional adalah superior, berada di atas keduanya. Kondisi masyarakat kita yang majemuk memang menghendaki demikian, dan Hukum Nasional memang harus diutamakan demi menghindari terjadinya benturan."
Setuju. Saya setuju dengan jawaban mbak Linda. Saya setuju, jika seandainya sistem demokrasi berasal dari Zimbabwe pun sepanjang itu memberikan kemanfaatan yang besar bagi umat manusia maka layaklah untuk diadopsi. Akan tetapi saat itu juga saya berfikir: jika kita saat ini terlarut dalam arus unsur-unsur hukum asing yang di dunia internasional diterima sebagai kelaziman, lantas mengapa tidak ada upaya dari dalam negeri ini sendiri untuk mengangkat nilai-nilai universal dari kelokalannya? Apakah tidak ada kira-kira satu unsur saja dari kekayaan ragam Hukum Adat maupun kearifan lokal di negeri kita ini yang dapat diusung sebagai "sistem yang bermanfaat bagi umat manusia" selayaknya metode voting dari Yunani maupun yurisprudensi dari Inggris?

Dalam hal ini saya berpikir keras. Dulu, saya pernah terlibat diskusi seru dengan salah seorang sahabat saya (yang alhamdulilah kemarin baru saja resmi menjadi sarjanawati Hubungan Internasional Universitas Indonesia, hoorah!) yang bernama Diku. Diskusi tersebut berujung pada sebuah kesimpulan kami bahwa sistem negara kesatuan di negeri ini tidak dijalankan dengan baik sehingga menyebabkan banyak kerugian bagi golongan minoritas dan daerah-daerah di Indonesia Timur serta Kalimantan. Otonomi? Bagi saya itu terlihat seperti majikan (sistem sentralistik) yang membagi-bagikan kue dengan porsi kecil kepada anak-anak buahnya. Sistem ini juga kami rasa tidak cocok diterapkan di tengah negara dengan kontur budaya yang majemuk seperti Indonesia. Kami setuju dengan pemikiran Hatta dahulu yang menghendaki agar Indonesia ini jadi negara federal saja. Meskipun banyak cemoohan yang mengatakan bahwa sistem negara serikat sudah pernah diterapkan sebelumnya dan hasilnya adalah sebuah kegagalan, saya dan Diku (serta pacarnya yang ternyata telah terlebih dahulu mencetuskan ide ini) foreseen sebuah utopia bernama United States of Nusantara. Jadi pada hakikatnya kembali ke semangat rakyat itu sendiri, unit-unit mandiri yang masing-masing kemudian memberikan secuil jatah kue mereka kepada pemerintah pusat. 

Saya rasa kita telah terlanjur terjebak di tengah paradigma bahwa Hukum Adat sifatnya tertutup, hanya hidup di tengah masyarakat dengan lingkup geografis tersebut semata. Padahal, semenjak saya aktif menelaah kekayaan budaya lokal dengan mendirikan Lontara Project pada tahun 2011, saya dibuat terkejut-kejut plus terkagum-kagum dengan banyaknya nilai lokal yang pada prinsipnya mengandung nilai-nilai keuniversalan. Salah satu contohnya yang hingga hari ini masih membuat saya takjub adalah muatan unsur-unsur demokrasi, kontrak sosial, emansipasi dan hak atas properti yang terkandung di cerita rakyat turunnya Tumanurung Bainea di kerajaan Gowa yang sumbernya berasal dari lontar-lontar kuno.

Alkisah, memasuki abad ke-14, setelah lewat zaman La Galigo, di Sulawesi Selatan terjadi kekacauan selama tujuh generasi. Abad-abad kegelapan ini ditandai oleh berlakunya hukum rimba, dimana yang kuat menjajah yang lemah, serta bencana alam yang datang susul-menyusul. Di tengah ketiadaan kepastian hukum tersebut, absen pula sosok pemimpin berkarisma yang dapat memecahkan masalah serta mampu memimpin rakyatnya menuju persatuan. Saat itu di wilayah yang saat ini bernama Gowa, terdapat sembilan buah desa dengan masing-masing kepala daerahnya yang bergelar gallarang.

Di suatu malam yang gelap gulita, mendadak turun seberkas cahaya dari langit utara. Kesembilan gallarang merasa bahwa cahaya tersebut merupakan sebuah pertanda yang akan mengakhiri masa-masa kegelapan. Dibekali oleh kepercayaan diri, kesembilan gallarang tersebut meniti cahaya yang konon jatuh di atas sebuah bukit bernama Takaq Bassia. Di atas bukit itulah seorang wanita cantik yang mengenakan mahkota emas berdiri. Merasa bahwa beliau merupakan seorang dewi yang turun dari langit untuk memerintah di muka bumi, maka kesembilan gallarang pun segera menyembah dan meminta sang putri untuk menjadi ratu mereka. Sang Putri yang dikemudian hari dijuluki Tumanurung (orang yang turun dari langit) Bainea (berjenis kelamin wanita) ini tidak serta-merta menerima ajakan dari kesembilan gallarang. Melalui sebuah perjanjian yang panjang dalam bentuk syair 13 pasal, ia sepakat menjadi pemimpin mereka sepanjang hak-haknya diperhatikan. Kesembilan gallarang pun mengakui hak-haknya seraya mengajukan syarat bahwa hak-hak tersebut memiliki batasan, dimana sebagai penguasa Tumanurung Bainea tidak boleh melanggar hak-hak tertentu dari rakyatnya. 

Kejadian tersebut dilukiskan seperti berikut (pasal-pasal pilihan):

Berkatalah kesembilan gallarang kepada Tumanurung

Pasal 1
Anne niallenu kikaraengang (dengan dijadikannya dirimu sebagai raja/pemimpin kami)
Karaeng mako ikau (maka rajalah kamu)
Atamakkang ikambe (kami adalah abdimu)
Pasal 4
Ikambe tanakaddok bassinu (kami tidak akan ditikam oleh besimu)
Ikau tanakaddok bassimang (kamu tidak akan ditikam oleh besi kami)
Pasal 6
Makkanamako kummamiyo (bersabdalah maka akan kami iya-kan)
Naiya punna massongkang (namun apabila kami menjunjung)
Tammallembarakang (kami tidak memikul)
Punna mallembarakang (apabila kami memikul)
Tammassongkang (kami tidak menjunjung)
Pasal 7 
Angimmako ki lekkokayu (dirimu adalah angin, kami adalah daun kayu)
Naisani madidiyaji nuiri (namun hanya daun yang telah kuning yang dapat engkau jatuhkan)
Pasal 10
Anne niallenu kikaraengang (dirajakannya dirimu oleh kami)
Battang kalemanji akkaraengangko (sesungguhnya hanya badan kamilah yang merajakanmu)
Teyai pangannuammang (bukan harta benda milik kami)
Pasal 11
Tanuallei jangang ri lerammang (tidak kau ambil ayam di tenggerannya)
Tanukoccinai bayao ri bakampomang (tidak kau rogoh telur dari keranjangnya)
Tanuallei kaluku sibatummang (tidak kau ambil sebiji pun kelapa)
Rappo sipaemmang (setangkai pun buah kami)
Pasal 13
Karaeng tammanapuk bicara ilalang (raja tidak memutuskan perkara dalam negeri)
punna taenai gallaranga (bila gallarang tidak hadir)
Gallaranga tammanapuk bicara bunduk (gallarang tidak memutuskan perang)
punna taenai karaenga (jika raja tidak hadir)

Nah, dari pembacaan di atas, semoga teman-teman juga mendapatkan maksud yang saya utarakan.
Jelas, jauh sebelum konsep Kontrak Sosial yang diusung oleh John Locke terkait perjanjian antara penguasa dan rakyatnya, di Nusantara kita telah mengenal unsur serupa. Tumanurung Bainea diangkat oleh kesembilan gallarang yang merupakan wakil rakyat sebagai penguasa (pasal 1). Di saat yang sama, ia diberikan hak untuk bertitah, memerintah seluruh negeri. Akan tetapi kekuasaannya ini pun dibatasi. Ia tak dapat bertindak sewenang-wenang atau melakukan power abuse (pasal 4 dan pasal 6). Ia akan dituruti sepanjang perintahnya masuk akal. Pada pasal 7 si penguasa diibaratkan sebagai angin dan rakyatnya sebagai daun pepohonan. Meski demikian, angin tersebut hanya dapat menjatuhkan dedaunan yang berwarna kuning atau memang sudah tua, simbolisasi bahwa titah paduka sepanjang masih dapat diterima akal dan lazim akan kami emban. Pasal 11 menunjukan batasan terkait hak-hak privat yang tidak boleh dilintasi oleh si penguasa. Pasal 13 memaparkan pentingnya wakil rakyat dalam pengambilan keputusan, tidak boleh sebelah pihak saja.

Saya yakin, selain kisah Tumanurunga Bainea dari Sulawesi Selatan, pasti masih banyak kearifan lokal masyarakat adat di daerah lain tekait konsep kenegaraan maupun hukum. Sekarang kembali kepada kita sendiri, sampai sejauh manakah kita ingin mengeksplor apa yang sudah ditinggalkan oleh nenek moyang kita hingga hari ini? Indonesia 50 tahun mendatang ditentukan oleh sikap kita hari ini, lho.



Yogyakarta, 10 Februari 2014

No comments: